Para pakar masalah kelautan dan perikanan di Indonesia mengatakan hilangnya para nelayan asal Indonesia di perairan Australia pekan lalu diharapkan menjadi pengingat kepada yang lain.

Penyelamatan dramatis terhadap 11 nelayan Indonesia yang sebelumnya terdampar di Bedwell Island selama enam hari tanpa makanan dan air sebelum berhasil diselamatkan awal pekan ini sudah menjadi pemberitaan nasional.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Beberapa Negara Sudah Merayakan Hari Raya Idulfitri

Namun, jumlah korban karena Badai Topan Ilsa yang sedang melintasi Lautan Hindia tersebut diperkirakan meningkat karena dua kapal nelayan beserta awak di dalamnya masih hilang.

Salah seorang nelayan yang selamat harus berenang selama 30 jam, dengan mengikatkan diri pada drum air, sebelum akhirnya terdampar di Bedwell Island, sekitar 300 km arah barat Broome.

BACA JUGA: Campur Tangan Menteri Imigrasi Akhiri Penantian Keluarga Ini Peroleh Status Tinggal Permanen

Sementara delapan orang awak kapal lainna belum diketahui nasibnya.

Para nelayan yang berhasil diselamatkan dipindahkan dari Broome ke Darwin hari Rabu (19/04) lalu.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Sedikitnya 85 Orang Tewas Terinjak-injak di Yaman Saat Pembagian Dana Amal

Risiko nyawa tidak membuat jera

Paul King dari Griffith University sudah mengunjungi Indonesia secara teratur selama 30 tahun terakhir dan selama 12 tahun terakhir melakukan penelitian mengenai industri perikanan Indonesia di berbagai kampung nelayan di Pulau Rote.

Dr King menggambarkan tenggelamnya beberapa kapal ini merupakan tragedi, apalagi terjadi di bulan Ramadan.

"Keluarga pasti kehilangan besar karena ayah atau anak-anak mereka tidak kembali lagi," katanya.

Namun Dr King mengatakan tidak ada hal yang bisa membuat jera para nelayan ini untuk melakukan perjalanan sampai 800 km dari tempat tinggal mereka karena mereka harus mencari nafkah bagi keluarga.

"Perikanan menjadi sumber pendapatan keluarga, bermanfaat bagi pendidikan anak-anak, untuk makanan, dan bisa menjadi penghasilan memadai bagi keluarga mereka," katanya.

Pada 2018, ada 210 nelayan Indonesia yang menjalani tahanan di Australia, kebanyakan berasal dari Papela, desa yang sama dengan mereka yang diselamatkan pekan ini.Utang menjerat keluarga nelayan

Dr King mengatakan harga tinggi untuk produk makanan laut seperti teripang, sirip hiu, dan ikan karang di pasar Asia membuat para nelayan ini terus berusaha mengarungi laut menemukannya.

"Masalah lain adalah kadang mereka memiliki utang kepada pemilik kapal," katanya.

"Beberapa pemilik kapal ini sebenarnya memberi bantuan kepada keluarga di saat para nelayan melaut dan utang tersebut harus dibayar ketika mereka kembali.

"Bila perjalanan mereka menghasilkan banyak ikan, mereka bisa membayar utang-utangnya. Bila ikan yang didapat tidak banyak, mereka malah semakin terjerumus ke dalam utang yang lebih banyak lagi.

"Jadi mereka terperangkap dalam putaran utang. Mereka harus pergi melaut lagi."

Dr King melihat bahwa pendidikan bagi generasi muda adalah kunci untuk memutus lingkaran ini karena mereka nantinya bisa menjadi guru, pegawai negeri, atau bekerja di bidang industri teknologi tinggi.

"Jadi daripada melakukan pemantauan dan penyelamatan seperti yang terjadi saat ini, lebih baik dana yang ada dari pemerintah Australia digunakan untuk pengembangan proyek seperti ini dan mendukung generasi muda secara khusus," katanya.Sejarah dan budaya juga berpengaruh

Professor Fred Benu dosen di Universitas Nusa Cendana di Kupang  mengatakan faktor budaya dan sosial juga berpengaruh.

"Bukti sejarah menunjukkan Karang Ashmore sudah didatangi secara teratur oleh nelayan Indonesia sejak antara tahun 1725 sampai 1730," katanya.

"Bagi para nelayan tradisional dari Pulau Rote, mencari ikan di perairan Australia sudah menjadi bagian dari keadaan sosial ekonomi mereka."

Professor Benu mengatakan perubahan iklim dan semakin berkurangnya ikan di laut membuat nelayan semakin jauh melakukan perjalanan.

"Untuk mengatasi hal ini, kita harus memberikan alternatif mata pencarian bagi warga lokal," katanya.

"Terlalu sering kita  melihat tragedi yang sama."

Professor Benu menginginkan baik pemerintah Australia dan Indonesia bekerja sama dengan LSM mencoba menemukan solusi.

"Sudah ada persetujuan antara Indonesia dan Australia, namun kita tidak bisa membawa persetujuan ini ke atas meja dan memberitahu warga lokal bahwa inilah perjanjiannya," katanya.

"Yang paling penting adalah nelayan lokal harus dilibatkan jadi mereka bisa menjelaskan perspektif mereka dan kita mendengarkannya."Peringatan bagi nelayan lain

John Coyne adalah kepala program penegakan hukum dan kebijakan strategis di Australian Strategic Policy Institute.

Dia mengatakan korban jiwa di kalangan nelayan ini harus digunakan pemerintah Indonesia untuk membuat nelayan lainnya takut untuk berlayar sampai ke perairan Australia.

"Ini harus digunakan untuk mengirim pesan yang jelas bahwa semua ini disebabkan karena adanya berbagai keputusan buruk." kata Dr Coyne.

"Apakah ini kegagalan oleh pemerintah Indonesia dalam mengatur standar keselamatan di laut dan kemudian penerapannya? Tentu saja.

"Di satu sisi ada tanggung jawab perorangan, namun di sini lain ada tanggung jawab pemerintah untuk mengatur berbagai masalah ini lewat aturan."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar Menilai Ada Perhitungan Tidak Cermat dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Berita Terkait