jpnn.com, JAKARTA - Di tengah perjuangan semua negara dalam melawan pandemi COVID-19, hubungan antara dua negara adikuasa, Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas terkait Laut China Selatan yang diyakini memiliki sumber daya alam melimpah.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjajaran (Unpad), Teuku Rezasyah mengatakan perkembangan di Laut China Selatan (LCS) telah berada pada situasi yang sangat mengkhawatirkan dan mengganggu terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional.
BACA JUGA: Dunia Tak Akan Membiarkan Tiongkok Berlagak Seperti Raja di Laut China Selatan
Setiap harinya masyarakat internasional dikuatirkan dengan berbagai potensi perang.
Kegiatan paling menonjol adalah meluasnya kegiatan militer Republik Rakyat Tiongkok (RRC) disekitar wilayah yang dipersengketakan, mulai dari gelar pasukan hingga latihan militer terbatas.
BACA JUGA: Kapal Induk Amerika Beraksi di Laut China Selatan, Tiongkok Cuma Bisa Melongo
Pada saat yang sama, kehadiran beberapa kapal induk Amerika Serikat di perairan internasional yang mendekati wilayah yang dipersengketakan tersebut, sangat menggusarkan Tiongkok.
Akibatnya, lanjut Teuku Rezasyah, sudah terjadi saling ancam antara AS dan RRC, seperti serangan peluru kendali RRC atas kapal induk AS.
BACA JUGA: Tiongkok Kembali Bikin Kekacauan di Laut China Selatan, Amerika Cuma Bisa Prihatin
???????Selanjutnya, potensi konflik yang menguat ini mulai melibatkan kemitraan perang antara AS dengan para sekutunya seperti Australia, Jepang, dan Taiwan dalam menghadapi arogansi RRC.
Memburuknya keadaan ini mengancam terpeliharanya hukum internasional, lalu-layar perdagangan internasional, solidaritas ASEAN, dan kemandirian Republik Indonesia sebagai negara yang tidak memiliki tuntutan wilayah di Laut China Selatan ini.
Dari sudut pandang Donald Trump, ujar Teuku Rezasyah, krisis di Laut China Selatan ini sangat menantang kepemimpinan global AS sebagai negara maritim, yang mengharamkan munculnya Tiongkok sebagai pesaing global.
Donald Trump cenderung mengawinkan momentum Pilpres bulan November 2020 dengan krisis di Laut China Selatan guna meningkatkan kredibilitasnya di dalam dan luar negeri, agar terpilih kembali sebagai Presiden.
Sebaliknya, RRC sudah berada pada posisi angkuh, mengingat keberhasilannya menangani COVID-19, kerontokan ekonomi negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan ASEAN, yang selama ini mengkritisi kepemilikan lahan RRC di Laut China Selatan.
RRC semakin percaya diri, mengingat meningkatnya kredibilitas RRC pasca pembangunan Belt and Road Initiative (BRI) dan investasi langsungnya di Asia dan Afrika.
Konflik di Laut China Selatan ini diperkirakan hanya sebatas saling mengancam secara militer, pemberian sanksi ekonomi, dan tekanan politik. Karena para pelakunya, dalam hal ini RRC dan AS berikut sekutunya, juga mengkhawatirkan dampak global dari krisis ini.
Walaupun tidak akan terjadi konflik terbatas antara RRC melawan AS beserta sekutu-sekutunya, kemungkinan besar yang terjadi adalah Perang Dingin Terbatas di Laut China Selatan, ujar Teuku Rezasyah.
Contohnya adalah saling kecam dan saling memainkan aturan hukum internasional, berikut kampanye global yang saling menyudutkan.
"Akan terjadi juga pacu senjata, berupa pembelian senjata secara besar-besaran di kalangan sekutu-sekutu AS, yang disertai latihan militer dalam skala rendah," kata dia.
Secara sistematis RRC akan melakukan pelanggaran zona ekonomi eksklusif (ZEE) melalui pembiaran nelayan asal berbagai provinsi di RRC untuk bergerak diam-diam, namun dituntun secara elektronik oleh kapal perang dan kapal riset maritim.
Berlangsungnya keadaan ini, akan mempersulit ASEAN, dan terutama sekali Indonesia, karena akan terus tertundanya pembuatan Code of Conduct (CoC) antara RRC dan ASEAN.
Sementara itu berbekal kepemimpinan ekonomi dan investasi, RRC cenderung terus berusaha memecah belah ASEAN secara ekonomi, politik, dan militer.
"Akumulasi keadaan di atas akan memperburuk ketahanan nasional RI, sehingga mau tidak mau pemerintah RI berkewajiban menjadikan Laut Natuna Utara sebagai wilayah yang harus dipertahankan demi keutuhan NKRI," ujar Teuku Rezasyah.
Teuku Rezasyah mengatakan Pemerintah Indonesia hendaknya secara terus menerus menyatakan kemandirian dirinya yang tidak merupakan bagian dari konflik di Laut China Selatan.
Guna membuktikan ketegasan di atas, sudah pada tempatnyalah jika TNI melakukan latihan gabungan di Laut Natuna Utara dan Pulau Natuna, serta melibatkan otoritas sipil seperti Polri, Pemerintah Provinsi, dan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla).
Pemerintah juga berkewajiban meningkatkan kinerja personil dan alutsista di pangkalan TNI AU dan TNI AL di Pulau Natuna agar semakin terintegrasi dengan seluruh kekuatan tempur TNI diseluruh wilayah nasional.
Juga tidak ada salahnya bagi pemerintah RI menyelenggarakan riset maritim dan latihan SAR dengan negara-negara sahabat yang sudah memiliki perjanjian khusus di bidang pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan dengan RI.
Selain itu, pemerintah berkewajiban untuk terus memonitor status hukum dari Laut Natuna Utara di PBB, serta menyiapkan seluruh sarana dan prasarana agar Laut Natuna Utara menjadi basis baru bagi Geostrategik, Geopolitik, dan Geoekonomi RI.
Sebagai langkah awalnya, lanjut Teuku Rezasyah, diperlukan kampanye global guna menyiapkan pembangunan Geopark di Natuna dan kepulauan di sekitarnya, yang terhubung dengan baik dengan berbagai pelabuhan udara dan pelabuhan laut di ASEAN.
Atas tujuan itu, sudah pada tempatnyalah jika RI mengundang Jepang dan Korea Selatan untuk turut membangun infrastruktur berbasis 5G, dengan RI melonggarkan aturan alih teknologi dan manajemen dari kedua negara tersebut.
Pemerintah RI juga hendaknya mampu bermain aktif dalam berbagai kampanye wisata dan investasi internasional di banyak media cetak dan elektronik sekaligus.
Untuk itu, diperlukan kerjasama dengan industri perfilman dan media massa internasional, guna mendokumentasikan potensi pariwisata dan maritim di Pulau Natuna dan Laut Natuna Utara. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil