jpnn.com - JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akan kembali menggelar sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilihan presiden 2014, di Jakarta, Senin (18/8), Pukul 10.00 WIB.
Sidang beragendakan pengesahan bukti tertulis dari pihak pemohon pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU).
BACA JUGA: Sebelum ke MK, Yusril Ditelepon Jokowi
Sidang digelar sebagai lanjutan dari sidang sebelumnya, Jumat (15/8) kemarin, yang mendengarkan keterangan para saksi ahli. Di mana saksi ahil dari pihak pemohon menilai langkah KPU menerapkan kebijakan daftar pemilih khusus tambahan (DPKtb) tidak sah dan bertentangan dengan hukum.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai fokus pemohon berubah ke persoalan DPKtb, setelah menilai persoalan selisih suara tidak dapat menjadi andalan. Karenanya langkah KPU yang memasukan DKPTb, dituding dalang kerusakan sistem pemilu dan munculnya pemilih oplosan.
BACA JUGA: Prabowo tak Akan Menyerah
Sayangnya menurut Ray, pemohon sepertinya melupakan tiga hal dalam penyampaian argumentasi terkait persoalan DPKtb tersebut.
"Yaitu, bahwa DPKTb telah diperkenalkan sejak pemilihan legislatif 2014 lalu. Dan tak ada satupun parpol yang melakukan protes adanya sistem DKPTb," katanya dalam pesan elektronik yang diterima Senin (18/8).
BACA JUGA: Kasus Akil Bisa Munculkan Tersangka Baru
Hal ini terlihat dari sekitar 700 sengketa pileg yang diajukan ke MK, hampir tak ditemukan pokok soal sengketa terkait DKPTb. Artinya parpol-parpol setuju dengan DKPTb sebagai solusi menyelamatkan hak politik pemilih. "Jadi kalau DKPTb di pilpres dianggap tidak sah, maka pileg juga tidak sah," katanya.
Ray melihat, menggugat sistem DKPTb di pileg jauh lebih afdol. Karena basis suara pileg adalah daerah pemilihan. Sehingga ada kesulitan teknis dan politis untuk memindahkan suara pemilih dari tempat pemungutan suara yang berbeda dengan KTP.
Ia mencontohkan, misalnya menghitung suara pemilih yang ber KTP Sumatera Utara, tapi mencoblos di DKI Jakarta. Kesulitan tersebut tak ditemukan di pilpres. Sebab dapil pilpres adalah nasional. Di manapun seseorang memilih, selagi terbukti sebagai WNI yang memenuhi hak, maka dapat memergunakan hak pilihnya tanpa ada kesulitan untuk menetapkan suaranya.
"Jadi kenapa di pileg boleh tapi di pilpres tidak boleh," katanya.
Hal lain yang lupa dikemukakan pemohon, kata Ray, DKPTb merupakan terbosan atas kelemahan penetapan daftar pemilih tetap (DPT). Padahal DPT baik atau buruk sangat tergantung pada input data yang masuk ke KPU. Dan satu-satunya input data penduduk dan pemilih hanyalah dari kementerian dalam negeri.
"Sehebat apapun menyusun DPT kalau input datanya tak beres, niscaya DPT juga tak akan beres. Peran Kemendagri juga harus dilihat sebagai faktor penyusunan DPT," katanya.
Artinya jika runtutan yang ada dilihat secara utuh, maka bisa jadi yang digugat pemohon, kata Ray, semestinya bukan KPU , tapi Kemendagri.
"Pemohon menurut saya sepertinya juga lupa menyebut apa cara menyelamatkan warga yang karena kelalaian adminstrasi negara terabaikan hak politiknya," ujarnya. "Nah DKPTb merupakan salah satu jawaban pemenuhan untuk itu," imbuh Ray. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Baru Tidak Bisa Ganti Kebijakan
Redaktur : Tim Redaksi