jpnn.com, JAKARTA - SETARA Institute mendesak pemerintah Indonesia segera merancang dan mengambil kebijakan komprehensif yang presisi, sehubungan dengan keberadaan sejumlah anggota dan simpatisan ISIS asal Indonesia yang berada di kamp tahanan di Suriah, di bawah otoritas Kurdi.
Menurut Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, kekhawatiran publik di dalam negeri terkait usulan pemulangan eks ISIS cukup beralasan. Beberapa di antara mereka adalah eks kombatan yang pernah bertempur sebagai tantara ISIS dan secara ideologi berwatak keras.
BACA JUGA: WNI Eks ISIS Bakal Dipidanakan di Indonesia? Ini Kata Kepala BNPT
"Karena itu pemerintah harus segera menyusun rencana kontingensi dan strategi menyeluruh mengenai keberadaan eks-anggota dan simpatan ISIS asal Indonesia," ujar Bonar dalam siaran pers yang diterima, Jumat (7/2).
SETARA Institute juga mengusulkan agar Indonesia memprakarsai dan menggalang kesepakatan internasional tentang nasib eks-anggota, kombatan, dan simpatisan ISIS. Kerja sama internasional dinilai sangat dibutuhkan, karena ISIS dan kekerasan serupa merupakan ancaman global.
BACA JUGA: BNPT : Ada 600 WNI Eks ISIS di Timur Tengah, Mayoritas Anak dan Perempuan
"Pemerintah harus realistis, bahwa pada akhirnya, Indonesia harus mengambil tanggung jawab terhadap orang-orang asal Indonesia yang pernah menjadi anggota dan simpatisan ISIS. Pada saatnya nanti, tidak bisa menolak keberadaan dan kembalinya mereka ke Indonesia," kata Bonar.
Ia menilai, alasan sebagian mereka telah membuang paspor dan menyatakan bukan warga Indonesia serta pernah bertempur menjadi tentara asing, pada saatnya tidak akan relevan. Isu kemanusiaan dan tanpa status kewarganegaraan bakal menjadi konsentrasi utama dunia internasional.
BACA JUGA: Tiongkok: Kami Tidak Puas, Kalian Harus Segera Mengoreksi Kebijakan
"Apalagi ISIS, meski pada masa kejayaannya memiliki struktur dan teritori seperti negara, namun tidak pernah diakui oleh entitas internasional mana pun sebagai negara," katanya.
Menurut Bonar, tindakan cukup mendesak yang perlu diambil adalah pemulangan anak-anak Indonesia, terutama yang berada di bawah usia 9 tahun. Karena, semakin lama tinggal di kamp tahanan, atmosfer yang buruk di kamp akan berdampak pada mereka, baik secara fisik maupun psikis.
"Semakin lama di sana, justru akan semakin terpapar oleh paham ekstrem ISIS dan dampak buruk situasi ekstrem di sana. Apalagi dari sejumlah pemberitaan internasional, para perempuan yang masih keras ideologisnya berusaha mempertahankan pengaruh dan menekan perempuan lain yang berusaha moderat untuk tetap bertahan pada paham keagamaan dan politik ekstremnya," ujar Direktur Riset Setara Institute Halili.
Menurut Halili, dalam hal ini diperlukan identifikasi keluarga besar WNI eks ISIS, serta perancangan peran mereka dan para ahli rehabilitasi medis dan psikologis. Untuk itu, pemerintah perlu segera membentuk tim advance dan mengirim mereka ke Suriah, guna identifikasi orang-orang asal Indonesia yang berada di kamp dan mungkin juga di penjara.
"Tim advance inilah yang perlu dimandatkan tugas mewakili Indonesia dalam hubungan dan kerja sama dengan otoritas Kurdi dan kerja sama intelijen dengan negara lain yang memiliki keterkaitan isu dengan ISIS. Setelah itu, pemerintah harus menggunakan pendekatan hukum yang tepat dan adil," ujarnya.
Halili meyakini pemerintah sudah mengidentifikasi sejauh mana keterlibatan mereka dalam ISIS. Mereka yang terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan ISIS sudah sepatutnya dimintai pertanggungjawaban hukum dan diadili, sedangkan mereka yang sekadar simpatisan perlu mengikuti proses deradikalisasi. (gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang