jpnn.com, JAKARTA - Anggaran pelaksanaan Pemilu 2019 sebesar Rp 27,67 triliun. Lebih tinggi daripada dana Pemilu 2014 yang mencapai Rp 24,1 triliun. Meski demikian, KPU meyakinkan realisasi penggunaan anggaran tidak akan menghabiskan angka tersebut.
Sebab, terdapat sejumlah kondisi yang membuat pos anggaran tidak perlu digunakan secara maksimal. Serapan anggaran terbesar ada pada honor petugas ad hoc pemilu.
BACA JUGA: Anak Buah SBY: Lihat, Apakah TNI - Polri, ASN, BIN Netral?
’’Anggarannya lebih dari 60 persen. Kemungkinan sekitar 64 persen dari total anggaran,’’ terang Ketua KPU Arief Budiman saat paparan akhir tahun di ruang rapat pleno utama KPU, Selasa (18/12). Bila dirupiahkan, nilainya sekitar Rp 17,7 triliun.
Petugas ad hoc itu terdiri atas 36.005 PPK, 250.125 PPS, 5.666.500 KPPS, 1.619.000 linmas, dan ratusan ribu petugas pendaftaran pemilih. Masa tugas PPS dan PPK secara keseluruhan adalah 15 bulan, setelah KPU menerbitkan surat yang memperpanjang masa kerja para petugas tersebut selama tiga bulan.
BACA JUGA: Ketua DPR Yakin Negara Stabil di Tahun Politik & Pemilu 2019
Pemilu 2019, lanjut Arief, melibatkan stakeholder non pemilih dalam jumlah besar. ”(Diperkirakan) ada 17 juta orang yang terlibat saat pemungutan suara di TPS,” kata mantan komisioner KPU Jatim itu. Selain penyelenggara, ada pengawas TPS, pengamanan dari TNI-Polri, dan saksi peserta pemilu.
Bahkan, jumlah saksi diprediksi lebih banyak daripada jumlah petugas TPS. ’’Jumlah partainya saja 16. Belum saksi paslon, juga saksi anggota DPD,’’ lanjut Arief. Prediksi awal KPU, stakeholder yang terlibat di setiap TPS bisa 25 orang, bahkan lebih bila formasi saksi peserta pemilu lengkap.
BACA JUGA: KPU Bantah Gunakan Kardus, tapi Pakai Karton, Ini lo Bedanya
Menurut Arief, dari keseluruhan anggaran, hanya anggaran honor yang tidak bisa dihemat. Sebab, nominal honor per petugas di setiap tingkatan sudah ditentukan. Masih ada sejumlah komponen yang bisa dihemat. Yang utama tentu saja logistik.
Dari kotak dan bilik suara saja, penghematannya mencapai 70 persen. Belum termasuk anggaran untuk logistik lain yang juga bisa dihemat setelah KPU memakai sistem lelang elektronik.
Beberapa hal lain juga bisa dihemat. ’’Misalnya, sosialisasi. Kalau mau dihemat, berarti kegiatannya berkurang,’’ tuturnya.
Kemudian, anggaran verifikasi untuk 73 partai politik yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM juga tidak dipakai 100 persen. Sebab, yang mendaftar hanya 40-an. Belum lagi bila setelah pemungutan suara tidak ada sengketa, anggaran sengketa tidak perlu digunakan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengakui, pemilu 2019 adalah yang terberat sepanjang sejarah. Penggabungan dua jenis pemilu membuat bebannya menjadi satu, tidak lagi terpisah. ’’Tapi, kita sudah punya pengalaman dari pemilu-pemilu sebelumnya sehingga Pemilu 2019 bisa lebih baik,’’ terangnya.
Untuk itu, Titi mengingatkan KPU agar menguatkan sistem kolektif kolegial pada semua lini, tidak hanya saat mengambil kebijakan. ’’Bukan hanya saat menyelenggarakan tahapan, tapi juga kolektif kolegial dalam penguasaan informasi dan penguasaan pada setiap bidang tahapan pemilu,’’ lanjutnya.
Dia mencontohkan soal daftar pemilih. Seharusnya, dalam menyampaikan hal yang berkaitan dengan daftar pemilih, ada standar narasi informasi yang sama untuk setiap komisioner KPU tanpa kecuali. Dalam batas tertentu, setiap komisioner wajib memiliki narasi yang sama. Selebihnya, bisa disepakati bahwa yang akan menjelaskan secara mendetail adalah komisioner yang membidangi.
Dengan cara itu, setiap informasi yang keluar dari KPU akan sama sehingga tidak membingungkan masyarakat, khususnya pemilih. Bila antara komisioner yang satu dan lainnya berbeda dalam menjelaskan, akan timbul pertanyaan di publik, informasi mana yang validitasnya bisa dipegang. (byu/c4/fat)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kardus KPU sama Kuat dengan Aluminium?
Redaktur & Reporter : Soetomo