Indonesia termasuk di antara beberapa negara di dunia yang sudah mengembangkan alat tes mendeteksi COVID-19 lewat pernapasan dengan hasil tes yang dikatakan bisa diketahui dalam waktu dua menit. Alat deteksi GeNose dari UGM
BACA JUGA: Seorang Pria Meninggal Sendirian, Orang Tak Dikenal Hadiri Pemakamannya
Selain di Indonesia, peneliti dan perusahaan swasta di Singapura, Inggris, Prancis dan Australia sedang mengembangkan alat pendeteksi COVID-19 lewat pernapasan dengan teknologi yang sama atau mirip.
Di Indonesia, alat tes yang diberi nama GeNose C-19 yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sekarang sudah disetujui akan digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
BACA JUGA: Wabah COVID-19 Makin Gawat, Pemerintah Pusat Pertimbangkan Status Darurat
Alat yang menggunakan kecerdasan buatan, atau artificial intelligence (AI), dalam bentuk "hidung elektronik" akan bisa menganalisa sampel pernapasan dan mencari tahu apakah terdapat unsur yang hanya ada dalam virus COVID-19.
GeNose C-19 sekarang sedang diproduksi dan diperkirakan akan bisa digunakan mulai bulan Februari 2021.
BACA JUGA: Negara Mana yang Tingkat Proposional Pemberian Vaksin Kepada Warganya Tinggi?
Diharapkan test COVID-19 dalam jumlah besar-besaran bila dilakukan di rumah sakit, bandara, pelabuhan dan tempat-tempat umumya di berbagai daerah di Indonesia.
"Kita memerlukan alat tes yang lebih cepat guna mencegah adanya penularan," kata Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro.
"Ini akan mempercepat proses deteksi dan mengurangi kemungkinan penularan virus."
Teknologi serupa yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan Singapura, Breathonix, yang berharap mendapatkan persetujuan di tahun 2021, dengan uji klinis yang melibatkan 180 orang menunjukkan tingkat akurasi 90 persen.
Di Australia sebuah perusahaan yang berbasis di Melbourne, GreyScan, bekerjasama dengan University of Tasmania, juga mengembangkan sebuah alat yang selama ini digunakan untuk mendeteksi bahan peledak untuk melacak COVID-19 dalam sampel pernapasan. Photo: Alat GeNose C-19 ini menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisa sampel pernapasan. (Supplied)
Alat tes ini akan berguna bagi Indonesia
Professor Catherine Bennett Kepala Bidang Epidemiologi di Deakin University di Melbourne, Australia, mengatakan bukti yang ada menunjukkan alat seperti GeNose C-19 ini memang bisa digunakan.
"Dasar sains-nya memang ada," katanya.
"Kita bisa melacak tanda-tanda dari infeksi yang disebabkan oleh virus."
Profesor Benner menggambarkan alat tes ini seperti kerja 'anjing pelacak' yang bisa mengetahui sesuatu dari bau.
"Mereka bisa mendeteksi bahan kimia di udara dan itulah yang digunakan untuk mendeteksi bahan peledak, dan sekarang sudah diujicoba untuk melacak COVID-19.
"Masalahnya apakah alat tes ini bisa benar-benar membedakan sampel pernapasan itu karena flu biasa atau COVID," kata Profesor Bennet.
Namun walau dengan tingkat akurasi yang lebih rendah dibandingkan tes swab PCR yang sudah ada sekarang ini, menurut Profesor Bennet alat ini akan sangat berguna bagi Indonesia.
"Ini bisa menjadi cara untuk mengetes orang di tempat keramaian di pusat perbelanjaan, dengan tes cepat dan meski kurang akurat paling tidak bisa mendapatkan orang-orang yang positif yang kemudian bisa diarahkan ke tes yang akurat," katanya.
"Kita tidak akan bisa mendapatkan semua orang. Mungkin sekitar 10 persen tidak akan bisa terdeteksi.
"Namun masih ada 90 persen orang yang bisa dideteksi. Dan itu yang sekarang tidak dilakukan. Jadi tes cepat seperti ini akan membuat perbedaan besar," katanya lagi. Photo: Sejak pandemi dimulai bulan Maret 2020, sudah lebih dari 735 ribu warga Indonesia terkena COVID-19. (AP: Firdia Lisnawat)
Bagaimana cara kerja alat pendeteksi pernapasan ini?
Alat tes ini dikembangkan oleh UGM Yogyakarta, di mana tiga rumah sakit di kota tersebut sudah menggunakan alat tes tersebut untuk mengecek pasien apakah ada yang mengidap COVID-19.
