jpnn.com, TAIPEI - Tahun 2021 menandai ketegangan yang semakin meningkat dalam hubungan China dengan Taiwan, pulau yang hanya dipisahkan selat selebar 180 km dengan daratan China.
Dunia khawatir situasi keamanan di Selat Taiwan bakal semakin keruh lalu memantik konflik senjata yang mengundang keterlibatan negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan sekutunya.
BACA JUGA: BRI Bidik Potensi Bisnis Asia Timur lewat Pembukaan Outlet di Taiwan
Sejak awal tahun, pemimpin Taiwan Tsai Ing-wen telah menawarkan diri untuk berdialog dengan China asalkan Beijing bersedia menghindari konfrontasi.
Konfrontasi yang dimaksud Tsai adalah meningkatnya aktivitas militer China, termasuk operasi jet-jet tempur di atas Selat Taiwan dalam beberapa bulan sebelumnya.
BACA JUGA: Amerika Usik Presiden Nikaragua, Taiwan Berduka, China Makin Jemawa
Tawaran dialog Tsai ditolak mentah-mentah oleh China yang menyebutnya sebagai "tipu muslihat". Beijing menilai akar masalahnya bukan pada dialog, tapi keengganan Taiwan untuk mengakui bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari China.
Sejak terpilih pertama kali sebagai pemimpin Taiwan pada 2016, Tsai dipandang oleh Beijing sebagai separatis yang berniat memerdekakan Taiwan dari China.
BACA JUGA: Hari Migran Internasional, 77 PMI di Taiwan dan Korea Meraih Gelar Sarjana
Misi berkali-kali oleh angkatan udara China di Selat Taiwan adalah respons kemarahan Beijing terhadap hubungan Washington dengan Taipei yang kian mesra.
China menganggap dukungan Amerika Serikat, termasuk penjualan senjata ke Taiwan sejak era Presiden Donald Trump, sebagai modal awal bagi Taipei untuk memperjuangkan kemerdekaannya.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa AS memainkan "peran ganda" dalam konflik China-Taiwan. Meski tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taipei dan mengakui Prinsip Satu China, Washington kerap mengambil langkah yang membuat Beijing berang.
Ketika Trump berencana mengutus duta besar AS untuk PBB untuk mengunjungi Taiwan pada pertengahan Januari, China mengatakan bahwa AS "sedang bermain dengan api".
"...siapa pun yang bermain dengan api akan terbakar. Amerika Serikat akan membayar mahal untuk tindakan yang salah ini," kata misi China di PBB seperti dikutip Reuters.
Washington akhirnya membatalkan rencana kunjungan itu dengan dalih mempersiapkan transisi pemerintahan ke Joe Biden yang memenangi pemilihan presiden AS pada November 2020.
Hubungan AS dan China –dua ekonomi terbesar di dunia– telah jatuh ke titik terendah dalam beberapa dekade.
Tak cuma soal Taiwan, mereka juga saling berhadapan dalam isu-isu lain seperti Hong Kong, hak asasi manusia, pandemi COVID-19, Laut China Selatan, perdagangan dan spionase.
Banyak pengamat menilai Biden akan mengambil langkah yang berbeda dari pendahulunya dalam urusan Taiwan demi memperbaiki hubungan yang renggang dengan China.
Faktanya, pemerintahan AS yang baru terus melanjutkan kebijakan di era Trump. Dukungan itu diawali dengan kehadiran utusan Taiwan dalam acara pelantikan Biden.
Di lain pihak, Beijing terus memberi tekanan pada Taipei dengan meningkatkan intensitas kegiatan militer di Selat Taiwan.
Pada akhir Januari, delapan pesawat pengebom dan empat jet tempur China dilaporkan memasuki zona pertahanan udara Taiwan. Kemunculan armada sebanyak itu dinilai tak biasa, karena sebelumnya hanya 1-2 pesawat pengintai saja yang terlihat.
Pada hari yang sama dengan insiden itu, armada kapal induk AS memasuki Laut China Selatan. Sebagian besar wilayah di kawasan itu diklaim oleh China dan telah menjadi objek sengketa dengan sejumlah negara.
Insiden kemunculan armada udara China itu mendapat reaksi keras dari AS. Washington mendesak China untuk menghentikan tekanannya pada Taiwan.
"Kami akan terus membantu Taiwan untuk mempertahankan kemampuan pertahanan diri yang memadai," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price seperti dikutip oleh Reuters.
Pernyataan Price adalah sinyal bahwa AS akan terus membantu memperkuat persenjataan Taiwan agar dapat membela diri jika diserang oleh China.
Biden, yang menyebut China sebagai "pesaing AS yang paling serius", melakukan pembicaraan telepon pertamanya sebagai presiden dengan Presiden China Xi Jinping pada Februari.
Biden menegaskan pada Xi bahwa prioritas AS adalah menjaga kebebasan dan keterbukaan Indo-Pasifik, di mana AS dan China saling berebut pengaruh di kawasan itu. Dia juga menyinggung isu-isu lain, termasuk Hong Kong, Xinjiang, dan Taiwan.
Xi tidak bergeming. Kepada Biden dia mengatakan isu-isu tersebut adalah urusan "kedaulatan dan integritas teritorial" China. Xi berharap Washington dapat bersikap hati-hati.
Namun, pemerintah AS tak sedikit pun mengendurkan komitmennya yang "sekeras batu" pada Taipei.
Pada Maret, Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng menyampaikan di depan parlemen bahwa Washington menyetujui ekspor teknologi sensitif kepada Taipei untuk digunakan oleh armada kapal selam Taiwan yang baru.
Dia menambahkan bahwa transisi pemerintahan di AS tidak mempengaruhi penjualan persenjataan AS kepada Taiwan.
Khawatir dengan serangan militer China, Taiwan mulai meningkatkan kemampuan persenjataannya.
Setelah membeli versi baru rudal Patriot dari perusahaan AS Lockheed Martin, Taiwan pada Agustus mendapat izin dari AS untuk membeli sistem artileri Howitzer senilai 750 juta dolar AS (sekitar Rp 10,7 triliun).
Pada September, pemerintah Taiwan mengusulkan kepada parlemen dana tambahan untuk pertahanan lima tahun ke depan senilai 8,7 miliar dolar AS (sekitar Rp 123,8 triliun).
Taiwan sepertinya ingin menunjukkan bahwa mereka sanggup membela diri sendiri, terutama setelah muncul keraguan apakah AS akan membantu mereka jika diserang oleh China.
Seorang panglima AS di Indo-Pasifik mengatakan China akan berusaha menginvasi Taiwan dalam satu dekade mendatang, sementara pengamat lain mengatakan lebih lama lagi.
Xi telah menekankan bahwa penyatuan Taiwan adalah sesuatu yang penting untuk mencapai apa yang dia sebut sebagai "Impian China" pada 2049.
Jika China menggunakan kekuatan militer untuk mengubah status quo atas Taiwan, AS dan sekutunya akan mengambil "tindakan", kata Menlu AS Antony Blinken pada November, tanpa menyebutkan detail tindakan itu.
Apa yang dinyatakan oleh Blinken masih belum menjelaskan posisi AS jika China benar-benar menginvasi Taiwan, berbeda dengan apa yang pernah disampaikan oleh atasannya.
Sebelumnya pada Oktober, Presiden Biden memicu kegemparan saat ditanya oleh wartawan apakah AS akan datang membela jika Taiwan diserang oleh China.
"Ya, kami punya komitmen untuk melakukan hal itu," jawab Biden seperti dikutip oleh Reuters.
Sikap mendua dan ketidakjelasan AS dalam mengambil posisi dalam konflik China-Taiwan memicu kekhawatiran.
Jika Beijing "salah membaca" niat Washington, konflik bersenjata di Selat Taiwan dapat meletup sewaktu-waktu. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil