Anak Presiden dan Bayi Kontet

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 20 Februari 2023 – 20:15 WIB
Ilustrasi stunting. Foto: Istimewa for JPNN.com

jpnn.com - Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia mengaku dirinya sebagai manusia unik di Indonesia. 

Beberapa keunikan yang diungkapkan adalah bahwa dia anak Presiden Soekarno, Presiden Pertama dan Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

BACA JUGA: Konon, Megawati akan Buka Pintu bagi Surya Paloh Bahas Isu Kebangsaan, Kalau Soal Anies, No Way!

Megawati juga membanggakan sederet jabatan yang sekarang dia emban, termasuk 30 tahun menjadi ketua partai. 

Belum lagi jabatan sebagai Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila), ketua Dewan Pengarah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), dan, masih ada berderet-deret gelar akademik yang terpasang di belakang dan depan namanya.

BACA JUGA: Turunkan Angka Stunting Hingga 51 Persen, Jateng Jadi Rujukan Nasional

Unik, dari bahasa Inggris unique, artinya tidak ada duanya, alias satu-satunya. Karena cuma satu-satunya dan tidak ada duanya maka manusia unik perlu dilestarikan dan dilindungi dari kepunahan. 

Supaya tidak punah, manusia unik ini harus menurunkan keunikannya kepada anaknya supaya lestari.

BACA JUGA: Kader PDIP Sangat Antusias Menyambut Kedatangan Megawati Soekarnoputri di Surabaya

Klaim manusia unik ini disampaikan oleh Megawati saat menjadi pembicara pada acara kick off penanganan kasus stunting dan kekerasan dalam rumah tangga, Minggu (19/2) yang merupakan kerja bareng BRIN dan BPIP. 

Dalam sambutannya, Mega mengemukakan sejumlah jabatan dan capaian yang membuatnya merasa sebagai manusia unik.

Mungkin, untuk menjustifikasi keunikan itu Mega perlu mendapatkan sertifikat dari MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) sebagai manusia paling unik di Indonesia.

Bukan hanya di Indonesia, tetapi di dunia. Tidak ada manusia yang bisa menjadi ketua umum partai selama 30 tahun seperti Megawati, tidak ada orang yang punya sederet gelar doktor honoris causa sebanyak Mega, tidak ada orang yang punya 2 gelar profesor honoris causa seperti Mega. 

Supaya lebih unik lagi harus ditambahkan bahwa gelar profesor itu didapat tanpa harus lulus kuliah S1. Kurang hebat apa lagi?

Jelas, keunikan Mega tidak hanya berada di level nasional, tetapi sudah level internasional. Karena itu sudah layak mendapatkan sertifikat dari Guiness Book of Records, atau Mega bisa tampil di acara televisi terkenal Ripley’s Believe It Or Not, yang menampilkan manusia-manusia dan kisah-kisah yang unik dan langka.

Bukan sekali ini saja Mega membanggakan capaiannya. Ketika menjadi pembicara tunggal pada peringatan ulang tahun ke-50 PDIP Januari lalu, Mega memberi sambutan panjang dan menceritakan berbagai hal yang berkaitan dengan perjalanan karier politiknya.

Pada kesempatan itu, Mega tidak lupa memuji dirinya sendiri sebagai cantik dan pintar. Karena acara itu hanya acara internal partai maka hadirin bertepuk tangan meriah.

Kali ini, acaranya bukan acara partai. Mega berbicara sebagai ketua Dewan Pengarah BPIP. Awalnya Mega memuji-muji diri sendiri, tetapi kemudian memberi komentar terhadap mak-mak yang disebutnya punya hobi pengajian. 

Mega mengaku terheran-heran mengapa banyak sekali mak-mak yang hobi pengajian. Saking herannya, Mega sampai bertanya sampai kapan mak-mak ini akan mengikuti pengajian.

Rupanya Mega sadar bahwa pernyataannya itu berpotensi menjadi kontroversi. Sebelum melanjutkan kalimatnya, Mega sudah mewanti-wanti dengan meminta maaf berkali-kali. Mega juga mengantisipasi dengan permintaan supaya dirinya tidak di-bully.

Rupanya feeling Mega benar. Begitu pernyataannya itu menyebar di media sosial, reaksi netizen pun riuh rendah. Potongan video berdurasi 40 detik itu viral dan menjadi trending topic di Twitter. Banyak sekali netizen yang mengkritik Mega, tetapi tidak sedikit yang membelanya.

Angka stunting atau bayi kontet akibat kurang gizi di Indonesia masih sangat tinggi di kisaran 21 persen pada 2022.

Itu pun sudah turun dari tahun sebelumnya sebesar 24,4 persen, bahkan beberapa tahun sebelumnya angkanya mencapai 30 persen.

Ini artinya satu di antara 5 bayi di Indonesia menjadi kontet karena kurang gizi. 

Angka bayi kontet di Papua bahkan mencapai 50 persen. Artinya, satu di antara 2 bayi yang lahir akan menjadi kontet.

Wilayah lain hampir menyentuh 40 persen, seperti di NTT pada kisaran 38 persen. NTB, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, juga mencatatkan angka kontet di atas rerata nasional.

Cara berpikir Mega sangat sederhana. Bayi kontet terjadi karena kurang perhatian dari ibunya. Penyebab dari kurang perhatian itu karena ibu-ibu lebih suka menghadiri pengajian ketimbang mengurus bayinya. Kira-kira begitulah logika sederhana Megawati.

Padahal, kalau dilihat dari angka tertinggi rerata nasional bayi kontet ada di Papua dan NTT. Di dua provinsi itu tentu tidak banyak ibu-ibu yang ikut pengajian, karena Islam menjadi agama minoritas.

Cara berpikir seperti ini sangat mungkin terjadi karena logical fallacy atau kesesatan berpikir. Dilihat dari persentase jumlah bayi kontet, terlihat bahwa konsentrasi tertinggi ada di luar Jawa, yakni di provinsi-provinsi yang tingkat kesejahteraan ekonominya rendah. 

Dari dua faktor ordinal ini sebenarnya mudah sekali diambil kesimpulan adanya korelasi positif antara tingkat ekonomi yang rendah dengan kekurangan gizi yang menyebabkan bayi kontet. Tidak perlu menjadi profesor untuk mengambil kesimpulan statistik sederhana seperti itu.

Mengaitkan bayi kontet dengan fenomena maraknya pengajian menimbulkan kecurigaan adanya sikap yang tendensius dari Megawati. 

Ada semacam kecurigaan laten bahwa peningkatan kesadaran beragama di kalangan ibu-ibu menjadi penyebab problem meluasnya bayi kontet dan problem sosial lainnya.

Dengan melihat korelasi positif antara kesejahteraan yang rendah dengan gejala kurang gizi, maka solusinya tidak bisa hanya sekadar menggunakan instrumen sosial. 

Menyelesaikan kasus bayi kontet tidak bisa sekadar melibatkan Kementerian Sosial dan kementerian urusan perempuan. Masalah bayi kontet baru akan teratasi kalau persoalan struktural kesejahteraan rakyat bisa diatasi.

Karena itu, solusi yang diterapkan harus solusi struktural, yaitu memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat, dan membuat pemerataan pendapatan supaya jurang antara kaya dan miskin tidak makin menganga. 

Itulah pentingnya kebijaksanaan ekonomi nasional yang berdasarkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercermin pada Sila Kelima Pancasila. Semestinya alur berpikir PBIP seperti itu, bukan menyalahkan ibu-ibu yang aktif pengajian.

Akan tetapi, Mega sudah telanjur melakukan blunder dan netizen telanjur ramai mem-bully. 

Ini bukan kasus pertama. Waktu ada acara PDIP di Lenteng Agung, Mega juga membuat pernyataan yang dianggap melecehkan penjual bakso. Yang dilakukan oleh PDIP kemudian mengundang tukang bakso ke acara dan Mega pun ikut makan bakso bersama para elite PDIP. 

Kali ini, ibu-ibu anggota pengajian siap-siap menerima pembagian kerudung dan mukena gratis dari PDIP. Lumayan. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler