Ambon Manise

Minggu, 14 Juli 2013 – 10:54 WIB
PEKAN lalu saya mengunjungi Yogyakarta hanya untuk menemukan bukti bahwa kemacetan yang terjadi di Jakarta telah melanda ke sejumlah kota di Jawa. Tidak bisa disangkal, destinasi wisata yang utama di Indonesia –termasuk Bali dan Bandung – sudah sangat sesak dan cukup membuat banyak kepala stress.

Nah, Tukang Cerita sekarang memiliki destinasi baru bagi siapa saja yang sudah bosan berlibur di Jakarta. Secara jarak memang jauh, tapi karena itulah destinasi baru ini lebih menarik baik dari fisik maupun budaya.

Saya menyarankan Ambon – atau kerap disebut Ambon Manise – sebagai destinasi pilihan. Sebuah tempat yang masih alami dan penuh kejutan: jauh berada di jantung Laut Banda dan menjadi pintu gerbang ke sejumlah pulau-pulau yang ada di sekelilingnya; Kei, Tanimbar, Halmahera dan Seram.

16 tahun belakangan atau sejak tumbangnya tahta Suharto pada tahun 1998, Ambon didera konflik antar-agama.

Sejarah mencatat bahwa kota yang dihuni oleh lebih dari 300.000 (dengan perbandingan demografis Kristen dan Muslim 60:40) penduduk ini melewati proses menuju kota yang dianggap stabil dengan jalan berliku, namun saat ini Ambon bisa dikatakan telah menemukan kedamaian.

Seperti kebanyakan kota di Republik ini yang terguncang adanya gelombang investasi dari pusat perbelanjaan, perhotelan dan perumahan berdampak pada jalan-jalan yang menyempit dan penuh sesak.

Saya sedang berada di Ambon pekan lalu, melakukan wawancara dan merasakan bagaimana kota ini menceritakan kisahnya kepada saya.

Meskipun saya bukan seorang turis, tapi saya menghabiskan cukup waktu untuk menikmati pemandangan sembari mendengarkan cerita dari kedua sisi agama – sebuah jurang yang terbentang di periode 1999-2002 yang menggambarkan sebuah kota terpisahkan secara fisik dari berbagai fasilitasnya – yang memiliki kantor pemerintahan dan swasta untuk melayani orang Kristen dan lainnya untuk orang Muslim.

Tetapi Ambon, dengan sejarahnya lebih dari lima ratus tahun lalu – yaitu saat Eropa pertama kali menyerang  ditahun 1500-an – telah menjadi wilayah istimewa yang diperebutkan dunia.

Keinginan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah – termasuk penghasil terbesar bunga cengkeh pada masa Sultan Ternate dan Tidore di belahan utara serta kenari dan buah pala di Banda bagian selatan – menyebabkan pertempuran, konflik sengit antara Belanda, Portugis, Inggris dan elit lokal pada masa itu.

Ambon tahun 2013 mencerminkan peristiwa tersebut, yaitu perselisihan komunal baru-baru ini yang teratasi melalui proses demokrasi dan aktivisme sosial serta ketatnya bantuan keamanan.

Sementara beberapa kedutaan besar luar negeri memberikan peringatan agar tidak mengunjungi kota ini, wisatawan yang sadar dan sensitif pasti bisa menikmati kota ini tanpa masalah.

Pengusaha di bidang perhotelan Rebecca Wilkinson, yang menyediakan layanan lengkap kapal pesiar mewah di Indonesia bernama Tiger Blue memilih Ambon sebagai titik persinggahan bagi perahu-perahu yang selama 22 jam akan mengelilingi pulau-pulau Banda.

Seperti yang Rebecca tegaskan: “Lokasi Ambon mengingatkan saya pada Rio de Janeiro atau Sydney. Ambon sungguh luar biasa, khususnya pada malam hari di saat lampu-lampu kota gemerlapan berkelap-kelip di atas bukit.”

Saya menghabiskan beberapa jam berjalan-jalan di pasar-pasar. Meski saya tidak bisa memakan sagu sebagai hidangan pembuka makan siang, saya tertarik dengan bentuk sagu yang dijual, seperti gundukan bola tenis yang berwarna putih, sagu siap untuk dibeli.

Para pengunjung pasar sendiri mengundang daya tarik, mengingatkan saya pada skala geografis yang luas dengan beragam demografisnya Republik ini.

Kota ini bukanlah Bukittinggi atau Semarang. Sebaliknya Ambon memiliki keturunan Polinesia: wajah lebih gelap, ciri-ciri sangat jelas dan rambutnya lebih keriting.

Berdiri di tepi laut, anda dapat mengamati wisatawan tiba dari kota-kota lain di ujung paling barat Papua seperti Sorong dan Manokwari hingga pulau Buru yang dijadikan penjara di zaman Suharto (penulis tersohor negeri, Pramoedya Ananta Toer pernah dibui disini) dan dari tempat-tempat lain.

Terdapat kedai kopi yang ramai pengunjung sebut saja kafe Sibu-Sibu dan Joas di sepanjang jalan Said Perintah di tengah kota. Orang Ambon sangat senang duduk-duduk dan menonton lalu-lalang orang yang lewat, sambil menyerutup kopi Rarobang yang dicampur dengan jahe, kenari dan rempah-rempah lain, dinikmati dengan sepiring pisang goreng.

Saya harus menambahkan juga bahwa di Ambon terdapat museum kuno dengan dua kerangka ikan paus yang sangat besar di dalamnya. Juga terdapat pemakaman era Perang Dunia II yang menghadap pelabuhan, tertanam dua pohon hujan epifit yang sangat besar di dalamnya.

Jadi bagi orang Indonesia yang sedang mencari petualangan yang seru dan tidak keluar dari Indonesia, Ambon menyajikan tujuan wisata yang unik dan menarik.

Mari, datang ke Ambon![***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Turki Berada di Tepi Jurang

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler