Analisis Anthony Budiawan Tentang Situasi Ekonomi Termasuk Utang Indonesia Tahun 2021, Sindir Sri Mulyani?

Sabtu, 16 Januari 2021 – 23:42 WIB
Managing Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan. Foto: Tangkapan layar YouTube

jpnn.com, JAKARTA - Managing Director Political Economy & Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan pesimistis kondisi perekonomian nasional bakal membaik di tahun 2021 seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dia justru memprediksikan kondisi ekonomi masih suram. 

"Jadi tanpa ada pengendalian yang baik maka ekonomi akan sulit untuk bangkit. Di sini kelihatan kebijakan pemerintah seolah-olah lebih ke arah herd immunity," katanya dalam Kanal YouTube Bravos Radio Indonesia. 

BACA JUGA: Rizal Ramli Peringatkan Ancaman Krisis Lebih Mengerikan dari 1998 

Salah satu yang tampak nyata adalah dilaksanakannya Pilkada yang mengundang kerumunan. Di sisi lain pemerintah tebang pilih dalam masalah kerumunan lainnya.

"Kita lihat kemarin di Waterboom Cikarang dan sebagainya. Jadi sejak Desember yang dibuka untuk Pilkada dan sebagainya menanjaknya (kasus Covid-19) tajam sekali. Setiap hari hampir ada rekor baru," katanya.

BACA JUGA: Lihat Nih, Ekspresi Mayjen TNI Ignatius Saat Disuntik Vaksin Covid-19

Hal itu tercermin dari rapuhnya ketahanan fiskal dan besarnya defisit anggaran. Indonesia menghadapi fiscal trap yang berbahaya yaitu pendapatan yang turun, sementara beban bunga naik.

"Defisit naik tajam dan akhirnya rasio utang juga meningkat tajam. Di sini kelihatan bahwa fiskal kita tidak bisa membaik lagi. Apakah kita akan terus defisit atau kah terus meningkatkan utang yang akhirnya menuju ke 60 persen (sesuai batas undang-undang)," katanya.

BACA JUGA: Dorong Penerapan PSBB Ketat, Ketua Banggar DPR: Jika Abai, Krisis Kesehatan Makin Membahayakan

Indonesia juga terjebak dalam debt trap yaitu mengenai utang pemerintah dan utang luar negeri. "Ini penting ada pemisahan karena utang pemerintah terkait dengan fiskal. Apakah pemerintah masih mampu membiayai ekonomi, memberikan stimulus dan sebagainya," katanya.

Sementara utang luar negeri terkait erat dengan kurs rupiah. Jika rupiah sampai tergelincir maka akan membawa ekonomi dalam jurang resesi.

Kemudian soal monetary, Indonesia saat ini terjebak dalam suku bunga acuan masih tinggi, suku bunga kredit juga masih tinggi. Sementara likuiditas, Bank Indonesia malah diminta untuk membeli surat utang negara (SUN) di pasar primer. 

"Itu kan istilah awamnya adalah mencetak uang," ucapnya.  

Semuanya ini membuat kondisi ekonomi Indonesia menjadi serius sekali. 

Ditambahkannya, rasio pendapatan negara hanya berkisar pada angka 10,6 persen di tahun 2020. Kemudian rasio penerimaan pajak sebesar 8,3 persen dan rasio beban bunga 2,3 persen.

"Kalau beban bunganya itu sampai 2,3 persen, untuk kepentingan belanja negara itu sangat sedikit," ujarnya.

Dari sisi utang, Anthoni mengkhawatirkan rasio utang pemerintah yang terus membumbung di masa Jokowi. Utang naik dari 24 persen menjadi 39 persen di tahun 2020. Diperkirakan tahun 2022 menjadi sekitar 55 persen bahkan mendekati batas UU di angka 60 persen. 

"Kenaikan juga terjadi pada rasio beban bunga dari 1,2 persen menjadi 2,3 persen di tahun 2020. Dengan pendapatan negara hanya 10,6 persen, sedangkan 2,3 persennya untuk membayar bunga, maka itu sudah tidak sehat lagi," tegasnya.(esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler