Alex Tilaar, Guru Besar yang Terus Berkarya pada Usia 80 Tahun

Bakal Sulit Rilis Buku tanpa si "ATM Berjalan"

Senin, 09 Juli 2012 – 00:09 WIB
Prof DR H.A.R Tilaar (kiri) bersama istrinya, Martha Tilaar (kanan) saat perayaan usia 10 windu yang dirayakan dengan meluncurkan empat judul buku sekaligus di hotel Gran Melia, Jakarta, Sabtu (7/7). Foto: Sugeng Sulaksono / Jawa Pos

Prof  Dr Alex Tilaar meluncurkan empat buku untuk menandai ultahnya ke-80. Menjadi turis ‚Äô‚Äôturut istri‚Äô‚Äô membuat dia bisa terus menggali bahan untuk menulis.   

Sugeng Sulaksono, Jakarta

BAGI Prof Dr Henry Alexis Rudolf Tilaar atau yang lebih dikenal sebagai Alex Tilaar, turis itu ada empat jenis. Tiga di antara empat jenis itu adalah turis abis, turis stres, dan turis durhaka. Terkesan seram? Justru sebaliknya. Sebab, "abis" merupakan akronim dari atas biaya sendiri, "stres" kependekan dari setengah resmi, dan "durhaka" akronim dari dengan uang rampokan harta kawula.

"Sedangkan turis kategori keempat ialah turis dalam arti "turut istri". Nah, saya adalah turis macam ini hehehe," kata guru besar emeritus Universitas Negeri Jakarta itu.

Guyonan itu disampaikan pakar pendidikan yang sangat kritis terhadap sistem pendidikan nasional tersebut di sela perayaan ulang tahunnya yang ke-80 di Gran Melia, Jakarta, kemarin. Seharusnya ultah delapan dekade pria yang telah menulis 20 buku itu dihelat 16 Juni lalu. Namun, karena harus mendampingi sang istri, pengusaha kosmetik dan produk herbal ternama, Martha Tilaar, yang mendapat undangan ke Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB pada 20-22 Juni 2012, acara tersebut baru dihelat Sabtu (8/7).

Pada usia yang sudah delapan dasawarsa itu, semangat Alex untuk terus berkarya dan menunjukkan kepedulian terhadap dunia pendidikan sama sekali tak kendur. Peluncuran empat buku hasil karyanya di ultah kemarin adalah buktinya.

Empat buku tersebut adalah Aku Seorang Turis? (Pengalaman Seorang Profesor Emeritus), Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan Nasional, Ke Arah Mana Pendidikan Nasional" dan Kaleidoskop Pendidikan Nasional.

Di buku Aku Seorang Turis? itulah Alex bercerita tentang berbagai pengalamannya setelah pensiun, antara lain, sebagai turis yang "turut istri" tadi. Wira-wiri mengikuti istri ke berbagai event internasional. Yang terbaru, saat Martha menjadi salah seorang di antara 14 anggota baru Global Compact Board yang dipilih Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon dalam Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB di Rio de Janeiro, Brasil, pada 20–22 Juni 2012.

"Gara-gara menjadi turis ini saya sampai empat kali ikut forum dunia resmi. Sepertinya lebih banyak jika dibandingkan dengan presiden," canda staf inti Bappenas periode 1970-1993 itu.

Alex mengatakan, ada dua keuntungan sekaligus yang bisa didapat sejak menjadi turis "turut istri". Yakni, hobi menulis tersalurkan dan ongkos bepergian ditanggung sang istri. "Untung ada ATM berjalan," ucapnya sambil menunjuk Martha yang telah bersamanya mengarungi biduk pernikahan selama 48 tahun dan dikaruniai empat anak serta enam cucu. 

"Kalau saya sendiri, gaji pensiun guru berapa? Saya katakan saya bisa pergi ke Singapura, tapi tidak bisa kembali. Kehabisan ongkos," lanjutnya, lantas tertawa yang disambut tawa para tamu.

Nah, sambil menemani istri ke luar negeri atau ke daerah lain di Indonesia, Alex bisa menggali banyak bahan dan mendapat inspirasi untuk menulis buku. Sebab, hanya dengan menulis, segala pemikiran dan kritik untuk dunia pendidikan di Indonesia bisa terus dia lakukan. 

Hingga kini, Alex tak pernah sekali pun lelah menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Meskipun, dia menyadari betul, sama sekali tak bisa mengharapkan imbalan materi memadai dari kiprahnya di dunia pustaka tersebut.

Pria yang memulai karir di dunia pendidikan sebagai guru itu berkisah, pada suatu hari seorang profesor dari Harvard University, Amerika Serikat, bertanya kepadanya. "Berapa banyak buku yang sudah kamu tulis?" kata profesor bule itu seperti ditirukan Alex. "Sekitar 20 buku," jawabnya.

Reaksi lawan bicaranya itu seketika semringah. "Anda orang kaya," kata sang profesor dari Harvard tersebut. Itu reaksi wajar karena di AS, tutur Alex, jika seorang profesor menulis satu buku saja, dia sudah bisa keliling dunia dari hasil pendapatan buku karyanya itu.

"Di kita ini bisa nulis buku satu saja sudah beruntung. Waktunya sempit, biaya mahal, ujung-ujungnya sakit pula. Di kita banyak profesor, tapi kurang kreatif. Tidak menulis. Tapi, jangan salahkan juga karena mungkin dia tidak punya ATM berjalan seperti saya," paparnya sembari tersenyum dan melirik sang istri.

Menurut Alex, tanpa "ATM berjalan" yang sangat dicintainya itu, bakal sangat sulit bagi pria 80 tahun seperti dirinya bisa menulis dan merilis buku. Sebab, selain terkendala waktu dan kesehatan, faktor dana menghadang. "Saya masih sehat karena sering minum jamu," ucapnya, lantas melirik Martha.

Konsistensinya dalam berkarya juga otomatis mendorong Alex terus meng-update perkembangan dunia pendidikan tanah air. Dia pun menyesalkan banyaknya universitas di Indonesia tidak fokus dan tidak memanfaatkan potensi yang ada.

"Kita tidak perlu menjadi universitas umum seperti universitas besar di luar sana. Sebaiknya fokus kepada apa yang kita miliki. Hutan kita kaya, maka fokuskan universitas yang memiliki keunggulan di bidang hutan. Begitu juga laut kita," paparnya.

Dia juga sangat prihatin terhadap kekurangefektifan ujian nasional yang menurutnya hanya menguji beberapa mata pelajaran dalam beberapa hari. Padahal, selama tiga tahun bersekolah, seorang siswa belajar begitu banyak mata pelajaran.

Lalu, bagaimana cara Alex mendidik semua anaknya? "Manusia itu maunya bebas. Bebas saja. Buktinya, tidak ada yang mau jadi guru seperti saya. Saya tanya kenapa" Daddy has no money. Ya sudah, tidak ada yang mau," katanya. (*/c4/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dominic Brian, si Pemegang Tiga Rekor Dunia Daya Ingat, Meluncurkan Buku


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler