INDIANA - Pemerintah Amerika Serikat membebaskan seorang wanita yang pernah tercatat sebagai terpidana mati termuda dalam sejarah negara tersebut. Paula Cooper yang kini berumur 43 tahun, dijatuhi hukuman mati setelah terlibat perampokan berujung kematian seorang penginjil saat dia berumur 15 tahun. Paula dibebaskan Senin (17/6) setelah menjalani hukuman selama 25 tahun di penjara Indiana.
Seperti dikutip dari cbsnews, Selasa (18/6), wanita berkulit hitam itu dibawa meninggalkan penjara untuk kemudian dibawa ke tempat yang masih dirahasiakan. Untuk membuka lembaran baru hidupnya, pihak penjara hanya membekali uang USD 75 atau sekitar Rp 750 ribu. Paula dihukum mati karena mengaku telah membunuh penginjil bernama Ruth Pelke dengan cara menusuknya menggunakan pisau daging sebanyak 33 kali.
Di persidangan terungkap, aksi sadis itu dilakukan Paula bersama 3 remaja putri lain pada 14 Mei 1985. Pelke yang berusia 78 tahun memperbolehkan Paula dan dua temannya masuk rumah setelah mereka mengaku tertarik untuk mendalami injil. Selepas menghabisi Pelke, kawanan perampok remaja itu kemudian kabur menggunakan mobil korban dan hanya membawa hasil rampokan berupa uang tak lebih dari USD 10.
Pengadilan kemudian menghukum 3 rekan Paula dengan hukuman penjara 25 sampai 60 tahun. Sementara Paula yang mengaku terus terang sebagai eksekutor dihukum mati. Hukuman mati dengan cara duduk di kursi listrik tak pernah terwujud sebab keluarga Paula dengan berbagai cara terus berjuang menghindari hukuman. Termasuk meminta pengampunan pada Paus Yohanes Paulus II yang akhirnya dikabulkan.
Pengampunan ini dijadikan dasar untuk menggalang petisi penolakan hukuman terhadap Paula. Hasilnya 2 juta orang menyatakan menolak pelaksanaan eksekusi. Mahkamah Agung meringankan hukuman Paula menjadi 60 tahun penjara dengan alasan vonis mati melanggar HAM dan konstituti Amerika, menyusul adanya UU baru yang menaikan batas umur terpidana yang bisa dieksekusi mati menjadi 18 tahun saat kejadian berlangsung.
Hukuman Paula makin ringan setelah dia berkelakuan baik dan berhasil meraih gelar sarjana hukum pada tahun 2001. Walau dibebaskan Paula tetap diharuskan wajib lapor selama beberapa tahun.
"Saat kejadian dia hanya anak kecil, sekarang dia sudah dewasa. Orang-orang harus memberikan kesempatan kedua yang mungkin akan dia manfaatkan dengan melakukan hal-hal yang indah," kata adik Paula, Rhonda Labroi. (pra/jpnn)
Seperti dikutip dari cbsnews, Selasa (18/6), wanita berkulit hitam itu dibawa meninggalkan penjara untuk kemudian dibawa ke tempat yang masih dirahasiakan. Untuk membuka lembaran baru hidupnya, pihak penjara hanya membekali uang USD 75 atau sekitar Rp 750 ribu. Paula dihukum mati karena mengaku telah membunuh penginjil bernama Ruth Pelke dengan cara menusuknya menggunakan pisau daging sebanyak 33 kali.
Di persidangan terungkap, aksi sadis itu dilakukan Paula bersama 3 remaja putri lain pada 14 Mei 1985. Pelke yang berusia 78 tahun memperbolehkan Paula dan dua temannya masuk rumah setelah mereka mengaku tertarik untuk mendalami injil. Selepas menghabisi Pelke, kawanan perampok remaja itu kemudian kabur menggunakan mobil korban dan hanya membawa hasil rampokan berupa uang tak lebih dari USD 10.
Pengadilan kemudian menghukum 3 rekan Paula dengan hukuman penjara 25 sampai 60 tahun. Sementara Paula yang mengaku terus terang sebagai eksekutor dihukum mati. Hukuman mati dengan cara duduk di kursi listrik tak pernah terwujud sebab keluarga Paula dengan berbagai cara terus berjuang menghindari hukuman. Termasuk meminta pengampunan pada Paus Yohanes Paulus II yang akhirnya dikabulkan.
Pengampunan ini dijadikan dasar untuk menggalang petisi penolakan hukuman terhadap Paula. Hasilnya 2 juta orang menyatakan menolak pelaksanaan eksekusi. Mahkamah Agung meringankan hukuman Paula menjadi 60 tahun penjara dengan alasan vonis mati melanggar HAM dan konstituti Amerika, menyusul adanya UU baru yang menaikan batas umur terpidana yang bisa dieksekusi mati menjadi 18 tahun saat kejadian berlangsung.
Hukuman Paula makin ringan setelah dia berkelakuan baik dan berhasil meraih gelar sarjana hukum pada tahun 2001. Walau dibebaskan Paula tetap diharuskan wajib lapor selama beberapa tahun.
"Saat kejadian dia hanya anak kecil, sekarang dia sudah dewasa. Orang-orang harus memberikan kesempatan kedua yang mungkin akan dia manfaatkan dengan melakukan hal-hal yang indah," kata adik Paula, Rhonda Labroi. (pra/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kepala Beruang Nyangkut di Stoples
Redaktur : Tim Redaksi