Anak Itu Bagaikan Kertas Kosong

Sabtu, 26 Oktober 2013 – 11:02 WIB
A.Kasandra Putranto. Foto: Gir/dok.JPNN

jpnn.com - DUNIA pendidikan tertampar kasus video porno yang diduga diperankan pelajar salah satu SMP di Jakarta, AE dan FP.

Para orang tua, pastinya, juga sedih melihat bocah-bocah ayu itu beradegan panas, di ruang kelas, disaksikan dengan cengengesan oleh kawan-kawannya.

BACA JUGA: Tak Iri Teman Dapat Bonus

Salah siapa? Haruskah mereka diberi hukuman? Berikut wawancara wartawan JPNN, Soetomo Samsu dengan A.Kasandra Putranto, psikolog klinis dan forensik ternama yang rajin mengkampanyekan slogan save the children and family to save the nation, itu, di Jakarta,  Sabtu (26/10).

Apa tanggapan Anda terhadap kasus yang menghebohkan ini?
Ini sebuah bentuk perilaku individu yang masih remaja. Tepatnya, masa awal-awal remaja, karena masih sekitar 12 hingga 15 tahun. Di usia-usia itu hormon lagi naik, berada dalam  peer group (sekumpulan remaja sebaya yang punya hubungan erat dan saling tergantung, red), ditambah asupan dari media yang tidak mendukung perkembangan mental anak, dan resistensi mental yang rendah, tidak mampu menolak ajakan berbuat sesuatu yang tak baik.

BACA JUGA: Unas Bisa Gantikan SNMPTN

Siapa yang harus disalahkan?
Saya sebenarnya juga tak tega menyalahkan orang tua mereka. Orang tua ini kan biasanya cuman bilang "say, say" saja sama anak. Sudah senang melihat anak-anaknya tumbuh sehat secara fisik. Tapi kesehatan mental bagaimana? Kesehatan sosial bagaimana? Sehat itu kan harus sehat fisik mental, dan sosial. Orang tua sudah senang anak bilang "hai mam", lantas berangkat sekolah.

Pengaruh gampangnya mengakses film porno?
Puluhan tahun silam, sekitar 10 tahun lalu, saya bersama Pak Roy Suryo menghadiri sebuah seminar. Saya ingat betul, ada desakan internet harus dibatasi. Pak Roy bilang, media internet tidak bisa dibatasi. Dibendung-bendung pun, tetap saja masih bisa dibuka. Betul itu, menurut saya, yang terpenting harus menyiapkan mental anak dalam menghadapi perubahan-perubahan global.  Siapkan mental anak sejak dini. Jaman berubah. Anak-anak asupan makanannya, seperti ayam broiler, cepat besar, cepat dewasa. Dulu, kelas dua kelas tiga SMP baru menstruasi, sekarang kelas enam SD sudah mens.

BACA JUGA: Tahun Depan Libas Juara Dunia

Perlu gak hukuman agar ada shock therapy bagi anak-anak yang lain?
Yang paling bagus adalah mencegah. Shock therapy? Shock therapy buat siapa? Buat dia (pelaku, red), iya, tapi buat yang lain? Mem-broadcast adegan itu melanggar tiga Undang-undang sekaligus, yakni UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU pornografi, dan UU perlindungan anak. Anak-anak tetap wajib dilindungi. Teori siapa yang bilang bahwa dengan menyebar tayangan itu dan memberikan hukuman bisa membuat dia jera? Yang jera dia, iya. Yang lain tidak.

Ini ada dua sisi perilaku, yakni perilaku anak sebagai korban, dan perilaku masyarakat. Masyarakat harus peduli. Dengan menyebarkan adegan itu, itu berarti tidak melindungi anak. Wajah mereka terpampang di mana-mana. Anak ini dibunuh oleh masyarakat. Tolong, hentikan penyebaran tayangan itu.

Apa yang mesti dilakukan para orang tua?
Kita sebagai orang tuah harus mencegah sejak dini. Coba perhatikan data statistik. berapa jumlah anak yang mati karena tawuran, yang dipenjara karena kasus narkoba, yang terekspos karena kasus seperti ini. Berapa yang hamil di luar nikah, berapa yang menikah dini karena sudah berhubungan duluan. Tolong, media juga jangan asal "hajar blehhhh".

Mari, kalangan orang tua harus membuat gerakan yang lebih terstruktur dan terorganisir. Kita juga harus peduli pada anak, jangan hanya peduli nutrisi untuk perkembangan fisik. tapi juga harus perhatikan jiwa dan mentalnya. Anak-anak harus disiapkan mentalnya untuk menghadapi masa depannya, ada internet, ada narkoba, ada peer pressure.

Anda melihat para orang tua salah mendidik anak-anaknya?
Orang tua seringnya sibuk membawa anak ke dokter, tanya anaknya sehat atau tidak. Begitu dokter jawab sehat, selesai. Makan, badan gendut, tidak cukup. Dibelai-belai, dicium, tapi begitu kena razia ada narkoba di tasnya, baru orang tua shock.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah?
Pemerintah juga harus punya konsep yang jelas. Segera duduk bersama, Kemendikbud, dan yang lain. Saya lihat Ibu Linda (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar, red) sudah setengah mati juga upayanya. Tapi, maaf, media tak peduli juga. Di TV-TV terus menayangkan industri cinta. Anak bicara cinta, habis cinta ngeseks. Dulu saya, 35 tahun silam, kelas 6 SD masih main kelereng. Sekarang, anak kelas 6 SD sudah paki lipstik, pergi ke mall, ketemu pacar.

Peran sekolah?
Sekolah hanya sibuk mengajari membaca, menghitung, psikotes hanya untuk melihat IQ-nya saja. Bagaimana dengan karakter anak? Mental anak? Mestinya sekolah punya catatan, anak ini bagaimana mentalnya, anak itu bagaimana karakternya, bagaimana pergaulan dengan teman-temannya.

Kasihan anak-anak. Norma-norma sudah bergeser. Elit-elit politik hanya sibuk kampanye, sudah punya istri esek-esek dengan perempuan lain. Anak-anak itu bagaikan kertas kosong. Siapa yang menulisi? Ya kita-kita para orang tua.

Bisa diberi contoh bagaimna mendidik anak yang baik agar punya mental sehat?
Kebanyakan orang tua beranggapan, anak yang baik adalah anak yang penurut. Itu salah. Kalau terbiasa nurut di rumah, nanti di luar rumah juga jadi anak penurut. Disuruh buka baju ya..ya..ya. Anak juga harus diajari menolak, berani melawan, berani berdebat. Anak harus diajari, siapa yang berani menyentuh bagian tubuh itu, hajar.

Media juga punya andil?
Sekali lagi, masalah ini tanggung jawab kita semua, orang tua, sekolah, media. Media juga harus punya tanggung jawab. Hanya demi mengejar rating, jam empat hingga jam delapan malam, ya jangan sinetron yang tidak edukatif. Kebanyakan sinetron tentang pacaran, membuat anak-anak malu jika tak punya pacar. Ujung-ujungnya ngeseks.

Di era globalisasi ini, tetap harus ada nilia-nilai tradisional yang harus dipertahankan dan ditanamkan ke anak-anak. Dulu, perempuan-perempaun dipingit. Sekarang, perut dibuka, dada dibuka. Banyak nilai-nilai luhur yang harus tetap dipertahankan. Saya menerapkan kebiasaan sungkem ke orang tua. Jangan jadi orang tua yang cuek, hanya sibuk cari duit, kalau di rumah berantem dengan suami atau istri gara-gara ada WIL atau PIL.

Saya ingatkan lagi, yang penting bagaimana membentuk anak punya resistensi mental, tidak gampang terpengaruh terhadap hal-hal yang jelek. ****

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi Harus Jauhi Suap


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler