Anies 4 President

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 10 April 2022 – 19:56 WIB
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat menjadi penceramah salat tarawih di Masjid UGM Yogyakarta, Kamis (7/4) malam. Foto: tangkapan layar akun instagram @masjidkampusUGM

jpnn.com - Kerumunan orang berebutan berdesak-desakan sambil berteriak-teriak histeris. 

Ibu-ibu melambai-lambaikan tangan mencoba meminta perhatian, dan bapak-bapak merangsek untuk maju ke barisan paling depan.

BACA JUGA: Berceramah di UGM, Anies Baswedan Singgung Perpanjangan Jabatan

Dalam beberapa bulan terakhir pemandangan semacam itu lazim terlihat di beberapa wilayah di Indonesia. 

Orang berdesak-desakan saling berebut mendapatkan jatah minyak goreng murah. 

BACA JUGA: Anies Baswedan Berceramah Tarawih di Hadapan Mahasiswa UGM, Nih Pesannya

Namun, pemandangan yang terjadi di Yogyakarta, Jumat (8/4), berbeda. 

Kerumunan massa yang berdesak-desakan bukan sedang berebut migor atau mengantre BLT, mereka berebutan untuk mendekat dan bersalaman dengan Anies Baswedan.

BACA JUGA: Selamat Ginting Soroti Anies, Ganjar, dan Ridwan Pakai Teori Jarum Suntik, Oh Ternyata

Kerumunan itu adalah jemaah yang mengikuti salat tarawih di Masjid UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta sebagai bagian dari kegaiatan Ramadan. 

Sejumlah tokoh politik dan pemerintahan dijadwalkan memberi ceramah Ramadan di acara itu. 

Selain Anies, tokoh lain yang memberi ceramah adalah Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Mahfud MD, dan sejumlah lainnya.

Bagi Anies, datang ke UGM adalah sebuah coming home, mudik ke kampung, mengenang saat-saat menjadi mahasiswa pada 1990-an.

Sambutan terhadap Anies meluap dari jemaah yang mayoritas kalangan mahasiswa. Muncul teriakan dari kerumunan, ‘’Anies presiden..’’ yang kemudian menjadi kor bersama.

Episode di Masjid UGM ini merupakan sekuel dari antusiasme publik dalam menyambut Anies di berbagai kesempatan. 

Beberapa waktu sebelumnya, Anies mendapat sambutan meriah dari publik ketika menonton balapan MotoGP di Mandalika (20/3). 

Hal yang sama terjadi ketika Anies datang ke Kalimantan Timur untuk menghadiri acara kemah di titik nol Ibu Kota Nusantara (14/3).

Fenomena Anies menjadi hal baru dalam lanskap politik Indonesia. Dua tahun menjelang pemilihan presiden bakal calon mulai bermunculan. 

Di antara calon-calon itu, dua orang berada pada pole position terdepan, yaitu Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Dua-duanya alumnus UGM.

Tentu saja Prabowo Subianto masih tetap menjadi kandidat yang diharapkan oleh publik. 

Dalam berbagai survei, tiga nama itu selalu konsisten muncul saling bersaing memperebutkan pole position. Nama-nama lain yang muncul tidak ada yang pernah bisa menggeser tiga nama itu.

Prabowo adalah kuda hitam. Namun, kuda putih yang sesungguhnya adalah Anies dan Ganjar. 

Prabowo mewakili masa lalu dan duo Anies-Ganjar adalah potret masa depan. 

Kegagalan Prabowo dalam dua kali race menjadi catatan kaki tersendiri bagi publik. 

Sementara Anies dan Ganjar yang lebih fresh menjadi tumpuan harapan akan perubahan.

Anies dan Ganjar sudah mempunyai trademark masing-masing. Dalam setiap kesempatan, Ganjar juga mampu menyedot perhatian publik. Ganjar menarik karena tampilannya yang charming. Dia sederhana, merakyat, dan mampu berbicara dengan bahasa rakyat.

Trademark Ganjar ini lebih mirip seperti fotokopi Jokowi. Ganjar adalah prototipe baru Jokowi. 

Mungkin kalau disamakan dengan gadget Ganjar adalah versi baru dari seri Jokowi. 

Sementara, Anies adalah seri baru hasil dari produk baru yang berbeda dari seri lama yang sudah populer.

Ganjar memakai jurus-jurus lama yang sudah dipakai oleh Jokowi. Dengan melakukan emulasi itu Ganjar menempatkan positioning politiknya sebagai suksesor alamiah dari Jokowi. Sementara, Anies memberikan penampilan yang berbeda dari produk politik sebelumnya. Anies menawarkan alternatif baru dari status quo lama.

Dua strategi marketing politik ini berbeda, dan sama-sama mampu menarik minat publik.

Dua kandidat ini akan menjadi ‘’two horse race’’ dua kuda pacuan yang akan terus berbacu sampai finish. Perhelatan Pilpres 2024 akan menjadi balapan dua kuda pacu Anies dan Ganjar. Kuda pacu lainnya adalah penggembira.

Sejarah politik Indonesia pasca-Orde Baru mengenal silkus 10 tahunan dengan munculnya figur alternatif yang mampu menyedot histeria massa. 

Pada 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) muncul sebagai fenomena satria piningit. 

Dia menjawab kerinduan publik akan munculnya pemimpin yang gung binantara yang mampu membawa praja menjadi negara yang makmur gemah ripah loh jinawi.

SBY adalah fenomena. Penampilannya sangat presidential ‘’mresideni’’. Dia menjadi idola ibu-ibu yang terpesona oleh tampilan fisiknya yang gagah. 

Dia menghipnotis publik dengan karisma dan wibawanya. Dia menata citranya dengan teliti dalam setiap penampilan. SBY adalah sosok satria piningit yang paripurna.

Siklus 10 tahunan SBY berakhir. Publik yang sudah bosan dengan penampilan yang serbaformal, menginginkan pemimpin baru yang bisa menjadi alternatif. 

Enter Jokowi. Masuklah Jokowi. Dalam kondisi vakum itu muncullah Joko Widodo sebagai alternatif yang benar-benar berbeda dari produk sebelumnya. Jokowi adalah antitesis SBY yang mampu merebut perhatian publik karena tampilannya yang benar-benar beda.

SBY dengan segala atribut yang rumit adalah sebuah fenomena yang orisinal pada masanya. Tidak akan ada orang yang bisa mengemulasi gaya politik SBY. Dia produk zamannya, dan akan dikenang sebagai bagian dari sejarah panjang Indonesia.

Jokowi menjadi bagian dari episode baru Indonesia. Latar belakangnya sebagai ‘’lay-people’’ orang awam, menjadi magnet yang mampu menyedot perhatian publik. 

Jokowi menumbuhkan histeris di mana-mana. Setiap kali muncul, orang-orang akan histeris terhipnotis oleh kesederhanaannya.

Jokowi mewakili genre baru politikus Indonesia yang bersih dari pengaruh Orde Baru. 

SBY menjadi bagian dari produk lulusan ‘’Universitas Orde Baru’’, meminjam istilah almarhum Arief Budiman. Jokowi bersih dari pengaruh lama dan menawarkan pendekatan politik baru kepada publik pemilih.

Beberapa negara internasional juga mengalami fenomena yang sama dengan Indonesia dalam hal kepemimpinan nasional.

Barack Obama di Amerika menjadi fenomena besar ketika muncul sebagai presiden pertama Amerika yang berkulit hitam. 

Selama 200 tahun merdeka, Amerika tidak pernah sekali pun punya presiden berkulit hitam, dan Obama menjadi fenomena sejarah dengan memecah kebuntuan dua abad itu.

Obama datang dari kalangan biasa. Politik Amerika selalu didominasi oleh pemimpin dari kalangan elite yang kaya raya. 

Obama membongkar tradisi itu. Dia anak seorang emigran Afrika yang tumbuh dalam tradisi ‘’American Dream’’ mimpi Amerika.

Obama berbicara dengan bahasa rakyat yang sederhana. Dengan kesederhanaan itu Obama bisa menyisihkan Hillary Clinton untuk mendapatkan tiket dari Partai Demokrat. 

Obama akhirnya memenangkan kepresidenan mengalahkan John McCain dari Partai Republik yang terkenal sebagai veteran perang dengan prestasi hebat.

Fenomena Obama terjadi juga di Kanada dengan munculnya Justin Trudeau menjadi perdana menteri Kanada pada 2013 dalam usia 42 tahun. 

Kepemimpinan politikus mapan yang sudah berpuluh tahun menguasai Kanada membuat pemilih bosan, dan menginginkan pemimpin yang lebih segar. Trudeau yang muda dan ganteng mengisi harapan publik itu.

Di Prancis, muncul fenomena Emanuel Macron yang memenangkan kepresidenan pada 2017 dalam usia 40 tahun. 

Macron menjadi fenomena baru dengan penampilannya yang fresh dan orisinal. Model presiden kuno seperti Francois Mitterand pupus oleh citra Macron yang muda dan energik. 

Anies Baswedan adalah genre baru politikus Indonesia. Bisa jadi siklus 10 tahunan pemimpin Indonesia akan berulang. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler