jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel tidak sependapat kasus empat orang tewas di Apartemen Teluk Intan, Tower Topas, Jakarta Utara pada Sabtu (9/3) disebut aksi "bunuh diri sekeluarga".
"Saya tidak sepakat dengan sebutan itu," kata Reza dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (11/3).
BACA JUGA: Apa Motif Sekeluarga Bunuh Diri di Apartemen Teluk Intan Jakut? Ini Jawaban Polisi
Reza Indragiri Amriel. Foto/Arsip: Andika Kurniawan/JPNN.com
Menurut Reza, empat orang yang terjun dari atap apartemen itu baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama), hanya jika bisa dipastikan bahwa pada masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensual) untuk melakukan perbuatan sedemikian rupa.
BACA JUGA: Tangan Sekeluarga Terikat Ketika Bunuh Diri di Apartemen Teluk Intan Jakut
"Namun, ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak," ujar penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.
Implikasinya, lanjut Reza, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat, dalam peristiwa semacam ini serta-merta gugur.
BACA JUGA: Innalillahi, Begini Detik-Detik Bentor Berpenumpang 5 Orang Tertimpa Pohon, 1 Tewas
Dalam situasi apa pun, katanya, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri.
Reza berpendapat, analog dengan aktivitas seksual, dari sudut pandang hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.
Siapa pun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak, secara universal selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. Sedang anak-anak secara otomatis berstatus korban.
Kembali ke peristiwa terjun bebas di Jakarta Utara, kata Reza terlepas apakah anak-anak pada peristiwa itu mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, tetap--sekali lagi--mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju," tuturnya.
"Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual," kata sarjana psikologi dari UGM itu.
Menurut Reza, karena aksi itu tidak konsensual, maka anak-anak tersebut harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrem begitu.
Atas dasar itu, ujar Reza, dengan esensi pada keterpaksaan tersebut, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri.
"Karena mereka dipaksa melompat, maka mereka justru korban pembunuhan. Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang--harus diasumsikan--telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa," tuturnya.
Walau kejadian tersebut berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri, melainkan menjadi bunuh diri dan pembunuhan, polisi tidak bisa memprosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas.
"Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati," kata dia.
Namun demikian, Reza menyebut dalam pendataan polisi, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, maka tetap peristiwa memilukan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana.
"Yakni terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi," ujar Reza.(fat/jpnn.com)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 2 Orang Tewas dalam Insiden Kecelakaan Speedboat di OKI
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam