jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mengingatkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin terkait pertumbuhan ekonomi yang terancam terjun bebas.
Hal ini disampaikan Heri merespons angka pertumbuhan ekonomi (PE) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Pada tahun berjalan, PE sampai sembilan bulan ini mencapai 5,04 persen. Masih jauh dari target 5,3 persen dalam APBN 2019.
BACA JUGA: Heri Gunawan: Pemerintahan Jokowi Memang Rajin Utang
"Pemerintah harus sadar diri, jika tidak ditopang konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi bisa nyungsep," ucap Heri kepada JPNN.com, Minggu (10/11).
Dia menyodorkan data bahwa ekonomi Indonesia triwulan III-2019 di banding triwulan III-2018 (y-o-y) tumbuh sebesar 5,02 persen. Dari sisi lapangan usaha, sektor industri pengolahan masih memberi kontribusi terbesar, sebanyak 0,86 persen.
BACA JUGA: Jokowi-Kiai Maruf dan Daya Saing Indonesia
Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga juga masih yang terbesar, sebanyak 2,69 persen. Namun, sumbangan keduanya dapat merosot pada triwulan-triwulan berikutnya.
Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 (y-o-y) sebesar 5,02 persen dihitung dari kenaikan nilai PDB harga konstannya (Rp 2.818,9 triliun) dibandingkan dengan Triwulan III-2018 (Rp 2.684,2 triliun). Sedangkan pertumbuhan kumulatif (c-to-c), yang merupakan perbandingan nilai kumulatif dari Januari hingga September, tercatat 5,04 persen.
Selama setahun kumulatif nanti diperkirakan hanya tumbuh sebesar 5,0 persen. Itu pun berisiko lebih rendah, hingga di kisaran 4,9 persen. Indikasinya antara lain dari fakta bahwa pertumbuhan III-2019 secara tahunan dan secara kumulatif merupakan yang terendah dalam empat tahun terakhir.
"Tidak perlu lagi bermimpi mencetak pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Waktu tinggal dua bulan lagi. Sulit mengejar," tukas legislator asal Jawa Barat ini.
Ketua DPP Gerindra itu pun menyebut sejumlah indikator; pajak masih tersendat di angka Rp. 1.000 triliun dari target Rp 1.577,56 triliun. Hanya konsumsi rumah tangga saja yang masih menunjukkan geliat. Porsinya dalam total perekonomian mencapai 56,52 persen.
Disusul investasi 32,32 persen, ekspor barang dan jasa sebesar 18,75 persen, impor 18,81 persen, konsumsi pemerintah sebesar 8,36 persen, komponen perubahan inventori sebesar 1,52 persen, dan komponen konsumsi lembaga non-profit rumah tangga 1,25 persen.
"Lihat saja perbandingan konstribusi konsumsi rumah tangga dengan konsumsi pemerintah. Sangat jomplang. 56,52 persen versus 8,36 persen. Di sini menggambarkan, rakyatlah yang menolong pemerintah. Bukan pemerintah yang menolong rakyat," tutur politikus yang beken disapa dengan panggilan Hergun.
Untuk itu, katanya, pemerintah harus sadar diri, jika tidak ditopang konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi bisa terjun bebas. Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah menghentikan kebijakan pengetatan. Rakyat harus diberi banyak ruang agar bisa terus melakukan pembelanjaan.
"Tindakan kongkretnya untuk saat ini, batalkan kenaikan iuran BPJS, cukai dan sejumlah kenaikan lainnya. Karena bila semua dinaikkan maka akan mengakibatkan daya beli rakyat semakin melemah," tegas Hergun.
Dia mengingatkan bahwa saat ini konsumsi rakyatlah yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi. Sementara pemerintah masih dirasakan gagal menggenjot investasi, ekspor, dan belanja pemerintah.
"Soal BPJS sebaiknya pemerintah tidak perlu menaikkan iurannya. Cukup dilakukan perbaikan pengelolaan terutama menyangkut besaran subsidi yang dikucurkan," katanya menyarankan.
Menurut UU SJSN dan UU BPJS, pemerintah hanya diamanatkan memberikan subsidi iuran kepada rakyat miskin yang menurut BPS jumlahnya hanya 25,14 juta orang. Faktanya, pemerintah memberikan subsidi kepada 96 juta orang.
"Jadi karut-marut BPJS penyebabnya adalah pemerintah sendiri yang tidak mentaati amanat undang-undang," tandasnya. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam