jpnn.com - ASAP sudah membuat warga Pekanbaru dan kota-kota lainnya repot luar biasa. Ironisnya, para orang tua tak mampu memberikan yang terbaik buat anaknya, khususnya balita. Maksud hati memberikan lingkungan yang terbaik buat sang buah hati, apa daya asap tak kunjung pergi.
Dilema itu dirasakan Sari, 31. Seperti dilaporkan Riau Pos (Jawa Pos Group), ibu muda yang tinggal di Pekanbaru, Riau, tersebut dengan sangat terpaksa menggendong bayinya yang masih berusia delapan bulan ke luar rumah. Kain panjang bermotif batik diselempangkannya sebagai penyangga sang bayi.
BACA JUGA: Ratusan Titik Api di Sumatera dan Kalimantan Masih Mengancam Warga
Anaknya yang berumur tiga tahun juga tak lepas dari genggamannya. Dengan mengenakan masker, Sari dan buah hatinya berjalan cepat ke kantor kecamatan untuk mengurus keperluan administrasi keluarga.
Sebenarnya, warga Jalan Perdamaian, Kecamatan Lima Puluh, Pekanbaru, tersebut mengaku enggan membawa buah hatinya ke luar rumah. Dia sadar betul, asap tebal yang berseliweran berbahaya bagi kesehatan putra-putrinya. Namun, di sisi lain, sang buah hati juga tak bisa ditinggal di rumah karena tidak ada yang menjaga. Alhasil, dia nekat keluar dengan modal masker sebagai pelindung.
BACA JUGA: Ini Kondisi Rute Penerbangan Pesawat Aviastar yang Hilang Kontak
Sayang, sang bayi yang berada di gendongan enggan menggunakan masker. Sari mencoba membujuk, tapi bayinya menangis. Khawatir, dia terpaksa menutup hidung dan mulut sang bayi dengan sebelah tangannya. Namun, bayinya tetap rewel karena merasa tak nyaman.
Sari mengungkapkan, sejak asap menyelimuti, dirinya dan sang anak merasa terisolasi. Suaminya melarang dia dan keempat anaknya keluar dari rumah. Mereka takut ancaman infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mendera anak-anak mereka yang masih kecil. Namun, pagi itu dia tak punya pilihan lain dan terpaksa membawa buah hatinya ke luar rumah.
BACA JUGA: Pencarian Pesawat Aviastar Dibagi Tiga Titik, Hasilnya...
Kesehatan dan nasib masa depan anak-anak adalah hal yang paling membebani pikiran semua orang tua di daerah bencana asap. Mereka mengkhawatirkan munculnya berbagai penyakit hingga terhentinya proses belajar. "Selain tidak bisa sekolah, anak-anak ketika berada di rumah sudah jenuh hingga tanpa disadari keluar rumah dengan sendirinya," ujar Rahmi, 34, salah seorang ibu rumah tangga yang juga warga Kelurahan Pematang Reba, Kecamatan Rengat Barat, kemarin (2/10).
Dengan jarak pandang hanya puluhan meter dan level polusi udara tergolong berbahaya, membiarkan anak bermain di luar sama saja dengan cari penyakit. "Sehari, dua hari, ketika asap mengepung, mungkin mereka masih patuh kepada orang tuanya agar tidak bermain di luar. Namun mana tahan jika asap tetap mengepung sampai berminggu-minggu," ungkapnya.
Kini kenekatan itu mulai menunjukkan dampaknya. Selama terjadinya kabut asap, dua anaknya, masing-masing berusia 10 dan 5 tahun, pernah mengalami sakit berupa muntah-berak tidak beraturan yang disertai panas tinggi. "Setelah diperiksa ke dokter, muntah dan berak serta panas tinggi itu disebabkan dampak kabut," ucapnya.
Rahma hanya berharap ada keajaiban hingga kabut asap tersebut betul-betul hilang melalui hujan lebat. Sebab, selama ini berbagai upaya yang dilakukan pemerintah sepertinya belum membuahkan hasil. "Saya juga tak tahu apakah pemadaman kebakaran hutan itu dilakukan dengan benar," ujarnya. (JPG/c9/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Irman Gusman: Perjuangan DPD Selaras dengan Ajaran Mahatma Gandhi
Redaktur : Tim Redaksi