Turki Berada di Tepi Jurang

Senin, 17 Juni 2013 – 15:25 WIB
KETIKA saya mengunjungi Turki akhir tahun lalu, negara ini sedang menikmati perhatian dunia sebagai sebuah benteng demokrasi, memiliki pertumbuhan dan stabilitas ekonomi – sebuah kombinasi yang langka di dunia Muslim.

Namun saat ini, hanya dalam enam bulan kemudian, betapa hal-hal telah berubah dengan banyaknya demonstrasi yang mengguncang kota-kota di Turki!

Unjuk rasa memang mengekspos garis-garis retakan yang kritis di Turki. Tetapi pertama-tama, ada suatu konteks yang diketahui bahwa Perdana Menteri tiga periode Recep Tayyip Erdogan dengan partai beraliran neo-islamis yang didirikannya Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP)telah mengubah Turki.

Dibawah kendali mereka, ekonomi Turki tumbuh pada tingkat yang mengejutkan, termasuk pertumbuhan sebesar 8.5% pada tahun 2011. Turki juga muncul sebagai sebuah kuasa regional yang meminta konsesi dari sekutu dominannya, Israel dan menegaskan kemerdekaannya dalam soal konflik Suriah.

Sebaliknya, kekhawatiran muncul terhadap otokrasi dari pemerintahan Erdogan yang cenderung meningkat. Sebuah laporan Komite untuk Perlindungan Wartawan (CPJ) menemukan bahwa Turki menempatkan jurnalis di penjara lebih dari negara Iran dan China pada tahun 2012.

Juga disebutkan bahwa amendemen untuk Konstitusi Turki yang akan datang diarahkan untuk memastikan Erdogan kembali menguasai kursi kepresidenan, sehingga ia dapat melanggengkan kekuasaannya.

Erdogan telah berulang kali mengatakan bahwa ia berkomitmen untuk menegakkan demokrasi sekuler di Turki. Namun para kritikus melihat ia justru seperti bersiap untuk membangkitkan kembali absolutisme Kekaisaran Ottoman.

Pada saat yang sama, ada peningkatan kekhawatiran diantara para kaum sekuler terhadap apa yang mereka lihat, di mana islamisasi mulai merambat pada masyarakat Turki.

Pertemuan semua ketegangan ini mungkin menjelaskan protes-protes yang berpusat di sekitar Taman Taksim Gezi di Istanbul sejak akhir Mei 2013.

Pemerintah sebelumnya telah mengumumkan rencana-rencana kontroversial  untuk menghilangkan Taman Gezi kecil; meliputi penerapan jalur pejalan kaki di Alun-alun Taksim dan membangun kembali sebuah replika dari Barak Militer Taksim era Ottoman yang berdiri disana sampai tahun 1940.

Seperti kebanyakan ruangan besar terbuka dalam setiap suburban yang padat dan penuh sesak (bayangkanlah Lapangan Tiananmen Beijing), Alun-alun Taksim kaya akan simbolisme – terutama sebagai lokasi dari Monumen negara.

Dengan membangun kembali Barak Militer Ottoman, ini akan membuat seolah-olah Erdogan sedang berusaha menantang, jika bukan mengenang kembali, warisan Mustafa Kemal Ataturk.

Para pengunjuk rasa secara jelas juga marah terhadap berkurangnya ruang publik di dalam kota, belum lagi keputusan pemerintah yang bersikeras untuk menghancurkan fasilitas tersebut. 

Pada saat penulisan ini, setidaknya empat orang tewas dan lebih dari 4.000 orang terluka. Protes-protes tersebut kemudian bergerak lebih dari sekedar Taman Gezi dan menjadi sebuah simbol dari bagian masyarakat Turki yang mengeluh terhadap pemerintahan Erdogan – semua orang dari pendukung tradisional Kemal curiga pada agenda islamisasi terhadap liberal muda yang menolak  untuk keluar dari masalah.

Erdogan tetap menantang, mencap para pengunjuk rasa sebagai ekstrimis minor dan mengisyaratkan secara tersirat bahwa elemen-elemen asing mungkin berada di balik kekerasan yang terjadi.

Di sisi lain, Presiden Abdullah Gul bertemu dengan pemimpin oposisi dan hadir untuk membela hak para pengunjuk rasa untuk turun ke jalan, mengarahkan penarikan polisi sekaligus meminta maaf atas kekuatan yang digunakan secara berlebih untuk mengatasi demonstrasi.

Namun Erdogan kemudian telah mengirim kembali polisi untuk membersihkan alun-alun, meskipun dengan berjanji bahwa ia akan bertemu dengan para pemimpin protes tertentu.

Kita tidak tahu apa yang akan muncul dari unjuk rasa tersebut, tetapi jelas bahwa Turki sedang dalam cengkraman sebuah perang budaya dengan ketradisionalan, yang berbasis di pedesaan dan golongan agama yang menentang golongan urban yang lebih kebarat-baratan. Mereka khawatir pada kelangsungan demokrasi Turki, belum lagi tumbuhnya kerapuhan aspirasi sekuler dari Ataturk untuk negara ini.

Melihat dari permukaannya, tampak seperti sebuah perkara baru melawan perkara lama, kaum urban melawan kaum pedesaan dan golongan sekuler melawan golongan religius, tapi dengan menggores permukaan tersebut, maka semakin sulit untuk menggambarkan dengan rapi berbagai kelompok, posisi dan tujuannya dalam perbedaan warna antara hitam dan putih.

Memang, semua negara memiliki “jalur retakan” yang khas: ras, agama, atau budaya. Demonstrasi di Turki memberi sebuah peringatan bahwa negara yang demokasinya paling sukses sekali pun sulit untuk keluar dari masalah ini.

Tantangannya adalah bagaimana mereka mengelola ketegangan ini saat mereka hampir pasti akan pecah. Seseorang harus mencari tahu bagaimana sebuah negara lain dengan demokrasi Muslim – Indonesia – akankah mengalami kondisi yang sama seperti di Turki? [***]
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilu Malaysia

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler