jpnn.com - JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR yang membidangi BUMN, Sukur Nababan mengatakan, dugaan adanya patgulipat di balik keputusan Pelindo II memperpanjang konsesi bagi Hucthison Port Holdings (HPH) untuk mengelola Jakarta International Container Terminal (JICT) semakin kuat. Menurutnya, sangat janggal ketika keputusan Pelindo II menyerahkan pengelolaan JICT ke perusahaan asing yang jelas-jelas menyalahi undang-undang justru dipertahankan dan dibela dengan dalih demi keuntungan.
Sukur mengatakan, keputusan Pelindo II di bawah RJ Lino memperpanjang konsesi telah melanggar Undang-Undang Pelayaran. “Karena kontrak diteken tanpa persetujuan pemerintah sebagaimana disyaratkan undang-undang,” ujarnya, Sabtu (21/11).
BACA JUGA: Prabowo Subianto Hari Ini di Lapangan Imam Bonjol
Politikus PDI Perjuangan yang duduk di Panitia Khusus (Pansus) Pelindo II itu juga menyoroti masalah potensi kerugian negara akibat BUMN pengelola pelabuhan tersebut kembali menyerahkan pengelolaan JICT ke HPH. Berdasarkan kontrak 1999, masa pengelolaan JICT oleh HPH mestinya berakhir pada 2019.
Namun, lanjut Sukur, Pelindo II secara diam-diam memperpanjang konsesi untuk HPH di JICT pada 2014. Kontraknya diperpanjang hingga 2039.
BACA JUGA: Hari Ini Jatah Kampanye Akbar Risma-Whisnu, tapi...
Merujuk pada kontrak 1999, HPH punya saham 51 persen di JICT. Sedangkan 48,9 persen saham JICT milik Pelindo II. Sisanya, 0,1 persen menjadi milik koperasi karyawan.
Hanya saja pada kontrak perpanjangan 2014 silam, saham HPH menjadi 49 persen, sedangkan HPH 51 persen. Dalam kontrak kedua itu Pelindo II mendapat USD 215 di depan dan USD 85 juta dari royalti.
BACA JUGA: Buka Dulu Susunya, Baru Dicoblos
Tapi dari hitungan Sukur, berkurangnya 2 persen saham HPH di JICT justru membuat perusahaan asal Hong Kong itu bakal untung besar. Sebab, masih ada 5 tahun sisa masa kontrak tahap pertama hingga 2019.
Belum lagi, HPH masih mengantongi perpanjangan kontrak hingga 2039. “Kehilangan dua persen dikali lima tahun berarti sepuluh peren. Tapi dengan perpanjangan kontrak sampai 2039, HPH dapat 49 persen," jelas Sukur.
Dari kontrak pengelolaan JICT yang berlaku hingga 2039 itu, lanjut Sukur, Pelindo II hanya mendapat USD 215 juta. Sedangkan HPH untung berlipat-lipat. “Dan itu yang dibanggakan oleh Lino," kata Sukur.
Karenanya Sukur juga menduga ada rekayasa atau financial engineering melalui kenaikan biaya operasional. Selama ini komponen operasional JICT hanya di kisaran 55-63 persen.
Namun, berdasaran hitungan Deutsche Bank yang digandeng HPH untuk melakukan valuasi, komponen biaya operasional dinaikkan menjadi 78 persen. “Kenapa dinaikkan? Agar untung perusahaan menjadi rendah. Tujuan akhirnya agar nilai saham rendah, sehingga HPH membeli JICT dengan harga murah. Itu financial engineering," tudingnya.
Dengan saham yang makin rendah, kata Sukur, maka nanti JICT akan dibuat seolah-olah memiliki utang. "Padahal JICT kalau dilihat historinya sejak 1999 sampai 2014 tak punya utang. Capital expenditure (belanja modal) saja selalu dari uang sendiri, tak pernah ngutang,” tutur ketua DPP PDIP bidang pemuda dan olahraga itu.
Sukur menegaskan, jika hitungan yang dipakai versi Deutsche Bank maka potensi kerugian negara hingga Rp 20 triliun. “Kalau pakai versi data histori pendapatan asli JICT sesuai audit keuangan, kerugian kita bisa RP 30 Triliun," sebutnya Sukur.(ara/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ngawur! Pembagian KIS Diklaim Shodaqoh dari Pasangan Calon
Redaktur : Tim Redaksi