jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi Media Luar Griya Indonesia (AMLI) secara tegas mendesak dilakukannya revisi atas Peraturan pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Sikap ini diambil sebagai bentuk tuntutan kepada pemerintah untuk mengakomodir kepentingan industri serta tenaga kerja yang terdampak negatif oleh regulasi baru tersebut.
BACA JUGA: Soal Polemik PP 28/2024, Kemendag dan Kemenperin Seharusnya Dilibatkan
Ketua Umum AMLI Fabianus Bernadi, menolak wacana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur pada RPMK, aturan turunan PP 28/2024.
Padahal, tidak ada mandat untuk ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek pada PP 28/2024. Menurutnya, kemasan rokok tanpa identitas tersebut akan mempermudah masuknya rokok ilegal ke pasar.
BACA JUGA: Dioperasikan di Asia Tenggara, Fasilitas Nathabumi Milik SIG Musnahkan 103 Ton Bahan Perusak Ozon
“Produsen rokok tidak mungkin akan memasang reklame di media luar griya tanpa mencantumkan identitas perusahaan atau merek, yang berdampak negatif pada efektivitas promosi mereka,” ujarnya.
Fabianus menyatakan PP 28/2024 maupun RPMK memiliki potensi besar untuk mempengaruhi keberlangsungan industri media luar griya dan industri kreatif secara umum.
BACA JUGA: Rancangan Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dinilai Rugikan Ekosistem Tembakau Nasional
Terkhusus, pelarangan zonasi iklan dalam PP 28/2024 yang telah menyebabkan penurunan pemasangan reklame hingga 5-10%.
“Aturan ini tidak hanya merugikan industri media luar griya tetapi juga berpotensi menurunkan pendapatan pajak reklame di daerah,” kata Fabianus.
Salah satu kritik utama AMLI terhadap PP 28/2024 adalah pembatasan tayangan iklan produk tembakau melalui videotron.
Fabianus menilai peraturan ini tidak aplikatif, karena iklan di videotron pada jam-jam tertentu di luar kota sudah dimatikan, sehingga aturan ini dianggap tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Pembatasan lain yang dinilai bias adalah larangan iklan dalam radius 500 meter di sekitar pusat pendidikan dan tempat bermain anak. Bagi dia, kebijakan tersebut terlalu kaku dan sulit diterapkan secara praktis.
Pendapatan mereka diperkirakan akan menurun, dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 59%.
Padahal, saat ini Indonesia tengah mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor industri yang diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai lebih dari 70.000 pekerja pada akhir 2024.
Dengan adanya usulan Kemenkes untuk menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek, dampaknya akan semakin besar bagi PHK tenaga kerja lintas sektor.
Oleh karena itu, Fabianus meminta agar PP 28/2024 direvisi dan dibuatkan peraturan baru terkait reklame untuk iklan rokok, dengan fokus pada literasi masyarakat mengenai dampak produk GGS (garam, gula, dan susu) dan tembakau.
Hingga saat in, Fabianus mengakui pihaknya belum memiliki diskusi lanjutan atau undangan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait dampak aturan ini pada industri kreatif, khususnya media luar griya.
Surat yang disampaikan oleh AMLI kepada Presiden terkait sikap mereka juga belum mendapatkan respons. Yang mengecewakan, PP 28/2024 justru diterbitkan tanpa adanya pelibatan stakeholder terdampak.
“Kami menekankan perlunya dialog lebih lanjut untuk menemukan solusi yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak,” bebernya.
Fabianus menegaskan AMLI tetap berkomitmen untuk mendukung perubahan yang konstruktif dan memperjuangkan kepentingan industri serta tenaga kerja yang terdampak akibat dari regulasi ini.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada