Ancaman Terorisme Begitu Nyata, Perpres RAN PE Harus Diterapkan Secepatnya

Minggu, 11 April 2021 – 21:00 WIB
Densus 88 Mabes Polri membawa terduga teroris yang ditangkap di Makassar dan Gorontalo, tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, Kamis (4/1). Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Aksi teror yang kembali terjadi menunjukkan bahwa penanganan aksi teror harus berbarengan dengan penanganan ekstremisme.

Untuk itu, Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) yang diundangkam 7 Januari 2021 lalu harus segera dijalankan.

BACA JUGA: Perpres RAN PE Dinilai Komprehensif dan Menjanjikan

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, kelemahan banyak regulasi selama ini adalah di tingkat pelaksanaan.

Perpres RAN PE secara konseptual sudah bagus, tapi pelaksanaannya juga harus bagus.

BACA JUGA: Pak Sukamta Mempertanyakan Motif Jokowi Meneken Perpres RAN PE

"Perpres ini memungkinkan melibatkan banyak kalangan. Kalangan kampus, akademisi kebagian banyak di situ," kata Isnur dalam Seminar Publik Institut Demokrasi Republikan (ID Republikan) dengan tema, Menguatnya Ekstremisme dan Tantangan Penanganan Terorisme di Indonesia, di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Sabtu (10/4).

Isnur mengatakan, RAN PE bagus karena ia partisipatif dan melibatkan seluruh kementerian dan lembaga yang selama ini dianggap tidak koordinatif.

BACA JUGA: DPR: Implementasi Perpres RAN PE Kunci Meredam Aksi Terorisme

Padahal, untuk mengatasi terorisme, dibutuhkan kerjasama semua pihak.

"RAN PE relatif panjang dan relatif partisipatif dan benar Perpres tersebut adalah soft approach, pendekatan lunak dan melibatkan hampir seluruh kementerian dan kelembagaan yang selama ini kita anggap tidak koordinatif. Itu bagus," paparnya.

Bahkan, lanjutnya, pemerintah dalam penyusunan RAN-PE ini melibatkan Komnas Perempuan. Sebab, dalam perpres tersebut ada pembahasan isu gender dalam penanggulangan terorisme.

"Jadi secara isi, Perpres ini bagus karena melibatkan hampir semua institusi," tegasnya.

Sementara itu, Eks Narapidana Terorisme Sofyan Tsauri mengingatkan agar umat Islam tidak salah pilih guru agama agar tidak terjerumus pada perilaku intoleran.

"Anda harus punya guru yang baik, punya guru yang mencintai bangsa dan negara ini. Jangan asal guru, asal ulama sehingga kalian intoleran," jelasnya.

Selain itu, penting juga untuk mengembangkan minat baca terhadap kitab-kitab keagamaan. Radikalisme berkembang, kata dia, akibat minimnya minat baca serta gampang kagum terhadap tokoh tertentu yang memiliki pemahaman keagamaan radikal.

"Kurangnya baca dan berpaku pada satu dalil sehingga kita ini sering terkagum-kagum dengan tokoh yang di luar sana sehingga kita terlibat dalam kelompok mereka. Maka dengan muda kita akan terpapar dan ikuti paham mereka," paparnya.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sukron Kamil membenarkan pernyataan Sofyan. Menurutnya, kelompok ekstremis selalu tidak tuntas dalam memahami sebuah dalil ayat-ayat suci.

"Bacanya sekedar satu ayat dan mengambil kesimpulan, contohnya menggap bank haram, riba, dan tak berkah, menganggap pemerintah sebagai pemerintah thaugut karena tak melaksanakan hukum Islam," ujarnya.

Sebab itu, lanjutnya, pemberantasan terorisme memerlukan kerja kolektif antar elemen masyarakat agar penanganannya bisa efektif.

"Hemat saya, pemerintah (dalam pemberantasan terorisme) tidak bisa hanya melalui BNPT, tapi harus civil society yang perlu lebih banyak dilibatakan," pungkasnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler