Anabel Hernandez, Jurnalis Penerima Golden Pen of Freedom WAN-IFRA

Buku Dirilis, Hidup Jadi Dikelilingi Bodyguard

Rabu, 05 September 2012 – 00:05 WIB
Ariyanti Kurnia, Anabel Hernandez, Leak Kustiy dan Agung Kurniawan di Kiev, Senin (3/9). Foto : Rodrigo Bonilla for Jawa Pos

Jurnalis Meksiko Anabel Hernandez menerima penghargaan Golden Pen of Freedom dari WAN-IFRA Senin (3/9). Dia dipilih atas komitmen dan dedikasinya dalam menginvestigasi serta melaporkan temuan korupsi di level tertinggi pemerintahan Meksiko. Tulisan tersebut membuat nyawanya terancam. Tapi, itu tak mampu memaksa ibu dua anak tersebut untuk berhenti menulis.
 
 ARIYANTI K.R. - KIEV
 
MUNGKIN Hernandez bukan satu-satunya jurnalis yang punya bodyguard di dunia ini. Tapi, dikelilingi pengawal sepanjang hari tentu bukan hal yang biasa bagi para pencari berita. Namun, itulah yang terjadi pada Hernandez. Perempuan yang merahasiakan sejumlah informasi pribadi seperti tanggal lahir, nama orang tua, dan anak demi alasan keamanan diri itu sekarang punya pengawal.
 
Semua dimulai pada Desember 2010. Hernandez yang memulai karir jurnalistik sejak 1993 tersebut merilis buku keempatnya, Los Senores del Narco atau The Drug Lords. Buku hasil investigasi selama lima tahun itu mengungkap kerja sama gelap antara rezim Meksiko Felipe Calderon dan Kartel Sinaloa, salah satu kartel narkoba terbesar di muka bumi.
 
Tidak tanggung-tanggung, Hernandez langsung mengarahkan telunjuknya ke dua mantan presiden Meksiko sekaligus, yakni Vicente Fox Quesada (2000"2006) dan Felipe Calderon (2006"2012). "Hanya sehari setelah buku itu muncul, segala ancaman datang. Polisi ke rumah mengatakan bahwa nyawa saya sedang menjadi target. Mereka siap membunuh saya kapan saja," cerita Hernandez yang ditemui setelah menerima penghargaan.
 
Ancaman itu tak hanya di mulut. Sejumlah tindakan telah dilakukan untuk menghilangkan nyawa Hernandez. "Kecelakaan mobil, pencurian di rumah, menandakan bahwa ancaman itu tidak main-main," ungkap perempuan yang selalu bersemangat dalam bicaranya tersebut.
 
Bukan hanya Hernandez. Keluarga, termasuk dua anaknya, juga sering mendapat teror. Saudara perempuan Hernadez mendapat pelecehan seksual dari tentara pada Januari lalu.
   
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tak tinggal diam. Mereka inilah yang membayar bodyguard untuk melindungi Hernandez. Tapi, hidup dengan penjagaan semacam itu tentu tak menyenangkan meski jadi lebih aman. "Jurnalis yang ke mana-mana dikawal penjaga tentu saja merupakan hinaan bagi sebuah bangsa," paparnya.
   
Hernandez mengaku memang khawatir dengan keselamatan diri dan keluarganya. Tapi, ketakutan itu justru menyadarkan bahwa dia berada di rel yang benar. Maka, ketika Asosiasi Jurnalis Amerika menawarkan suaka untuk tinggal di AS demi keselamatan, perempuan yang ayahnya berprofesi sebagai insinyur mesin itu menolak. "Saya pilih tinggal, karena saya yakin kinilah saatnya orang Meksiko tak lagi jadi pengecut di negerinya sendiri," tegasnya.
    
Tak dimungkiri, perasaan bersalah karena mengantarkan orang-orang tercintanya itu dalam ancaman sering muncul. Saat perasaan itu memuncak dia sering bertanya kepada keluarganya.

Apakah mereka mau dia berhenti? Jawaban yang diterima melegakan Hernandez. Keluarga mendukung penuh langkahnya. "Seratus persen mereka ada di belakang saya. Mereka tak mau saya berhenti," tutur jebolan Valle de Mexico University jurusan komunikasi itu.
   
Dengan keberadaan bodyguard itulah, Hernandez merasa bisa lebih tenang saat meninggalkan keluarga untuk bepergian ke luar negeri seperti saat ini. "Saya tak bisa katakan berapa jumlah bodyguard-nya. Tapi, mereka seperti menjadi bayang-bayang bagi saya, anak, dan saudara saya," tutur perempuan yang dulu bercita-cita menjadi pengacara agar bisa membantu orang-orang yang tertindas kekuasaan itu.
   
Tujuan Hernandez untuk terus menulis ini adalah membuat semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Membuat publik menyadari hal-hal yang memang seharusnya mereka ketahui. Dengan demikian, mereka bisa melakukan gerakan publik untuk menghentikan tindakan kriminal itu.

"Setiap menit saat di Meksiko saya memang merasa terancam. Tapi, apa yang mereka lakukan itu harus dihentikan. Maka, saya harus melaju terus," ujar perempuan yang merilis buku pertama pada 2005 itu.
   
Hernandez kali pertama menjadi jurnalis di harian Reforma. Harian itu meminta para anak muda bergabung menulis berita. Misi untuk menghilangkan kecuekan menulis berita korupsi dan kriminal pemerintah yang dialami para jurnalis mayoritas di Meksiko membuat Hernandez tertarik untuk terlibat di dalamnya.
   
Setelah mulai aktif menulis buku, Hernandez pindah kerja. Sejumlah media top Meksiko pernah disinggahi. Terakhir dia menjadi senior journalist di majalah digital Reporte Indigo. "Tapi, sejak Maret lalu saya berhenti. Sekarang menjadi kontributor di sejumlah koran dan majalah, termasuk Reforma," tuturnya.
   
Hidup dalam ketegangan setiap hari karena nyawa menjadi taruhan membuat Hernandez perlu kegiatan untuk rileks. Berkebun adalah pilihannya. Di waktu senggangnya itu dia menyinggahi perkebunan kecil milik keluarga. Memakai jins longgar dan kaus oblong lalu sepatu boot. Seharian dia bisa ada di sana.

"Melihat sesuatu yang tumbuh adalah kebahagiaan bagi saya," katanya. "Kecuali pertumbuhan anak. Kalau bisa, mereka selamanya jadi anak-anak saja, yang selalu menemani saya. Tidak buru-buru punya kekasih," katanya lalu tertawa. (*/c2/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tewas Ditembak, Bripka Dwi Tinggalkan Firasat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler