JAKARTA-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri aliran dana mencurigakan milik sejumlah pihak yang berkaitan dengan megaproyek Hambalang senilai Rp2,5 triliun. Penelusuran aliran dana milik orang-orang yang diduga kuat berada di lingkar Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan kalangan anggota DPR RI ini dilakukan KPK dengan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisas Transaksi Keuangan (PPATK).
"Kita minta (PPATK) untuk telusuri transaksi mencurigakan dari kasus-kasus yang diusut oleh KPK. Termasuk Hambalang juga," kata Jubir KPK, Johan Budi, Senin (23/7).
Namun Jubir KPK enggan menjelaskan berapa jumlah laporan transaksi mencurigakan penyelenggara negara yang ditelusuri KPK, termasuk identitas pemiliknya. Alasannya, data tersebut masih dirahasiakan demi kepentingan penyidikan.
Johan tidak menampik beberapa hari lalu PPATK sudah menyerahkan sejumlah Laporan Hasil Analisis Kekayaan Penyelenggara Negara (LHAKPN). Namun apakah data dimaksud berkaitan dengan penyidikan Hambalang atau tidak, masih belum diketahuinya. "Nah yang diberikan (PPATK) kita belum tahu apakah dari permintaan itu atau dari PPATK sendiri," kilah Johan Budi.
Seperti diketahui, kasus dugaan korupsi proyek sport center Hambalang telah naik status menjadi penyidikan. Proyek ini dikerjakan oleh PT Adhi Karya yang bekerja sama dengan PT Wijaya Karya sejak akhir 2010. "Ada sejumlah aliran dana dalam jumlah besar kepada pihak-pihak tertentu. Kemudian setelah kasus ini muncul, tiba-tiba dana itu ditarik kembali," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjodjanto, di Jakarta, Senin (23/7).
Bambang tidak membantah jika dalam perjalanan penyidikan, nantinya akan ada tersangka baru, baik dari birokrat maupun pihak swasta pada kasus proyek Hambalang. Penambahan tersangka tersebut bergantung pada keterangan yang diberikan tersangka Kabiro Keuangan Kemenpora, Deddy Kusdinar. "Sementara ini kita fokus pada DK (Deddy Kusdinar, Red)," katanya.
Di bagian lain, rencana KPK yang akan menggunakan pasal-pasal pencucian uang (money laundering) dalam kasus korupsi Hambalang, dinilai sangat tepat. UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu dapat menjerat pelaku lebih banyak sekaligus korporasi yang terlibat.
Sebelumnya, PPATK menyatakan telah menyetorkan daftar 10 transaksi mencurigakan anggota Banggar DPR kepada KPK. Namun, belum diketahui apakah semua transaksi tersebut berkaitan dengan proyek Hambalang atau tidak.
Sinyal KPK itu terlihat dari pengungkapan aliran dana mencurigakan dalam sejumlah transaksi. Dengan nilai yang cukup besar terjadi pada kasus proyek Hambalang. Dari data yang didapat nanti, sambung dia bisa memberikan fakta baru terhadap perkara Hambalang. Data itulah yang dapat digunakna bagi KPK melihat keterlibatan tersangka lain.
Ditanya soal peluang penggunaan UU TPPU, Johan memastikan bisa saja dilakukan. KPK prinsipnya mengungkapkan kasus korupsi secara mendalam. Undang-undang apapun bakal digunakan bagi penuntasan kasus.
Peneliti senior ICW, Tama S Langkung mengakui rencana KPK menggunakan UU TPPU dalam pengungkapan kasus korupsi Hambalang sangatlah baik. UU TPPU dapat secara efektif menjerat para korupsi. ”UU Pencucian Uang diterapkan KPK pada kasus Wa Ode. Kini kalau diterapkan pada kasus Hambalang sangatlah tepat,” ujar Tama S Langkung.
Menurutnya, pasal UU TPPU secara luas dapat menjangkau pelaku lebih banyak, bahkan korporasi yang dianggap terlibat. Tak itu saja, Tama menjelaskan UU TPPU dapat secara efektif mengambil kekayaan pelaku korupsi. Jika memang pelaku tidak memiliki bukti yang cukup baik terkait kekayaan yang dimilikinya.
”UU TPPU itu memaksa pelaku menjelaskan asal kekayaannya. Jika tak mampu, maka bisa dinilai persoalan dengan kekayaan itu. Berbeda dengan UU Tipikor. Secara prinsip UU Pencucian Uang sangat baik digunakan,” papar aktivis antirasuah ini.
Penerapan UU TPPU, menurut dia, bisa menjangkau pelaku yang bukan hanya dari lingkup aparatur negara. Pelaku yang diduga turut serta dalam tindakan kejahatan tersebut bisa juga dianggap terlibat. Mulai dari politisi, pengusaha atau siapa saja.
Lebih tegas Tama menilai kehebatan UU TPPU itu bisa menjerat korporasi atau lembaga berbadan hukum. Artinya kejahatan korupsi yang juga melibatkan korporasi bisa mendapatkan sanksi. “Kalau ada partai politik yang terlibat, ada sanksinya. Prinsipnya lembaga berbadan hukum,” imbuh dia.
Diakuinya pengalaman KPK menerapkan pasal UU TPPU itu belum banyak. Meski kasus yang diseret pada perkara ini sudah ada. Hanya kebanyakan disidangkan oleh penuntut umum Kejaksaan, bukan KPK. ”Pada kasus UU TPPU, KPK baru menerapkan pada kasus Wa Ode. Sedangkan perkaranya belum selesai,” jelas dia.
Ditanya soal hambatan penggunaan UU TPPU, dia merasa persoalan lebih bersifat teknis. Yakni keberanian penyidik KPK menggunakan pasal UU TPPU. Karena selama ini penyidik lebih terbiasa menggunakan UU Tipikor. (rko/fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... TAP MPR Harus Bisa jadi Rujukan Pembuatan UU
Redaktur : Tim Redaksi