Ambil Gaji, Guru Harus Turun Gunung

Tinggalkan Sekolah, ATM di Barabai Berjubel

Rabu, 11 Januari 2012 – 12:33 WIB
BARABAI – Implementasi perdana menggunakan kartu pegawai elektronik (KPE) bagi guru di Hulu Sungai Tengah tak menggembirakan. Informasi gaji dari tanggal 10 Januari 2011, ribuan guru menyerbu anjungan tunai mandiri (ATM) dan memadati Bank BPD Barabai.

Kontan saja, program pemerintah pusat ini mendapat respon negatif guru tak rela antre di depan pintu ATM dan meja teller bank yang khusus melayani PNS. Dari hitungan kasar saja, seluruh anjungan tunai mandiri di seluruh Barabai, kemarin diserbu guru yang ingin mengambil haknya. 

Menurut Rahman, salah satu PNS di Dinas Pendidikan, ia urung mengambil gaji akibat membludaknya antrean ATM dan meja teller. Kendati membutuhkan gajinya, terpaksa dibatalkannya karena takut ATM ditelan mesin yang sudah ‘lelah’ akibat penarikan besar-besaran para guru.

“Sebentar lagi lah, paling besok malam sudah bisa mengambil gaji, masih melihat situasi,” katanya.

Dia memperkirakan, penerapan gaji melalui kartu pegawai elektronik cukup menyulitkan guru yang tidak akrab dengan ATM dan perbankan, Rahman mengaku kasihan melihat guru-guru senior harus keleletan dan sering minta bantu rekannya  di mesin uang untuk mengambil sendiri gajinya.

Keruwetan serupa diucapkan Ahmad Kusasi, guru senior yang biasa mengambil kontan gajinya melalui bendahara di sekolahnya  harus meninggalkan siswanya. Perubahan kultur penggajian ini mengakibatkan sesama guru saling bertanya dan menumpuk di emperan bank dan dipintu ATM.
“Coba pian lihat, mereka yang ingin ambil gaji manual melalui teller saling bertanya. Padahal hanya mengisi slip pengambilan,” ujarnya menunjuk beberapa guru yang duduk di emperan pintu masuk BPD Barabai.
 
Menurutnya, selama ini guru tidak perlu repot hanya mengambil gaji, karena sudah terwakili dari bendahara sekolah mewakili sekolah. Penerapan KPE ini sedikit repot, saat mengambil gaji guru belum termasuk  potongan koperasi dan iuran PGRI.

”Setelah ambil gaji kami baru membayar ulang potongan koperasi, ini kan merepotkan,” tambah Kusasi.
 
Dua orang guru yang mengantre di ATM bersama di depan Kantor Bupati HST yang mengajar di salah sekolah di pegunungan di Hantakan dan Batang Alai Selatan mengatakan, secara jujur cukup kerepotan turun gunung bersama beberapa rekannya. Biasa guru yang mengajar di gunung jarang ke Barabai hanya mengurus gaji karena sudah diwakilkan oleh bendaraha.
 
“Hari ini kami bertiga ke Barabai, siswa harus kami tinggal lebih awal,” kata salah guru di salah satu sekolah dasar di Hantakan yang tidak mau namanya dikorankan karena tidak enak hati meninggalkan siswanya hanya karena mengambil gaji.
 
Salah satu guru yang mengajar di Batang Alai Selatan juga mengatakan hal yang sama, ia memperkirakan, bakal tiap bulan dan pada tanggal tertentu turun gunung hanya mengambil duit gaji di ATM.

”Kasihan teman yang mengajarkan di atas gunung yang lebih jauh dari kami, mereka harus jalan kaki dulu, setelah itu baru naik motor lagi ke Barabai sekadar ambil gaji,” ucap pria yang juga namanya enggan diekspose dengan alasan yang sama.

Prioritas penerapan KPE di HST di awal 2012 dikhususkan hanya untuk guru dan bertahap bagi PNS yang lain. Sementara, beberapa PNS di SKPD lain masih ambil gaji manual, seperti Lia, perempuan yang bekerja di RSUD H Damanhuri ini masih mendapat gaji tanpa antre di kantornya.
”Saya masih ambil kontan di kantor, tanggal 9 sudah gajian,” terangnya singkat, kemarin.
 
Penerapan KPE bukan tanpa cela, Syamsuddin Arsyad salah satu tokoh masyarakat mengaku kaget. Implementasi KPE tidak didukung infrastruktur cukup, lemahnya bidang pelayanan mengakibatkan perburuan uang gaji di ATM sangat mengganggu proses belajar mengajar di sekolah-sekolah.
Disatukannya pembayaran gaji menggunakan ATM bersama sejatinya memberikan kemudahan dan praktis dan dari administrasi, namun imbasnya guru harus meninggalkan ribuan siswanya di sekolah pada hari bersamaan.
 
Jika dihitung siswa SD /MI se HST 25.810 SLTP/MI sederajat 5.695 siswa, dan diambil setengahnya saja siswa terlantar, tentu merugikan daerah.
Ia tidak yakin jumlah ATM di Barabai mencukupi untuk menerima penarikan tunai sebanyak 3.600an tenaga pendidik di hari yang sama. Jika dirata-ratakan dana terisi penuh di anjungan tunai mandiri Rp 400 juta, dan tiap guru ambil tunai sebanyak Rp 2 juta, tentu membutuhkan uang segar Rp 7,2 miliar atau sebanyak 18 unit ATM.

Padahal, jumlah ATM bersama di Barabai sangat terbatas. Kendati lokasinya lumayan strategis seperi di kawasan jalan Murakata, di Pasar Keramat, Pasar Murakata, Kampung Arab, Kampung Kopi, dan di kawasan perkantoran Lapangan Dwi Warna namun tidak menjamin jumlah dana berisi penuh dan perlu menambah dana untuk mengisi sejumlah uang di ATM.
 
“Ini baru untuk kasus guru. Bisa dibayangkan seluruh PNS sudah menerapkan menggunakan KPE, padahal infrastruktur dan pelayanan perbankan sangat lemah,” tambahnya.

Dibalik terobosan KPE, ia yakin ada jalinan peningkatakan pelayanan di bidang kepegawaian dengan akses luas yang efisien dan efektif. Mengingat KPE sudah menggunakan teknologi smart card dan otentifikasi sidik jari,  sehingga selain sebagai identitas PNS, KPE dapat memberikan layanan kesehatan, Taspen, Taperum. (amt)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Disiapkan Perda Ringkus Koordinator Gepeng

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler