JAKARTA - Ketetapan MPR (TAP MPR) harus menjadi acuan hukum bagi semua lembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Terlebih, TAP MPR telah kembali menjadi sumber hukum formal sesuai tata urutan perundangan dan posisinya dalam hirarkhi perundang-undangan ada di urutan kedua setelah Undang Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari dalam dialog pilar negara berjudul “Eksistensi TAP MPR RI” di Gedung MPR, Jakarta, Senin (23/7). “Lembaga-lembaga negara perlu lagi menengok Tap MPR sebagai rujukan, pancuan, atau acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Hajriyanto.
Menurut politisi Partai Golkar itu, TAP MPR pernah menjadi rujukan hukum sejak era 1960 hingga 2002. Namun eksistensi TAP MPR sempat tidak jelas posisinya sejak disahkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut menyebutkan TAP MPR bukan lagi termasuk dalam hirarkhi sumber hukum formal Indonesia.
Padahal dari 139 Tap MPR sejak 1960 sampai 2002, sebut Hajriyanto, setidaknya terdapat 14 TAP yang dinyatakan masih berlaku sesuai TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003. “Tapi tidak nyambung dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan TAP MPR bukan lagi sumber, rujukan hukum,” ujar dia.
Karenanya UU 10/2004 direvisi untuk memberi ruang bagi 14 TAP MPR yang masih berlaku sebagai rujukan hukum formal. Hasilnya, UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menggantikan UU 10/2004 telah menempatkan TAP MPR dalam hirarki sumber hukum yang posisinya di bawah UUD 1945.
“Problemnya, setelah UU 12/2011 menjadikan kembali TAP MPR sebagai sumber hukum formal, kalau ada UU yang bertentangan dengan TAP MPR digugatnya ke mana? Karena MK hanya berwenang menguji UU yang dinilai bertentangan dengan Konstitusi,” jelas Hajriyanto.
Permasalahan selanjutnya, ucap dia, TAP MPR tidak serta-merta dilaksanakan oleh semua lembaga negara sebagai rujukan hukum. Ditegaskannya pula, hingga kini belum ada satupun lembaga negara yang menjadikan TAP MPR sebagai pertimbangan hukum dalam mengeluarkan kebijakan.
“Dua problem itu menjadi kendala bagi TAP MPR yang masih berlaku. Ini karena posisinya apakah setara dengan UU atau setara dengan Konstitusi. Tapi apapun itu, UU 12/2011 sudah membuka peluang TAP MPR menjadi sumber hukum kembali,” ungkap dia.
Menyikapi hal ini, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menegaskan, jika mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 maka posisi TAP MPR yang berada di bawah UUD 1945 jelas lebih tinggi dari UU. Minimal, kata Jimly, TAP MPR setara dengan UU.
“TAP MPR 1/2003 sendiri menyebutkan bahwa TAP MPR yang masih berlaku bisa dirubah, diperbaiki oleh UU. Jadi setara posisinya dengan UU. UU bisa mencabut, merevisi TAP MPR itu,” jelas Jimly.
Namun jika dianggap lebih tinggi dari UU, maka TAP MPR bisa diposisikan sebagai bagian dari Konstitusi dalam arti luas. Yakni Konstitusi yang tak tertulis yang menjadi konsensus bangsa Indonesia.
“Konsitusi itu kan tidak hanya yang tertulis, tapi juga ada yang tak tertulis. Nah TAP MPR bisa berada di posisi ini. Hingga jika urusannya dengan Konstitusi, maka menjadi kewenangan MPR untuk memperbaiki atau mencabutnya,” ujar dia. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Telusuri Transaksi Mencurigakan Terkait Hambalang
Redaktur : Tim Redaksi