LHOKSEUMAWE - Terkait polemik bendera dan lambang Aceh dengan Jakarta, seharusnya Pemerintah Aceh bersama DPRA tidak perlu minta izin ke Pusat. Sesuai dengan MoU Helsinki RI-GAM pada 15 Agustus 2005 silam, Aceh miliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.
Hal itu ditegaskan Mantan Anggota Perunding GAM, M.Nur Djuli, saat dikonfirmasi Rakyat Aceh (Grup JPNN), kemarin, di Lhokseumawe.
Kata Nur Djuli, dalam MoU Helsinki jelas disebutkan, Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan.
“Kalau masalah bendera Aceh jadi polimik saat ini, bagi saya itu harus kembali kepada MoU Helsinki. Saya tidak bisa ambil undang-undang lainnya jika kalau undang-undang itu bertentangan dengan MoU,”ucap M. Nur Djuli, usai mengikuti kegiatan Internasional Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) digelar Unimal sejak Minggu-Senin kemarin, di Gor ACC Unimal Lhokseumawe.
Menurutnya, Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006 yang dibuat itu untuk menterjemahkan MoU Helsinki. “Kalau misalnya penterjemah salah menterjemah MoU itu dalam UUPA berarti bukan salah MoU, tapi salah penterjemah,” cetusnya.
Dikatakan, DPRA bersama Kepala Pemerintahan Aceh sudah membuat qanun tentang lambang dan bendera Aceh dan itu sesuai dengan MoU Helsinki. Jadi, Pemerintah Aceh bersama DPRA tidak perlu meminta izin lagi ke Jakarta.
Yang menjadi kewenangan Jakarta adalah dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hak ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
“Jadi di luar kewenangan itu menjadi hak penuh bagi Aceh asal tidak bertentangan dengan MoU Helsinki,” ungkapnya. (arm)
Hal itu ditegaskan Mantan Anggota Perunding GAM, M.Nur Djuli, saat dikonfirmasi Rakyat Aceh (Grup JPNN), kemarin, di Lhokseumawe.
Kata Nur Djuli, dalam MoU Helsinki jelas disebutkan, Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan.
“Kalau masalah bendera Aceh jadi polimik saat ini, bagi saya itu harus kembali kepada MoU Helsinki. Saya tidak bisa ambil undang-undang lainnya jika kalau undang-undang itu bertentangan dengan MoU,”ucap M. Nur Djuli, usai mengikuti kegiatan Internasional Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) digelar Unimal sejak Minggu-Senin kemarin, di Gor ACC Unimal Lhokseumawe.
Menurutnya, Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006 yang dibuat itu untuk menterjemahkan MoU Helsinki. “Kalau misalnya penterjemah salah menterjemah MoU itu dalam UUPA berarti bukan salah MoU, tapi salah penterjemah,” cetusnya.
Dikatakan, DPRA bersama Kepala Pemerintahan Aceh sudah membuat qanun tentang lambang dan bendera Aceh dan itu sesuai dengan MoU Helsinki. Jadi, Pemerintah Aceh bersama DPRA tidak perlu meminta izin lagi ke Jakarta.
Yang menjadi kewenangan Jakarta adalah dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hak ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
“Jadi di luar kewenangan itu menjadi hak penuh bagi Aceh asal tidak bertentangan dengan MoU Helsinki,” ungkapnya. (arm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendadak, Saudi Pangkas Kuota Haji
Redaktur : Tim Redaksi