Amerika Merdeka

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 04 Juli 2022 – 16:39 WIB
Presiden Amerika Serikat Joe Biden (kiri). Foto: ANTARA /REUTERS/Kevin Lamarque/rwa.

jpnn.com - Hari ini 4 Juli adalah hari kemerdekaan bangsa Amerika Serikat. 

Tahun ini mereka merayakan kemerdekaan ke-246 sejak deklarasi kemerdekaan dibacakan oleh Thomas Jefferson pada 1776. 

BACA JUGA: Amerika Serikat Mulai Terapkan Larangan Impor Barang dari Xinjiang karena Pelanggaran HAM

Dua abad lebih kemerdekaan suatu bangsa adalah satu capaian besar. 

Dengan segala kelemahan dan kekuatannya, Amerika Serikat sampai sekarang masih tetap dianggap sebagai adidaya dunia. 

BACA JUGA: Rusia Tebar Ancaman, Amerika Kirim Pasukan, Eropa Makin Mencekam

Posisi Amerika sudah ditantang oleh adidaya baru seperti China dan juga Rusia, tetapi Amerika Serikat masih akan tetap memegang kepemimpinan internasional sampai beberapa tahun ke depan.

Independence Day-Fourth of July, begitu orang Amerika menyebut, menandai terbebasnya Amerika dari penjajahan kolonialisme Inggris. 

BACA JUGA: Biden Tegaskan AS dan Sekutunya Siap Melawan Negara Pengacau Ketertiban

Kongres Kontinental mengeluarkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditandatangani oleh Thomas Jefferson. 

Kemudian, George Washington terpilih sebagai presiden pertama negara baru itu. 

Washington mempunyai modal politik dan modal historis untuk menjadi presiden seumur hidup. 

Dia sangat populer di mata rakyat dan sangat dihormati karena perannya dalam perang kemerdekaan. 

Akan tetapi, Washington menyadari bahwa negara demokrasi yang masih bayi itu bisa dengan mudah jatuh dalam otoritarianisme kalau dia menjadi presiden dalam jangka waktu yang panjang. 

Konstitusi Amerika Serikat ketika itu tidak membatasi masa jabatan kepresidenan. 

Akan tetapi, Washington membatasi dirinya sendiri hanya dua periode. 

Dia kemudian digantikan oleh John Adams yang menang pemilu melawan Thomas Jefferson yang sebenarnya enggan maju di pemilihan presiden. 

Adams kemudian mengangkat Jefferson sebagai wakil presiden.

Washington dan para pendiri Amerika menyadari kemungkinan adanya godaan untuk berkuasa lebih lama dan saling memperebutkan kekuasaan. 

Akan tetapi, mereka menunjukkan iktikad untuk melakukan ‘’forebearance’’ menahan diri, untuk tidak memperpanjang masa kekuasaannya, karena khawatir akan mengancam demokrasi.

Amerika telah memberi contoh sebagai negara demokrasi modern tertua di dunia. 

Tiap tahun jutaan warga Amerika merayakan hari kemerdekaan ini sebagai hari libur nasional.  

Mereka berpesta, bergembira, berpiknik, dan pesta makan barbeku. 

Presiden Joe Biden memberikan pidato kenegaraan, State of the Union, menjelaskan berbagai isu penting kepada rakyatnya.

Di tengah kegembiraan ulang tahun, Amerika harus menghadapi problem ekonomi yang sulit. 

Harga-harga naik menyebabkan terjadinya inflasi. 

Perang Rusia melawan Ukraina membawa dampak bagi ekonomi Amerika. 

Presiden Joe Biden dianggap kurang cakap dalam menyelesaikan masalah-masalah ekonomi. 

Angka inflasi menembus 8,6 persen dan menjadi rekor dalam 40 tahun terakhir. 

Publik Amerika menyebut inflasi yang tinggi ini sebagai ‘’Bidenflation’’, inflasi akibat salah urus ekonomi oleh Joe Biden. 

Bukan hanya lawan politik Biden yang mengecamnya, para pemilih Biden dari Partai Demokrat juga sangat khawatir terhadap kondisi ekonomi Amerika, dan mereka menyebut Biden tidak kompeten dalam mengurus ekonomi.

Sisi suram masyarakat Amerika pernah digambarkan oleh sutradara Oliver Stone dalam film terkenal ‘’Born on the Fourth of July’’ yang dibintangi Tom Cruise.

Film itu sengaja dibuat untuk mengingatkan sisi suram sejarah bangsanya. 

Stone adalah sutradara yang selalu memasukkan pandangan-pandangan politiknya atas suatu isu nasional. 

Born On The 4th of July diproduksi tahun 1989, berkisah mengenai hidup Ron Kovic yang terentang panjang sejak Ron menjalani masa-masa kecil, remaja,  terjun ke perang Vietnam, hingga menjadi aktivis anti-perang. 

Kovic adalah simbol pemuda naif yang mengira perjuangannya di Vietnam akan dihargai oleh masyarakat sekeliling. 

Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Kovic terkena tembakan di medan perang dan lumpuh permanen. 

Dia menerima kenyataan pahit. Sambutan masyarakat terhadapnya tak seramah yang diperkirakannya. 

Akhirnya, Kovic menyadari bahwa dia dan sejumlah teman-temannya veteran perang berjuang untuk sebuah kesia-siaan. 

Para veteran tentu kecewa berat menerima kenyataan ini. 

Begitu pula Kovic yang memang terlihat labil akibat keadaan dirinya yang tak lagi sempurna. 

Kovic yang merasa hatinya sepi hanya bisa menangis tersedu-sedu sembari berteriak, “Who will love me?” 

Kenyataan pahit lain yang diteria Kovic adalah ia mengalami impoten, karena disiksa oleh lawan secara brutal sampai merusak fungsi alat vitalnya. 

Pada sebuah adegan, Kovic menangis ketika menyadari bahwa dirinya tidak bisa lagi memerankan fungsi sebagai laki-laki dewasa. 

Kovic merasa telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk berbakti kepada negara, tetapi yang diperolehnya adalah mimpi buruk yang terus-menerus mengganggunya. 

Dia selalu dikejar rasa bersalah dan penyesalan seumur hidup, karena secara tidak sengaja menembak wanita dan anak kecil dalam sebuah serangan bersenjata. 

Kisah muram Kovic ini bukan sepenuhnya fiktif. 

Seorang veteran Perang Dunia II bernama Carl Spurlin Dekel hari merayakan ulang tahun ke-100 dan diliput oleh media-media besar Amerika (4/7). 

Dalam wawancaranya, Dekel mengatakan bahwa kondisi Amerika sekarang ini bukanlah kondisi yang diimpikannya bersama teman-temannya ketika berperang di Perang Dunia II.

Dekel menangis ketika mengenang masa-masa ketika ia masih muda dan Amerika berada pada masa gemilang setelah memenangkan Perang Dunia II. 

Dia bisa mencapai umur satu abad karena berkah kemajuan ekonomi Amerika yang melahirkan kesejahteraan bagi warga. 

Pemerintah menyediakan jaminan sosial dan kesehatan yang baik, dan pendidikan bisa dijangkau oleh semua orang dari berbagai kalangan.

Akan tetapi, sekarang, ketika Dekel berusia seabad, dia merasa sangat prihatin terhadap kondisi bangsanya. 

Dia prihatin karena semakin banyak warga Amerika menjadi korban pembunuhan akibat kepemilikan senjata api yang bebas. 

Kondisi ekonomi yang memburuk membuat perbedaan kaya miskin menganga. 

Keputusan The Supreme Court, Mahkamah Agung Amerika, yang membatalkan hak aborsi dianggapnya telah menjadi langkah mundur bagi demokrasi Amerika.

Dalam beberapa minggu terakhir Amerika berkutat dalam kontroversi dan polarisasi akibat keputusan SCOTUS—Supreme Court of the United States—yang membatalkan perlindungan hak aborsi yang sudah ada sejak 1973. 

Keputusan ini menjadi kontroversi nasional dan membelah opini publik menjadi dua.

Pada 1973 SCOTUS menyidangkan kasus Roe vs Wade mengenai gugatan seorang wanita yang dilarang menggugurkan kandungannya berdasarkan undang-undang negara bagian Texas. 

SCOTUS kemudian memutuskan kemenangan bagi Roe dan memberi jaminan konstitusi kepada semua wanita untuk melakukan aborsi. 

Keputusan ini sekaligus menganulir semua undang-undang pemerintah negara bagian yang melarang aborsi. 

Keputusan Roe vs Wade menjadi tonggak paling penting dalam sejarah hak perempuan di Amerika, terutama kalangan liberal. 

Sebaliknya, kalangan konservatif mengecam keputusan ini. 

Sejak saat itu perang opini antara dua kubu berkembang menjadi perang politik antara Partai Demokrat vs Partai Republik. 

Partai Demokrat yang liberal mendukung hak aborsi, sementara Partai Republik yang konservatif menentang aborsi.

Masyarakat Amerika mengalami polarisasi hebat dalam beberapa waktu terakhir. Berbagai demontrasi muncul menentang keputusan itu. 

Demonstrasi yang sama bermunculan untuk mendukung keputusan itu. 

Persaingan kalangan konservatif dengan kalangan liberal ini akan terus berlangsung sampai pemilihan presiden 2024. 

Kabarnya Donald Trump akan comeback melawan Joe Biden yang mungkin masih akan maju lagi kendati usianya nanti sudah 80 tahun.

Polarisasi politik yang keras adalah fenomena yang wajar di alam demokrasi. 

Di Amerika polarisasi itu dikanalisasi dalam sistem dua partai, konservatif dan liberal. Di Indonesia polarisasi semacam itu juga terjadi. 

Polarisasinya hampir sama dengan polarisasi di Amerika.

Sudah saatnya Indonesia menggagas kemungkinan lahirnya sistem dua partai seperti Amerika. Dirgahayu, Amerika. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler