jpnn.com - Joko Widodo alias Jokowi terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta mengalahkan petahana Fauzi ‘’Foke’’ Bowo pada 2012.
Baru 2 tahun menjadi gubernur, belum banyak yang bisa dicapai Jokowi untuk membuktikan janji-janji kampanyenya, tetapi namanya sudah dikait-kaitkan sebagai bajal calon presiden pada Pilpres 2014.
BACA JUGA: Anies Mau Nyapres, PSI Beri Kata-kata Manis, Akui Peluang
Ketika itu, reaksi Jokowi terhadap pertanyaan wartawan menjadi salah satu ‘’quote of the decade’’ kutipan paling terkenal dalam satu dasawarsa.
Setiap kali ditanya wartawan mengenai kemungkinan maju sebagai capres, Jokowi selalu menjawab, ‘’Copras capres, saya gak mikir, mikiri banjir sudah pusing."
BACA JUGA: Anies Siap jadi Presiden, Mas Pras Sentil Soal Pekerjaan di Jakarta yang Tak Tuntas
Jawaban itu diulang-ulang setiap kali ada pertanyaan mengenai pencapresan. Ketika ditanya mengenai hasil surveinya yang tinggi, jawaban Jokowi juga sama saja, mengulang-ulang, ‘’Surva surve, saya gak mikir."
Akan tetapi, ending-nya semua tahu. Jokowi mikir mengenai ‘’copras capres’’. Ketika akhirnya PDIP menunjuknya sebagai calon presiden, Jokowi mengatakan, ‘’Saya sudah mendapatkan mandat dari Ibu Megawati dan saya siap melaksanakan."
BACA JUGA: Anies Baswedan Siap Maju Sebagai Calon Presiden 2024
Jokowi menjadi penanda zaman. Dia hadir ‘’just in time’’ tepat pada waktunya. Ketika era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir, Jokowi muncul sebagai alternatif yang baru dan segar.
SBY ialah potret presiden yang ‘’mriyayeni’’ muncul dari kalangan elite priyayi, dengan penampilan serbaterukur dan teratur. Jokowi menjadi calon presiden yang menjadi bagian dari rakyat jelata, ‘’Jokowi adalah kita’’.
Itulah awal sejarah kemunculan Jokowi yang fenomenal. Selebihnya adalah sejarah. Dan sekarang, hampir 10 tahun, era Jokowi akan segera berakhir.
The end of an era, akhir sebuah era. Siklus 10 tahunan politik Indonesia akan menapaki babak baru.
SBY adalah sebuah era. Jokowi adalah sebuah era. Mereka menandai siklus 10 tahun dalam politik Indonesia.
Sekarang saatnya muncul era baru pasca-Jokowi. Sebuah era yang mendandai kemunculan pemimpin baru yang menjadi antitesis terhadap Jokowi.
Masa kepemimpinan 2 periode Jokowi adalah antitesis SBY. Sekarang, setelah 10 tahun, akan muncul calon baru yang menjadi antitesis Jokowi dan menjadi penanda munculnya era baru yang berbeda dengan era sebelumnya.
Calon-calon pengganti Jokowi sudah bermunculan. Kalau memperhatikan ‘’surva-surve’’ maka yang muncul sebagai 3 besar adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Prabowo sudah menempatkan positioning-nya sebagai penerus Jokowi. Ganjar Pranowo disebut-sebut sebagai ‘’cover version’’ atau fotokopi Jokowi.
Di antara 3 besar itu, Anies mempunyai positioning yang berbeda. Anies telah menjadi antitesis Jokowi. Anies—sengaja atau tidak—menempatkan positioning-nya sebagai jawaban untuk kemunculan tokoh alternatif pasca-Jokowi.
Kalau siklus 10 tahunan akan berulang, maka 2024 nanti akan menjadi tonggak bagi kemunculan siklus baru.
Pekan ini Anies Baswedan mengakhiri masa baktinya sebagai gubernur satu periode.
Seharusnya dia masih bisa maju lagi untuk periode kedua.
Akan tetapi, aturan baru mengharuskannya untuk berhenti sekarang, karena pemilu kepala daerah akan dilaksanakan serentak bersama pemilu presiden dan pemilu legislatif pada 2024.
Sebutlah itu sebagai garis tangan, atau takdir, atau apalah. Anies bisa saja merasa dirugikan karena tidak bisa mencalonkan diri sebagai gubernur untuk periode kedua.
Itu berarti Anies kehilangan panggung selama 2 tahun ke depan.
Poltical spotlight adalah hal yang niscaya dalam politik. Seorang politikus harus tetap punya panggung untuk tetap berada di bawah sorot lampu spotlight.
Kalau tidak, dia akan mengabur dan hilang dari pandangan.
Akan tetapi, di sisi lain garis tangan membawa keberuntungan bagi Anies.
Dia bisa langsung mempersiapkan diri untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024, tanpa harus meninggalkan kursi gubernur di tengah jalan.
Asumsinya, kalau Anies bisa maju untuk periode kedua dia akan menang. Akan tetapi, itu akan menjadi persoalan ketika dia ingin maju dalam Pilpres 2024, karena dia harus berhenti di tengah jalan.
Tidak ada yang kebetulan atau kecelakaan dalam politik. Kalau ada yang terlihat sebagai kebetulan, Anda berani bertaruh bahwa hal itu dibuat seperti kebetulan. Begitu kata Franklin D. Roosevelt.
Dalam kasus Anies, ‘’kebetulan’’ itu mungkin bukan dibuat kebetulan yang dirancang oleh manusia. Bisa saja ada ‘’divine intervention’’, campur tangan ilahiah, di dalamnya.
Jokowi harus menghindar dari kejaran wartawan dengan narasi copras capres. Dia berbohong, tetapi akhirnya terciduk juga. Ketika ‘’tawaran’’ dari PDIP muncul, Jokowi langsung menyahutnya dengan mengatakan siap.
Dia meninggalkan tugasnya sebagai gubernur DKI. Mungkin lawan politiknya bisa menuduhnya ‘’tinggal glanggang colong playu’’, melarikan diri meninggalkan gelanggang perang.
Sebaliknya, Anies tidak perlu membuat narasi copras capres. Anies mengambil jalan tegas bahwa dia siap maju dalam kontestasi Pilpres 2024. Itulah yang menjadi pembeda Anies dari Jokowi.
Itu pula yang menyelamatkan Anies dari kemungkinan serangan ‘’tinggal glanggang’’ kalau dia maju pada Pilpres 2024.
Era Jokowi segera berakhir, tetapi, ada tanda-tanda Jokowi tidak akan membiarkan eranya berakhir begitu saja. Jokowi masih akan ikut berperan untuk menentukan siapa yang menjadi suksesornya. Jokowi masih ingin memainkan peran sebagai ‘’the king maker’’.
Bukan hanya itu. Wacana 3 periode belum sepenuhnya pupus. Setidaknya para pendukung Jokowi masih melirik-lirik kesempatan untuk memunculkan wacana 3 periode, jika memungkinkan.
Kalau tidak memungkinkan, maka Jokowi akan mencari suksesor yang bisa meneruskan kepemimpinannya.
Gelagat yang terlihat selama ini menunjukkan bahwa Anies Baswedan bukan suksesor yang dikehendaki Jokowi.
Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto terlihat sebagai kandidat yang lebih disukai Jokowi. Karena itu Prabowo sudah menempatkan diri sebagai anak buah yang patuh kepada Jokowi.
Prabowo berharap akan mendapat tuah dari Jokowi. Banyak yang memperkirakan bahwa ‘’Jokowi Effect’’ akan menjadi faktor pemenang penting dalam perhelatan Pilpres 2024. Karena itu banyak yang berharap untuk mendapatkan tuah dan berkah ‘’Jokowi Effect’’ itu.
Ganjar Pranowo masih malu-malu dan belum jelas masa depannya. Nasib Ganjar sebagai petugas partai benar-benar bergantung pada Megawati Soekarnoputri sang empunya partai.
Anies Baswedan bukan petugas partai dan tidak punya partai. Hal itu bisa menjadi kerugian bagi Anies. Akan tetapi, sebaliknya, hal itu bisa menjadi keuntungan bagi Anies, karena dia berstatus free transfer, dia bisa melakukan negosiasi politik dengan partai mana saja.
Tentu saja, sudah ada Partai Nasdem yang, kabarnya, siap menjadi poros koalisi bersama PKS (Partai Keadilan Sosial) dan Partai Demokrat untuk mengusung Anies.
Kalau siklus 10 tahun politik Indonesia berulang, maka era baru akan segera lahir menandai berakhirnya era Jokowi. (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror