Alkoholisme: Antara Harapan dan Balas Dendam

Oleh; Riza Multazam Luthfy*

Minggu, 21 Desember 2014 – 23:13 WIB

jpnn.com - MIRIS. Itulah kesan kita saat mendengar berita kematian warga gara-gara minuman keras (miras) oplosan. Hal tersebut tentu saja merupakan isu seksi yang beberapa pekan menjadi trending topic di koran, televisi, dan media sosial.

Jika kita perhatikan, para korban peristiwa tragis-melodramatis tersebut adalah orang-orang berlatar ekonomi pas-pasan. Orang-orang dengan kategori sosial menengah-lapisan bawah (lower-middle class) yang rela merogoh kocek demi mereguk kesenangan dan kepuasan sesaat.

BACA JUGA: Perang Ekonomi dan Nasib Bangsa Ini

Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali itulah peribahasa yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang dialami orang-orang kecil di atas. Selain berjuang melawan racun yang bersarang dalam tubuh, mereka harus menelan kesialan lain berupa aksi penyalahan beragam pihak atas tindakan mereka.

Padahal, mereka hanyalah korban oknum yang bernafsu mencari segepok keuntungan meski dengan mengesampingkan kepentingan orang lain. Tanpa memikirkan imbasnya, bahan-bahan mengandung racun dicampurkan pada miras beralkohol. Takaran 30 mililiter sudah cukup mengundang ajal. Sebab, saat menenggak miras oplosan itulah, tubuh manusia akan mengubah metanol menjadi formaldehida atau formalin.

BACA JUGA: Garuda tanpa Emirsyah

Dalam logika produsen dan penjual miras oplosan, hak orang lain halal dikorbankan asalkan kepentingan pribadi (private interest) bisa terwujud. Produksi miras oplosan terus berlanjut. Sebab, hanya bermodal kecil, seseorang bisa meraup untung puluhan juta hingga miliaran rupiah. Itu diperparah dengan kenyataan bahwa minuman beralkohol legal lebih sulit didapat karena penjualannya dibatasi.

Korban-korban miras oplosan semakin tersudut karena selama ini kita lebih disibukkan dengan data statistik mengenai maraknya kriminalitas, meningkatnya degradasi moral, menurunnya tingkat kecerdasan, dangkalnya kebudayaan, serta rentannya hubungan sosial sebagai dampak negatif konsumsi miras (alkoholisme). Padahal, rasanya kurang berimbang jika kita terburu-terburu menuding mereka sebagai kambing hitam tanpa menggali lebih dalam motif dasar mengapa mereka mengonsumsi miras.

BACA JUGA: Rindu Dahlan Iskan

Bila ditelisik, ada sejumlah alasan mengapa akhir-akhir ini alkoholisme begitu marak. Pertama, ia menjadi final solution bagi orang-orang kecil saat sudah tidak ada yang dapat diharapkan. Mereka sudah mentok dengan kehidupan yang lebih berpihak kepada orang-orang berdompet tebal.

Dengan mabuk, ada keyakinan bahwa mereka masih menyimpan harapan pada hari esok. Harapan yang sebenarnya tidak lebih dari sekadar fatamorgana. Dalam minda mereka, seolah terpatri slogan penghibur: ”Kesusahan boleh datang silih berganti asalkan satu kesenangan bisa diraih hari ini”. Mereka sadar bahwa sesaat setelah pengaruh miras hilang, mereka akan bergaul kembali dengan penderitaan.

Kedua, alkoholisme merepresentasikan balas dendam multidimensional; balas dendam terhadap harga kebutuhan yang meroket, pejabat publik yang sesungguhnya hanya pelayan justru berperan sebagai juragan, koruptor yang sesuka hati menggasak perhiasan ibu pertiwi, serta beragam kesulitan yang kian hari semakin sukar dihilangkan.

Ketiga, budaya tanding (counter-culture). Dengan menenggak miras, orang-orang kecil bermaksud mendeklarasikan eksistensi mereka. Dengan miras berkelas ecek-ecek, mereka ingin menandingi kebiasaan konglomerat yang menghabiskan jutaan rupiah sekali teler. Mereka ingin berkoar bahwa meski bermodal murah, toh efek melayang yang dirasakan tidak jauh berbeda dengan Liquer, konyak (Cognac), brendi, wiski, vodka, wine, sampanye, atau bir.

Keempat, upaya pergeseran status sosial. Miras, bagi orang-orang kecil, adalah salah satu sarana agar status sosial mereka berubah. Imitasi terhadap gaya hidup konglomerat yang gemar mabuk dapat mengakibatkan status sosial terdongkrak.

Hal tersebut didukung dengan fakta historis yang menunjukkan bahwa pada 1996, sebuah tim arkeolog menemukan sisa-sisa anggur berusia 7.400 tahun di Pegunungan Zagros, bagian utara Iran. Di sana terdapat gua dengan sejumlah ruangan ritual yang menyimpan kendi-kendi besar berisi buah-buahan yang dikeringkan seperti anggur, prune, kenari, dan almon (Fitria, 2011).

Dalam pandangan Mitchell S. Rothman, antropolog dan ahli Chalcolithic di Widener University, saat itu arus industri dan teknologi sedang berkembang. Ada kecenderungan orang untuk melahirkan perbedaan sosial. Ritual dengan meminum sari buah yang memabukkan, selain sebagai sarana memuja para dewa, ternyata juga menunjukkan bahwa mereka yang terlibat di dalamnya merupakan orang-orang istimewa.

Dengan mengetahui motif dasar alkoholisme, kita berharap agar para penegak hukum tidak sembarangan menyelundupkan orang ke jeruji besi. Ingat, Pak Polisi. Menangani alkoholisme tanpa menyentuh akar persoalan hanya melahirkan kriminalisasi: upaya menghakimi tanpa berniat memberi efek jera yang berarti!

*)Dosen STAI Attanwir Bojonegoro

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bertambahnya Beban Orang Tua Murid


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler