Analisis Grafolog soal Tulisan Tangan Terduga Teroris di Katedral Makassar & Mabes Polri

Jumat, 02 April 2021 – 10:08 WIB
Bagian analisis surat wasiat pelaku terorisme yang dilakukan Grafolog Deborah Dewi. Foto: Dok. pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Grafolog Deborah Dewi menganalisis tulisan tangan dalam surat wasiat dua pelaku teror di Gereja Katedral Makassar inisial L, dan Mabes Polri ZA.

Hasilnya, Deborah menyimpulkan, kedua pelaku itu memiliki cemas, tidak mampu, dan kurang percaya diri.

BACA JUGA: Polisi Gerebek Markas Pemuda Pancasila, Braak, Jangan Bergerak

"Keduanya memiliki beberapa indikator yang secara grafis berbeda, tetapi interpretasinya sama. Menariknya, jika semua indikator grafis tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dianalisis secara komperehensif, maka akan terdapat perbedaan signifikan dari segi karakter pelaku maupun pemicu internal yang mendorong bersangkutan rela melakukan aksinya," kata Deborah kepada kepada jpnn.com, Jumat (2/4).

Deborah melanjutkan, analogi sederhananya ialah seperti asimilasi spektrum warna. Dalam warna ungu dan jingga terdapat satu unsur warna yang sama jika diurai, yakni warna merah.

BACA JUGA: Kompol Jupriono Bawa Oleh-oleh untuk Keluarga Penyerang Mabes Polri

Namun, jika uraian tersebut digabung maka akan menghasilkan dua warna yang jauh berbeda, yakni ungu (perpaduan warna merah dan biru) dan jingga (perpaduan warna merah dan kuning).

Deborah lantas melihat sampel tulisan tangan kedua pelaku terorisme berikut beberapa pola indikator grafis yang berbeda, tetapi mengacu pada satu benang merah intepretasi umum. Hal ini menjadi pemicu internal di antara karakter keduanya.

"Ada rasa cemas, tidak mampu, dan kurang percaya diri yang membuat mereka merasa tidak aman atau insecurity. Perasaan tidak aman ini wajar dimiliki oleh semua orang. Namun akan berkembang menjadi perilaku yang tidak wajar, jika kompensasi untuk mendapatkan rasa aman diisi oleh hal-hal yang destruktif, seperti layaknya yang dilakukan oleh para perekrut teroris menjanjikan hal-hal yang konstruktif yang semu," kata dia.

Deborah melanjutkan, hal yang menarik lainnya ialah perbedaan jelas dari keduanya di balik alasan mereka melakukan jihad. Meskipun secara verbal mereka memberikan alasan yang berbau spiritual, tetapi indikator grafis di dalam sampel tulisan tangan keduanya justru tidak menunjukkan dorongan spiritual yang kuat untuk mengeksekusi secara jihad.

"Untuk ZA, dorongan yang utama adalah kemarahan atas status sosial atau nonmaterial yang melekat pada dirinya, sedangan untuk L dorongan yang utama adalah kemarahan dan ketakutan dalam menghadapi masa depan di kehidupannya yang akan sangat berdampak pada sang ibu," kata dia.

Kata Deborah, kelemahan emosional dan intelektual di antara kedua pelaku menjadi celah sehingga berhasil direkrut menjadi eksekutor teroris.

Deborah menjelaskan, semua kelas sosial sebenarnya bisa saja direkrut menjadi pelaku terorisme dengan pendekatan yang berbeda-beda. Sebagai solusi awal pencegahan, katanya, meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri dan orang-orang yang diasihi untuk menghindari paparan radikalisme yang menyesatkan.

"Beberapa indikator grafis yang terdapat pada sampel tulisan tangan eksekutor terorisme bukan tidak mungkin terdapat pada diri kita sendiri atau keluarga kita," jelas dia.

Selain itu, yang terpenting ialah setiap kita pihak menyadari rasa tidak aman, cemas, dan kurang percaya diri, semuanya itu normal serta bisa diatasi dengan intervensi perilaku yang tepat. Salah satu solusinya adalah mengisinya dengan hal-hal yang konstruktif, bukan konstruktif semu seperti menerima janji ke surga dengan cara membunuh diri sendiri dan orang lain.

Deborah juga memberikan tips kepada masyarakat untuk mencegah paparan radikalisme di lingkungan keluarga dan lingkungan. Syaratnya, memiliki kesadaran diri yang baik tentang kondisi mental dan emosional diri sendiri maupun keluarga.

Deborah mengingatkan, kedua pelaku teror L dan ZA didominasi rasa tidak aman sehingga menjadi celah bagi perekrut teroris untuk menawarkan solusi palsu melalui jalur jihad versi mereka.

"Jika kita menyadari kondisi diri sendiri yang sedang diliputi kecemasan, misalnya pergilah mencari solusi yang tepat (yang membangun). Hindari jebakan solusi rasa aman palsu (janji pasti masuk surga), sementara yang menjanjikan sendiri tidak melakukannya," kata Deborah. (tan/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler