jpnn.com, JAKARTA - Data dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan, setiap tahun di Indonesia ada sekitar 2.500 hingga 3.000 kasus pidana dengan korban anak.
Selama ini hukuman yang diterapkan adalah hukuman penjara. Namun setelah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana diteken Joko Widodo Senin (23/10), ganti rugi materil juga bisa dituntut korban.
BACA JUGA: Aturan Baru: Anak Korban Kejahatan Bisa Tuntut Ganti Rugi
”Dengan adanya restitusi, seharusnya angka kejahatan terhadap anak turun,” tutur ketua LPSK Abdul Haris Semendawai.
Haris mengapresiasi langkah pemerintah dalam memerangi kejahatan terhadap anak.
BACA JUGA: Usul Mekanisme Ganti Rugi Korban First Travel Mirip Lapindo
LPSK memang diminta oleh pemerintah untuk mengawal restitusi ini. Menurut Haris ada dua cara yang dilakukan oleh LPSK dalam memfasilitasi restitusi ini.
Cara pertama adalah ketika proses hukum masih berlangsung, maka korban dapat datang ke LPSK untuk meminta pendampingan dalam memperoleh restitusi.
BACA JUGA: Jadi Korban PHP, Puluhan Warga Ngamuk
”Jika proses hukum sudah selesai, maka LPSK bisa mengajukan lagi,” tuturnya.
Cara kedua adalah restitusi bisa diajukan oleh penegak hukum. Nantinya LPSK yang diminta untuk melakukan assessment untuk menghitung kerugian materil yang diderita korban.
Lebih lanjut Haris mengatakan jika asessment perhitungan tidak bisa disamakan satu kasus dengan yang lainnya.
”Misalnya untuk kasus perdagangan manusia, nanti bisa dipertimbangkan soal gaji yang tidak dibayarkan atau hal lain,” tuturnya.
Haris mengatakan, pembayaran restitusi dilakukan oleh pelaku. Jika tidak bisa membayar maka bisa diganti dengan hukuman fisik atau kurungan. ”Besaran ganti rugi yang memutuskan adalah majelis hakim,” ungkap Haris.
Korban yang bisa mengajukan restitusi hanya ada enam jenis. Yakni, korban kejahatan seksual, korban eksploitasi ekonomi dan seksual, anak yang berhadapan dengan hukum, korban pornografi, korban penculikan dan trafficking, serta korban kekerasan fisik dan psikis.
’’Yang mengajukan adalah orang tua atau walinya, atau orang yang diberi kuasa oleh orang tuanya,’’ terang Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Hasan.
Khusus ABH, restitusi diberikan kepada korbannya, bila korbannya juga anak-anak di bawah 18 tahun.
Ada tiga jenis restitusi yang bisa diajukan, masing-masing ganti rugi atas hilangnya kekayaan, ganti rugi penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan penggantian biaya perawatan medis atau psikologis.
Tentu saja, para korban harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk bisa mengajukan restitusi. Pertama, pengajuan harus diajukan tertulis di atas kertas bermeterai.
Dalam permohonan itu, harus termuat identitas korban dan pelaku. Kemudian, memuat pula uraian kejadian pidana dan kerugian yang diderita, juga, besaran atau jumlah restitusi yang diajukan.
Dalam permohonan itu, harus dilampirkan kopi identitas anak yang menjadi korban dan bukti kerugian yang sah, yakni salah satu atau keseluruhan dari tiga jenis kerugian yang bisa direstitusi. Bila korban meninggal dunia, harus ada surat keterangan kematian yang dilampirkan.
Setelah diputus oleh hakim, jaksa yang akan mengeksekusi putusan restitusi tersebut. Selain memberitahu korban, jaksa juga akan memberitahu pelaku bahwa dalam jangka waktu satu bulan dia harus membayar restitusi kepada korban.
Bila dalam waktu satu bulan jaksa tidak bisa mengeksekusi, misalnya karena pelaku tidak mampu membayar, maka Jaksa membuat laporan kepada hakim.
Dari situ, hakim yang akan memutuskan langkah yang akan diambil kepada pelaku. Apakah berbentuk tambahan hukuman, sita aset, atau putusan lainnya.
Sanksi bagi pelaku yang tidak membayar restitusi memang tidak diatur dalam PP, mengingat jenis regulasi PP memang tidak didesain untuk memberikan sanksi.
’’PP ini sebenarnya bagian dari materi RUU yang akan kami ajukan. Nanti sanksi lebih lanjut bisa diatur di Undang-Undang,’’ tuur Hasan.
Secara khusus, pelibatan LPSK bertujuan agar pengajuan restitusi benar-benar wajar. Tidak sampai terlampau tinggi. Apalagi, yang paling sulit adalah menghitung keruian immateriil.
Dalam PP tersebut, tutur Hasan, juga diatur bahwa korban atau keluarganya bisa mengajukan restitusi melalui LPSK, tidak harus melalui penyidik.
Hanya saja, penyidik memang berkewajiban menyampaikan bahwa kejahatan yang dialami korban berpeluang mendapatkan restitusi.
Pengajuan juga tidak harus dilakukan sebelum putusan pengadilan. Setelah pengadilan memutus perkara pidana tersebut, pengajuan tetap bisa dilakukan.
’’Keluarga korban bisa mengajukannya secara perdata,’’ jelasnya. Pengajuan tetap dilakukan melalui LPSK.
Bagaimana bila restitusi itu dijadikan ajang memeras keluarga pelaku, Hasan mengakui ada peluang tersebut. Karena itulah, kerjasama dengan LPSK menjadi penting.
Itu akan menjaga agar nilai restitusi yang diajukan tetap wajar. ’’Tuntutan kan nanti dilihat, apakah korban pantas mendapatkan restitusi sampai bermiliar-miliar,’’ ujar Hasan.
Ke depan, pihaknya segera menyosialisasikan regulasi tersebut kepada penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, dan LPSK.
Tujuan utamanya adalah membantu korban tindak kejahatan, terutama yang berstatus anak-anak, untuk mendapatkan hak-haknya. (lyn/byu)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terkena Proyek Tol, Warga Tangsel Diresahkan Sertifikat Dobel
Redaktur & Reporter : Soetomo