Ani Ema Susanti, dari TKW Jadi Produser Film Dokumenter

Berkat Pengalaman Jadi Pembantu di Hongkong

Jumat, 01 Juni 2012 – 00:01 WIB
Ani Ema Susanti (dua dari kanan) bersama sineas Nia Dinata (dua dari kanan) usai menghadiri festival film Berlinale 2009 di Jerman. Foto : Dokumen Pribadi for Jawa Pos

Pengalaman menjadi TKW di Hongkong mengantarkan Ani Ema Susanti sukses di bidang film dokumenter. Berbagai penghargaan nasional dan internasional pun pernah diraihnya.
 
 SEKARING RATRI A., Jakarta
 
ANI Ema Susanti tumbuh dan besar di Desa Pulogedang, Kecamatan Tembelang, Jombang. Di desa tersebut hampir sebagian besar warganya berprofesi TKW. Karena itu, sejak kecil Ani akrab dengan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan TKW. Dia sudah terbiasa menyaksikan penderitaan keluarga para TKW maupun kisah TKW yang sukses di desanya.
 
Ani berasal dari keluarga pas-pasan. Orang tuanya hanya lulusan SD. Meski begitu, dia tidak mau menyerah dengan keadaan. Dia bahkan mewanti-wanti diri agar tidak ikut-ikutan menjadi buruh migran seperti para tetangganya.
 
Menurut perempuan berjilbab tersebut, kehidupan sebagian keluarga para TKW memang terkesan makmur. Sebab, begitu pulang ke tanah air, mereka membeli sawah, membangun rumah, dan memborong perabotan rumah tangga. "Mereka juga beli motor," ujar Ani saat ditemui di Cilandak Town Square  Jakarta Selatan, Rabu (30/5).
 
Tetapi, di balik "kemakmuran" tersebut, Ani menyaksikan sederet kenyataan pahit dari kehidupan para buruh migran yang mengais penghidupan di negeri orang tersebut. Banyak keluarga TKW yang tidak terurus, bahkan kacau-balau, setelah ditinggal bekerja di luar negeri bertahun-tahun.

"Banyak juga yang pulang dari luar negeri malah cerai. Ada juga yang keluarganya telantar. Belum lagi yang dapat siksaan fisik dari majikan dan pulang dengan kondisi cacat atau sakit parah," urainya.
 
Ketika Ani duduk di bangku SD, guru-gurunya rajin mengingatkan agar tidak mengikuti jejak warga yang menjadi TKW. Hingga SMA, nasihat gurunya tersebut terus terngiang dalam ingatan. Apalagi, Ani bersekolah di SMA favorit di Jombang. Meski keluarganya miskin, dia ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi.
  
Perempuan kelahiran 6 Agustus 1983 itu ingin meraih gelar sarjana dan menjadi guru seperti adik ibunya. Dia melihat kehidupan pamannya jauh lebih layak bila dibandingkan dengan orang tuanya yang hanya buruh tani.
 
"Kalau ibu kerja dari pagi sampai siang hanya dapat Rp 2.000. Waktu puasa ibu sampai nyuruh saya ikut jualan beras agar bisa membeli ikan asin untuk buka," jelasnya.
 
Kendati demikian, keinginan Ani untuk meneruskan kuliah didukung penuh orang tuanya. Mereka berjanji akan berusaha membiayai kuliah Ani. Namun, usaha dan kerja keras Ani, tampaknya, belum membuahkan hasil. Dia gagal menembus ujian masuk perguruan tinggi negeri. Anak pertama di antara dua bersaudara itu juga tidak lolos seleksi masuk di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
 
Karena tidak mungkin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS), Ani akhirnya memutuskan untuk bekerja. Dia berharap bisa mengumpulkan uang untuk kuliah. Namun, Ani hanya mampu mendapatkan pekerjaan dengan gaji tidak seberapa.

Dia pernah bekerja di pabrik snack bagian pengemasan. Baru beberapa bulan bekerja, dia keluar karena pabriknya didemo. Hal tersebut kembali berulang saat dia bekerja di pabrik kayu.
 
Ani lalu pindah ke UKM (usaha kecil menengah). Namun, karena penghasilannya yang minim, Ani tidak bisa menabung maupun membantu orang tua. Dia kemudian mencoba untuk menjadi sales kosmetik keliling dari rumah ke rumah. "Tapi, ibu dan bapak nggak tega saya bekerja seperti itu. Saya disuruh berhenti," jelasnya.
 
Pada saat yang sama, orang tua Ani menghadapi masalah ekonomi. Mereka terlilit utang di bank. Tidak ada pilihan, Ani akhirnya mengikut jejak para tetangganya, menjadi TKW. Meski berat hati, dia tidak mau sembarangan dalam menjalankan profesi itu.

Sebelum berangkat, Ani meneliti negara-negara tujuan TKW yang mengutamakan jaminan keamanan dan kesehatan. Hasilnya, dia memilih Hongkong sebagai tempat bekerja. Dari bekerja sebagai TKW itu, Ani berharap dapat menabung untuk biaya kuliah sekaligus membantu orang tua di desa.
 
Petualangan Ani sebagai TKW pun dimulai. Dia mendaftar di sebuah PJTKI (pengerah jasa tenaga kerja Indonesia) di Bekasi. Selama enam bulan dia tinggal di penampungan TKI untuk dididik dan diberi bekal keterampilan.

Awalnya Ani mengaku cukup tersiksa dengan kondisi di penampungan yang penuh larangan dan serba terbatas. Misalnya, untuk mandi, dia harus rela antre lama sebelum mendapat giliran. Sebab, di penampungan yang dihuni 300 calon TKW itu hanya ada delapan kamar mandi.
 
Namun, di penampungan itu dia bisa belajar banyak hal, mulai cara mengerjakan tugas-tugas rumah tangga hingga berkomunikasi dengan majikan. "Kami diajari merapikan spring bed lengkap dengan seprainya yang berlapis-lapis kayak di hotel. Kecepatan merapikannya dihitung pakai stop watch," cerita dia.
 
Kelar menjalani pelatihan selama enam bulan, 30 Juli 2001 Ani terbang ke Hongkong. Dia tinggal di vila milik keluarga Mr Leung Yeuk Chung di kawasan New Territories. Di sana dia tinggal bersama TKW lain yang sudah lama hidup di keluarga tersebut.

Dia diajari mengerjakan tugas-tugas rumah tangga serta diberi tahu segala hal terkait dengan makanan kesukaan hingga hal-hal yang tidak disukai sang majikan. Ani kadang juga diperbantukan di rumah orang tua majikannya di kawasan Kowloon.
 
Awalnya dia sulit berkomunikasi dengan majikan karena bahasa yang digunakan Cantonese. Namun, lama-kelamaan dia mulai terbiasa. Bahkan, Ani merasa beruntung karena bisa bekerja pada keluarga tersebut.

Mereka memberikan hak libur sehari dalam sepekan. Ani juga leluasa menjalankan ibadah salat lima waktu. "Saya juga diperbolehkan mengakses internet paling tidak sejam setiap hari," ungkapnya.
 
Tidak hanya itu, dari keluarga tersebut, Ani belajar banyak tentang pentingnya pendidikan. Kebetulan Mr Leung Yeuk Chung dan istrinya bekerja di Chinese University. Anak pertama mereka kuliah di Inggris. Mereka sangat mengutamakan pendidikan akademik dan pembentukan karakter.
 
"Dari mereka saya belajar betapa pentingnya pendidikan. Mereka juga selalu membiasakan sarapan dan makan malam bersama-sama satu meja," kenang Ani.
 
Berdasar pelajaran itu, Ani pun bertekad tidak akan menjadi TKW selamanya. Dia ingin kuliah. Apalagi, tabungannya sudah cukup untuk biaya kuliah dan membantu keluarga di desa.
 
Selama menjadi TKW Hongkong, Ani sering mengisi hari libur dengan pergi ke perpustakaan. Dia juga kerap mengunjungi Kowloon Mosque untuk bertemu umat muslim dari beberapa negara seperti Pakistan, Jerman, hingga London. Di sela-sela kegiatan itu, Ani selalu menyempatkan untuk menulis catatan harian.
 
Tepat dua tahun kontraknya habis, Ani memutuskan untuk pulang ke tanah air. Istri Ibnu Nahrozi tersebut tidak membuang waktu lama-lama guna mewujudkan cita-citanya menempuh pendidikan tinggi. Sepulang ke tanah air, dia langsung mendaftarkan diri masuk Universitas  17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya. Dia memilih jurusan psikologi karena ingin mewujudkan keinginan menjadi penulis novel.
 
"Menurut saya, menulis novel bisa lebih hidup jika kita memahami karakter orang. Untuk itu, perlu ilmu psikologi," kata dia.
 
Sejak saat itu Ani kerap mengirimkan tulisannya ke berbagai perlombaan menulis fiksi dan penerbit. Dia juga membukukan pengalamannya menjadi TKW di Hongkong dalam bukunya yang berjudul Once Upon Time in Hongkong. Namun, Ani kurang beruntung dalam hal itu. Tidak ada satu pun karyanya yang mampu menembus redaksi penerbit maupun memenangi lomba.
 
Tapi, dia tidak patah semangat. Dia terus berkreasi. Pada semester tujuh, Ani secara tidak sengaja melihat iklan kompetisi film dokumenter amatir Eagle Awards yang diadakan Metro TV. Ani kembali mencoba peruntungan di dunia tulis-menulis dengan membuat proposal film.

Semula Ani malu dengan statusnya yang mantan TKW. Namun, profesi itulah yang justru menginspirasi keikutsertaannya dalam ajang kompetisi film dokumenter tersebut.
 
"Sebelum itu saya benar-benar berusaha menutup rapat-rapat latar belakang saya yang mantan TKW di Hongkong. Tapi, dari ajang Eagle Awards itu saya malah terpikir untuk mengambil kehidupan TKW sebagai subjek film," ujarnya.
 
Dalam film tersebut, Ani memilih berada di balik layar. Dia mendokumentasikan kehidupan rekannya sesama TKW di Hongkong. Tidak disangka, proposal film Ani terpilih. Dia dan Yunni, rekannya, lalu diundang ke Jakarta untuk memfilmkan naskah tersebut. Film yang diberi judul Helper Hongkong Ngampus itu akhirnya berhasil masuk lima besar Eagle Awards 2007. 

Selain di Metro TV, film karya perdana Ani bersama temannya tersebut diputar di berbagai event yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Nama Ani Ema Susanti makin dikenal luas.
 
Itu berdampak pada novel Once Upon Time In Hongkong yang awalnya selalu ditolak penerbit. Akhirnya ada yang tertarik menerbitkan. "Mungkin mereka mikirnya lebih mudah promosinya kalau orangnya sudah dikenal," ujarnya.
 
Setahun kemudian Ani berhasil menyelesaikan kuliah. Namun, dia tidak mencari pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Dia justru ketagihan untuk membuat film lagi. Tidak disangka, dia diundang ke Jakarta guna mengikuti workshop film yang dikelola Ford Foundation. Di bawah bimbingan sineas tenar Nia Dinata, Ani membuat film berjudul Mengusahakan Cinta yang kembali bercerita tentang TKW di Hongkong. Kali ini Ani harus kembali ke Hongkong, namun bukan sebagai TKW, melainkan sineas.

Film pendek yang disatukan dalam film Pertaruhan tersebut juga kembali meraih penghargaan. Tidak tanggung-tanggung, film itu terpilih dalam Festival Film Berlinale di Jerman. Film tersebut juga meraih Best Feature Documenter pada The 2009 Documentary Film Festival.
 
Dari situ, Ani lantas bergabung dengan proyek Nia Dinata, Kalyana Shira Film. Ibu satu anak itu pun banyak belajar dari sutradara film Arisan 2 tersebut. Dari Nia, Ani belajar menjadi percaya diri, termasuk ketika harus berbicara di depan umum. "Teteh (Nia) banyak membantu saya. Dia juga yang memotivasi saya untuk pede," ujarnya.
 
Berbekal kemampuannya membikin film, Ani kemudian direkrut Mizan Production. Dia menjadi asisten produser film-film peraih penghargaan seperti film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta dan Rindu Purnama. Namun, setelah menikah, Ani memutuskan untuk keluar dari production house (PH) tersebut. Meski begitu,  keinginan menulis naskah sekaligus membuat film tak pernah surut.

Karena itu, tak lama kemudian dia memproduksi film dokumenter ketiganya. Kali ini dia mengangkat tema yang berbeda, yakni Donor ASI.
 
Film tersebut ternyata mendapat apresiasi luar biasa. Lewat film Donor ASI, karya Ani meraih penghargaan sebagai film dokumenter terbaik dalam Festival Film Indonesia 2011. Pada tahun yang sama, Ani membikin film tentang kewirausahaan berjudul Genuine Entrepreneur yang tayang di Metro TV.
 
Saat ini Ani tengah menyelesaikan film dokumenter yang kelima. Film tersebut berkisah tentang kelahiran bayi secara alami. Ani sengaja memilih tema tersebut karena berkaitan dengan pengalamannya melahirkan anak secara caesar. Padahal, dia sangat ingin bisa melahirkan dengan normal.
 
"Banyak yang mengatakan kalau kelahiran pertama sudah caesar pasti yang kedua dan ketiga juga caesar. Padahal, tidak selalu. Subjek film saya yang baru ini seorang dokter yang berhasil melahirkan normal setelah dia melahirkan caesar. Jadi, ini tentang konsep melahirkan natural tanpa dibantu intervensi medis," urainya.
 
Selain membikin film, beberapa bulan terakhir Ani menjadi koordinator distributor film ke sejumlah festival film internasional. Ada dua PH yang ditangani Ani, yakni Keana Production dan Smaradana Pro Production.

"Saya bertugas mengirimkan film-film dua PH ini ke festival film internasional. Selain film mereka, saya juga mengirimkan karya saya sendiri. Karena itu, saya belum ingin berhenti berkarya," tandas dia. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Enam Tahun Korban Lumpur Lapindo Hidup dalam Ketidakpastian


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler