'Diving' atau menyelam awalnya adalah sebuah hobi bagi Swietenia Puspa Lestari.
Ia sudah melakukannya lebih dari 10 tahun, tapi seiring waktu ia semakin melihat banyak sampah di dasar lautan, ketimbang ikan-ikan yang berwarna-warni.
BACA JUGA: Indonesia Mendapat Hukuman dari WADA, Menpora Gelar Rapat Bersama KOI dan LADI
"Dari segi jumlah, sampah plastik, kemasan sekali pakai, styrofoam, sedotan paling banyak," ujar Tenia, panggilan akrabnya.
"Tapi secara berat, yang paling banyak adalah sampah tekstil, apalagi material campuran katun dan plastik yang menyerap air."
BACA JUGA: Denmark Open 2021: Cek Daftar Pemain Indonesia dan Total Hadiahnya
Dengan menggabungkan hobi, latar belakang ilmu teknik lingkungan, dan kegelisahannya soal pencemaran di laut, ia membuat Yayasan Penyelam Lestari Indonesia atau 'Divers Clean Action 'sekitar enam tahun lalu.
Kini organisasi tersebut telah memiliki lebih dari 1.000 relawan di seluruh penjuru Indonesia.
BACA JUGA: Jadi Penyumbang Poin di Final Thomas Cup, Fajar/Rian Tak Mau Cuma Jadi Pelapis
Sebelum pandemi, Tenia mengatakan mereka bisa menyelam untuk mengambil sampah dari dasar laut setidaknya sebulan sekali.
Mereka juga membersihkan sampah di pesisir, sambil mengajak warga di pesisir laut untuk tidak membuang sampah ke laut.
Di tengah meningkatnya sampah kemasan plastik akibat 'delivery' dan 'takeaway' saat pandemi COVID-19, Tenia pun membentuk koalisi Pawai Bebas Plastik bersama organisasi pejuang lingkungan lainnya.
"Kita sadar kalau kampanye saja tidak cukup, jadi kita mengajak pelaku e-commerce, datang ke kantornya, membuat webminar dan menawarkan pilihan alternatif kemasan yang sebenarnya bisa lebih murah," ujar perempuan yang pernah masuk daftar Forbes' 30 under 30 Social Entrepreneur tersebut.
Menjadi pejuang lingkungan bersama anak muda lainnya, Tenia mengatakan sering mendapat 'japri' di sosial media soal "eco-anxiety".
"Mereka khawatir apa yang bisa mereka lakukan, atau apa yang dilakukan sudah progesif atau tidak," ujar Tenia, yang juga pernah bertemu Barack Obama, mantan presiden Amerika Serikat.
"Mereka bahkan sempat berpikir harus melanjutkan atau menyerah saja?" 'Eco-anxiety', kecemasan akibat perubahan iklim
Istilah "eco-anxiety" adalah benar-benar terjadi dan semakin banyak dirasakan terutama di kalangan anak muda, menurut Carol Ride, seorang psikologi di Australia yang juga pendiri 'Psychology for a Safe Climate'.
"[Eco-anxiety] adalah sebuah sumber dari stres diakibatkan dari menyaksikan dampak perubahan iklim secara perlahan dan dampaknya tidak bisa dihindari, dengan rasa kekhawatiran soal masa depan untuk diri sendiri, anak-anak dan generasi selanjutnya," ujar Carol.
Menurutnya sangatlah penting untuk menjaga kesehatan mental dengan membicarakan perasaan yang khawatir atau kecemasan yang ada kaitannya dengan perubahan iklim kepada orang lain.
Banyak pula anak-anak Indonesia yang merasa upaya mereka tidaklah akan cukup untuk membuat perubahan dalam jangka panjang.
Menurutnya kebijakan dan aksi nyata dari Pemerintah Indonesia untuk menangani kerusakan lingkungan semakin membaik dibandingkan lima tahun lalu, tapi tetap butuh perhatian lebih.
"Kita butuh solusi yang radikal, kebijakan yang radikal," ujar Tenia. Menciptakan masa depan yang bisa ditinggali
Jagad Marcelleno mengaku jika ia sudah khawatir soal kerusakan lingkungan di ibu kota Jakarta sejak kecil.
"Kalau misalnya aku melihat langit, [saya berkata] 'Aduh, langit warnanya abu-abu, tidak warna biru, berarti polusinya tinggi’," ujarnya.
"Terus aku juga lihat pohon-pohon di jalan, banyak yang ditebang, ada lubang di ozon, dunia akan semakin panas."
Tapi kekhawatirannya soal lingkungan kini ia salurkan dengan mengajak anak-anak muda untuk berbuat sesuatu, baik lewat kampanye atau aksi turun ke jalan.
Semuanya berawal di tahun 2018, setelah ia melihat sebuah video 'London Extinction Rebellion Protest' di YouTube.
Video tersebut membuatnya bergabung bersama 'Extinction Rebellion Indonesia'.
Ia adalah satu dari 10 pertama yang bergabung dengan gerakan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-harinya, Jagad menyelamatkan lingkungan dengan mencoba hidup tanpa sampah.
Ia tidak menggunakan produk plastik sekali pakai dan mendaur ulang sisa makanan, kaca, plastik. Sementara bahan lainnya ia ubah menjadi kompos.
"Saya percaya apa yang asalnya dari tanah harus dikembalikan ke tanah. Kita harus mengubah dari 'mengambil, membuat, memakai, kemudian hilang' menjadi 'mengambil, membuat, memakai, lalu menghidupkannya kembali'," jelasnya.
"Saya hanya ingin menciptakan masa depan yang nyaman ditinggali bagi generasi mendatang. Kita harus mengubah sistem." 'Kita semua hidup di dunia'
Monalisa Sembor adalah aktivis dan pejuang lingkungan yang mengaku terkejut melihat kerusakan lingkungan di Papua, setelah ia kembali ke Wamena dari studinya di Yogyakarta.
"Saya merasakan perubahan yang sangat besar di mana Papua sudah tidak seindah dulu lagi," ujarnya.
"Kota ini [Wamena] sangat indah dulunya dengan banyak pohon, banyak tanaman di pinggiran jalan, saat ini sudah banyak sekali pembangunan di mana-mana."
Ia juga mengaku merasa cemas dan khawatir dengan dampak perubahan iklim secara umum.
Karenanya di tahun 2018, bersama dengan seorang temannya, Monalisa mendirikan Papua Trada Sampah, sebuah organisasi komunitas yang melakukan pembersihan lingkungan.
Anggota dari organisasi ini mengambil sampah plastik, kaca, dan lainnya dari kawasan pariwisata dan jalan raya.
Monalisa juga datang ke sekolah-sekolah di Papua untuk menjelaskan bagaimana memisahkan sampah di rumah.
"Kita memutar video-video pendek yang menunjukkan kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan dampak dari kerusakan yang dibuat manusia," katanya.
"Kemudian kita menjelaskan bahwa kita semua hidup di dunia dan kita harus bertanggung jawab untuk lingkungan kita."
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Baca beritanya dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sertifikat Vaksin COVID Australia Untuk Perjalanan Internasional Tersedia Mulai Minggu Ini