Profesor Kuwat Triyana yang menjadi kepala proyek mengatakan tes itu hanya memerlukan waktu sekitar 80 detik untuk mendapatkan hasilnya, jauh lebih cepat dari tes swab hidung PCR yang memerlukan waktu dua hari.
"Cara kerjanya sederhana," katanya.
"Sampel pernapasan diambil dari mulut seseorang kemudian dimasukkan ke dalam kantong dan ditutup kemudian dimasukkan ke mesin yang bisa melacak apakah ada partikel COVID dalam waktu 80 detik."
Sejauh ini tingkat akurasi dari alat tes ini adalah 90 persen.
"Sampel pernapasan itu disedot oleh sebuah pompa mini oleh alat sensor yang bisa membaca pola COVID-19," katanya.
"Pola COVID-19 positif atau negatif dengan mudah bisa dibedakan, sepanjang kita memiliki kecerdasan buatan untuk membacanya."
"Virus corona akan berbeda dari misalnya flu, TB atau pneumonia."
Sejauh ini sudah lebih dari 2000 orang menjalankan tes menggunakan alat tersebut.
Profesor Kuwat mengatakan akurasi alat tes ini akan meningkat dengan penggunaan yang lebih luas.
"Dengan alat ini, kita bisa menentukan siapa saja yang negatif," katanya.
"Dan yang positif bisa diarahkan untuk menjalani tes PCR."
Profesor Kuwat mengatakan Pemerintah Indonesia sudah memesan sekitar 30 ribu alat GeNose tersebut.
"Bila digunakan dengan benar, 10 ribu unit GeNose ini bisa melakukan tes terhadap 1,2 juta orang setiap hari," katanya.
"Ini akan menjadi angka pengetesan tertinggi di dunia." Photo: Indonesia masih belum memenuhi target WHO untuk melakukan tes minimal sebanyak 270 ribu tes per minggu. (Reuters: Willy Kurniawan)
Pemalsuan surat keterangan negatif
Minggu ini jumlah kasus COVID-19 di Indonesia sudah melebihi 735 ribu kasus.
Dengan jumlah korban meninggal 22 ribu orang lebih dan angka penularan baru setiap hari masih di angka delapan ribuan menjadikan Indonesia memiliki angka tertinggi di Asia Tenggara.
Alat deteksi pernapasan ini muncul di saat polisi di Surabaya minggu lalu menahan tiga orang yang dituduh memalsukan hasil tes yang digunakan untuk melakukan perjalanan di Pelabuhan Tanjung Perak.
Pembuat surat palsu itu mengatakan kepada polisi bahwa mereka mengenakan bayaran Rp 100 ribu untuk surat keterangan negatif, padahal tidak dilakukan tes sama sekali.
Salah seorang yang ditahan bekerja di sebuah klinik kesehatan, sementara seorang lagi bekerja di biro perjalanan.
Juga dilaporkan adanya kasus serupa yang terjadi di Jakarta dan Kalimantan. Photo: Angka penularan harian menunjukkan situasi pandemi COVID-19 di Indonesia terus memburuk selama beberapa bulan terakhir. (AP: Achmad Ibrahim)
Dengan masih tingginya kasus penularan COVID, Taiwan sudah melarang masuknya pekerja migran asal Indonesia, karena ada beberapa kasus yang muncul di Taiwan belakangan berasal dari pekerja asal Indonesia.
Juga ada kecurigaan bahwa beberapa orang membawa surat keterangan palsu yang menunjukkan mereka negatif dan kemudian menyebarkan virus di Taiwan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka pengetesan paling rendah di dunia sehingga jumlah kasus dan kematian sebenarnya jauh lebih tinggi dari laporan resmi.
Rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah satu tes COVID-19 per minggu per seribu penduduk, yaitu sekitar 270 ribu tes dari 270 juta penduduk Indonesia keseluruhan.
Di bulan November 2020, angka tes di Indonesia per minggu masih sekitar 85 persen dari target yang ditetapkan WHO yaitu sekitar 239 ribu pengetesan.
"Mudah-mudahan alat ini bisa membantu menyelesaikan masalah krisis COVID di Indonesia." kata Profesor Kuwat.
"Kita bisa memutus rantai COVID ini dengan cepat, dalam waktu satu atau dua bulan."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dan lihat artikelnya dalam bahasa Inggris di sini
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasien COVID-19 Sembuh di Bantul Menggembirakan, Nih Datanya