Andai Penyelidikan Kasus Munir Transparan

Jumat, 28 September 2012 – 11:07 WIB
SURABAYA - Delapan tahun berlalu, kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir masih menjadi tanda tanya besar. Peristiwa tersebut bahkan terus menjadi topik hangat di kalangan praktisi hukum Belanda. Setidaknya masih menjadi kasus menarik untuk kajian.

"Seharusnya ada penyelidikan yang transparan terkait masalah tersebut sehingga semua orang tahu dan mengerti bagaimana prosesnya," kata pakar hukum Belanda Gerard Mols, 61, saat berkunjung ke redaksi Jawa Pos Surabaya kemarin.

Gerard menyatakan, tidak mudah menangani kasus kriminal dengan kepentingan politik yang tinggi. "Tak pernah ada panduan untuk itu. Semuanya bergantung pada kasus per kasus. Seberapa besar derajat kepentingannya dan seberapa besar bobot kasusnya," papar mantan rektor Maastricht University tersebut.

Menurut profesor hukum yang menjadi dosen tamu di UI dan UGM tersebut, pada dasarnya keterlibatan politik dalam proses peradilan akan membuat ketidakadilan. Sebab, proses tersebut akan mementahkan persamaan di depan hukum. "Karena politik, derajat kesalahan yang sama bisa menimbulkan hukuman yang berbeda. Ada yang dihukum, ada yang tidak, ada yang dihukum berat, dan ada yang dihukum ringan," tuturnya.

Dikatakan Gerard, semua hukum internasional pada prinsipnya harus menganut dua hal. Yang pertama adalah penyelidikan dan penyidikan yang benar. "Ini luas artinya. Mulai dari hal yang paling sederhana, seperti ketersediaan pengacara bagi tersangka sejak awal, hingga ke proses selanjutnya," terang dia.

Kedua, independensi sistem peradilan kriminal. "Apakah para hakimnya tak bias dan bisa benar-benar menerapkan hukum secara objektif ataukah masih ada intervensi dalam proses peradilan yang ada," tegas dia.

Ketidakmampuan menerapkan dua hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. "Bahkan, AS, yang katanya paling demokratis pun, menghadapi masalah yang sama. Misalnya, penjara-penjara luar negeri atau para tersangka di Gitmo (Guantanamo, Red)," terangnya.

Untuk Indonesia, Gerard tidak bisa memprediksi kapan akan mengalami sebuah sistem peradilan kriminal yang ideal. "Tapi, saya cukup optimistis dengan perkembangan yang ada. Melihat perkembangan demokratisasi yang ada dan masyarakat yang mulai berani menyuarakan pendapat," ujar pria yang juga deputi hakim di PN Maastricht tersebut.

Nah, untuk melakukan percepatan, yang terpenting adalah mendidik para generasi muda di bidang hukum yang mempunyai ideologi hukum ideal. (ano/c11/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hanya 4 Dari 89, Yang Layak Jadi Calon Hakim Ad Hoc

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler