jpnn.com, BEIJING - Beberapa tahun lalu Quenie Liao sudah menambatkan hatinya untuk Amazon. Jika sedang mencari barang-barang langka, dia akan mengeklik Amazon.cn. Dia merasa lebih tenang berbelanja online di pasar digital yang disediakan perusahaan AS itu.
"Banyak teman yang mengatakan barang di Amazon lebih tepercaya. Karena itu, saya memilih mereka," ujar pegawai kantoran di Guangzhou, Tiongkok, tersebut kepada CNBC.
BACA JUGA: Kalahkan Ekspektasi Dunia, Ekonomi Tiongkok Menguat
Saat awal mengakuisisi perusahaan penjual buku online Joyo pada 2004, kiprah Amazon cemerlang. Mereka melenggang saat perusahaan seperti Alibaba sulit menyaring penjual barang-barang palsu. Pada 2011-2012, pangsa pasar mereka terhadap penjualan digital domestik di Tiongkok mencapai 15 persen.
Tapi, itu hanya masa lalu. Sekarang Liao hampir lupa tentang layanan Amazon. Dia lebih sering menjelajah Taobao, marketplace domestik milik Alibaba, atau JD untuk berbelanja. ''Mereka punya lebih banyak pilihan barang di sana,'' ujarnya.
BACA JUGA: Muktamar OBOR
Tahun ini raksasa digital itu akhirnya angkat tangan. Kemarin, Kamis (18/4) perusahaan yang didirikan Jeff Bezos tersebut mengumumkan akan menutup marketplace domestik mereka. Itu artinya, Amazon tak lagi menampung penjual barang domestik di situs mereka di Tiongkok.
''Kami tak akan mengoperasikan pangsa pasar dan jasa penjualan di Amazon.cn mulai Juli 2019. Kami sedang memberi tahu semua penjual,'' ujar jubir Amazon dalam pernyataan resmi dilansir CNN.
BACA JUGA: Perut Gunung
BACA JUGA: Amazon Ingin Saingi AirPods Milik Apple
Pasar e-commerce di Tiongkok sangat menggoda. Potensi itu didorong jaringan ritel fisik yang tak merata dan ongkos kirim yang ringan. Lembaga riset eMarketer mengatakan, penjualan di sektor itu mencapai USD 2 triliun (Rp 28 ribu triliun).
Namun, Amazon memilih gulung tikar. Sebab, hasil mereka tak sebanding dengan investasi. Menurut konsultan Analysys, mereka hanya mendapatkan 0,6 persen dari seluruh pangsa pasar business to consumer ritel online di Tiongkok tahun lalu. Sebaliknya, Tmall milik Alibaba meraup 61,5 persen dan JD.com meraup 24,2 persen. Amazon bahkan kalah oleh perusahaan kecil seperti Pinduoduo dan VIP.com.
''Beberapa tahun belakangan bisnis kami berkembang menjadi jasa penjualan lintas negara. Kami melihat respons yang baik dari konsumen yang butuh barang otentik dan berkualitas,'' ujar jubir Amazon.
Meski angkat tangan, Amazon masih punya layanan di Tiongkok. Mereka masih menjajakan layanan pembelian produk luar negeri secara online. Juga penjualan Kindle, buku elektronik khas Amazon, dan jasa cloud computing.
Pakar mengatakan, Amazon belum sadar alasan kekalahan mereka di Tiongkok. Selama belasan tahun, Amazon tak merangkul budaya penduduk Tiongkok. ''Mereka tetap mempertahankan gaya situs ala Amerika dan tidak melakukan promo saat Double 11. Seakan mereka terlalu sombong untuk menjadi perusahaan lokal,'' ungkap Li Chengdong, pendiri Dolphin Think Tank, perusahaan riset tentang jasa digital.
Double 11 atau biasa disebut Singles' Day merupakan momen tahunan Tiongkok yang biasa diisi diskon besar-besaran. Alibaba maupun JD menggelar promo besar-besaran dalam momen tersebut. Sementara itu, Amazon masih fokus menggelar promo Black Friday dan Cyber Monday khas Amerika. (bil/c17/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelaku UMKM Harus Rambah E-Commerce
Redaktur & Reporter : Adil