Enam Tahun Korban Lumpur Lapindo Hidup dalam Ketidakpastian

Bertahan di Tanggul demi Tuntut Ganti Rugi

Selasa, 29 Mei 2012 – 00:02 WIB
Sutikno memeriksa masakannya di titik 25 tanggul Lumpur Lapindo, Porong, Sidoarjo. Foto : Boy Slamet/JAWA POS

Enam pekan sudah sejumlah warga bertahan hidup di tanggul lumpur Lapindo. Mereka adalah warga yang masuk dalam peta terdampak sesuai dengan Perpres 14/2007. Nyatanya, setelah bertahun-tahun menanti, mereka tak kunjung mendapatkan pelunasan ganti rugi.

KARDONO SETYORAKHMADI
   
SUTIKNO. Nama ini begitu terkenal di titik 25, salah satu titik di tanggul lumpur Lapindo yang dekat dengan pusat semburan. Dia biasa mangkal di sebuah warung yang terletak di ujung utara titik 25.
   
Keberadaan Sutikno menjadi hiburan tersendiri bagi warga. Hal itu tak lepas dari ulahnya yang spontan. Kadang dia mengaku sebagai anggota Densus 88. Pada kesempatan lain, Sutikno memperkenalkan diri sebagai Danramil alias komandan rayon militer.
   
Ulah Sutikno benar-benar sulit ditebak. Suatu ketika dia menari-nari. Eh, pas dikerubuti anak-anak kecil, mendadak pria 52 tahun itu berhenti menari dan berteriak "huaaaa" ke kerumunan anak-anak tadi. Tak pelak, anak-anak itu pun semburat. Ada yang tertawa, ada pula yang langsung mewek.
   
"Ya, memang seperti itu ulah Mbah Tik," kata Hartoyoso, salah seorang warga, kepada Jawa Pos. Hartoyoso mengungkapkan, perilaku tak normal Sutikno mulai tampak pada 2009. "Stresnya ya gara-gara lumpur Lapindo ini," terang Harto.
   
Sutikno termasuk warga yang paling getol memperjuangkan hak-haknya. Tanah dan rumahnya di Kedungbendo, Tanggulangin, Sidoarjo, menjadi korban luberan lumpur Lapindo. Sampai sekarang dia baru menerima kompensasi 20 persen.
   
Petaka lumpur Lapindo membuat hidup Sutikno merana. Anak-istrinya tidak diketahui keberadaannya. Dia tinggal sendirian di warung yang hanya beralaskan terpal dan gelas-gelas yang diletakkan begitu saja.

Bagaimana kalau hujan? "Kalau hujan, ya saya langsung sembahyang dan hujan pun berhenti," jawab Sutikno sekenanya.
   
Berkomunikasi dengan Sutikno memang gampang-gampang susah. Pembicaraan normal paling hanya terjadi pada satu-dua kalimat awal. Setelah itu dia susah mempertahankan konsistensi pembicaraan.
   
Ketika ditanya tentang keberadaan anak-istrinya, Sutikno bilang berada di kecamatan lain dan membuka toko pracangan. Sejurus kemudian, dia bilang anaknya sakit dan ususnya difotokopi. Usus difotokopi" Sutikno keukeuh. Dia terus berkata bahwa anaknya sakit. Nah, berkat ketegasannya memaksa dokter, sang anak sekarang sembuh.
   
Kondisi berbeda dialami Ny Asmani. Perempuan 64 tahun tersebut tinggal di sebuah rumah reyot di Desa Siring, Porong. Suaminya sudah meninggal. Dia tinggal bersama keponakannya yang berusia 14 tahun. Namun, sang keponakan jarang di rumah karena menjadi pengamen jalanan.
   
Untuk makan sehari-hari, Asmani sangat bergantung pada para tetangga. Kadang dia menjadi buruh cuci, kadang diundang makan begitu saja. Mengapa tetap tinggal di rumah itu? Asmani menjawab bahwa rumah tersebut merupakan hak waris, bersama sembilan saudaranya. "Kalau tidak ada yang menjaga, nanti bila ada pencairan siapa yang ngurus?" katanya.
   
Perempuan renta itu berharap agar PT Minarak Lapindo Jaya tidak membayar kekurangan rumahnya dengan cara mencicil. Sebabnya, rumah itu merupakan warisan. "Membaginya nanti seperti apa?" tuturnya.
   
Aspek sosial lain yang patut diperhatikan adalah soal adaptasi lingkungan. Supriyatno, warga Siring, menyatakan, mungkin mudah bagi warga perumahan yang bekerja di swasta untuk beradaptasi.

"Tapi, bagaimana dengan kami? Kami biasa bertani dan tinggal ramai-ramai bersama saudara dan tetangga. Kalau pindah ke perumahan, kami harus kerja apa? Sementara lahan juga sudah tak punya?" kata pria yang tergabung dalam GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo) tersebut.
   
Supriyatno mengatakan, boleh-boleh saja pihak lain memandang warga yang memblokade tanggul itu merupakan aksi protes. "Kami lebih suka menyebutnya pulang ke rumah kami sendiri. Rumah kami ini ya di sini," tandasnya.
   
Setelah enam tahun bencana ini, dia benar-benar kebingungan mencari nafkah. "Kasarannya, kalaupun sudah diberi uang muka, tapi kemudian enam tahun tak jelas dibayar, tentu uang itu sudah habis untuk biaya hidup sehari-hari saja," katanya.
   
Karena itu, bersama korban lumpur Lapindo yang lain, pendapatan Supriyatno sangat bergantung pada orang yang membayar saat "menikmati" wisata lumpur. Jumlahnya tak seberapa. Tak lebih dari Rp 25 ribu per hari. Jumlah itu hanya cukup untuk makan dua kali dengan menu sederhana.
   
Paring Waluyo Utomo, pendamping warga korban lumpur Lapindo, mengatakan, pemerintah dan PT Minarak seharusnya peduli dengan permasalahan sosial seperti ini. "Tidak lantas membeli (lahan milik warga) dan selesai itu sudah," katanya.
   
Menurut Paring, harus ada program relokasi yang benar-benar terintegrasi. Tujuannya, ketika pindah, warga yang mempunyai kultur berbeda dengan warga perumahan tak kehilangan kemampuan mencari nafkah.

"Kalau dipindah, mereka harus dapat jaminan tetap bisa bekerja dan mencari nafkah," tegas pria jebolan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang itu. (*/c2/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Teliti Ulat Sagu, Siswa Papua Raih Perunggu Lomba Riset Dunia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler