Anies dan Da Silva

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 04 Januari 2023 – 14:04 WIB
Anies Baswedan. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Macam-macam cara orang menghabiskan malam tahun baru.

Bagi Anies Baswedan, malam tahun baru adalah waktu yang asyik untuk berkumpul dengan keluarga dan melakukan kontemplasi ringan.

BACA JUGA: 6 Fakta Ketua Relawan Anies Baswedan Dikeroyok, Ada Perempuan Sadis, Apa Motifnya?

Anies mengajak anak laki-lakinya, Mikail Azizi untuk menonton film dokumenter ‘’The Edge of Democracy’’ yang menceritakan pengalaman politik Presiden Brasil Luiz Lula da Silva.

Anies mengunggah momen kebersamaan itu ke akunnya di Facebook.

BACA JUGA: Ketua Relawan Rumah Gadang Anies Baswedan Dikeroyok, Terkapar, Bukittinggi Gempar

Anies menceritakan sinopsis singkat film yang ditulis oleh sineas perempuan milenial Brasil, Petra Costa.

Film bercerita mengenai pengeroposan demokrasi di Brasil yang terjadi akibat persekusi yang dilakukan terhadap Lula da Silva.

BACA JUGA: WiFi Gratisan Disetop, Eks TGUPP Tuduh Heru Benci Anies

Politikus senior ini pernah menjabat presiden Brasil dua periode 2003-2010. 

Dia kemudian dipersekusi oleh musuh politiknya, dan kemudian diadili dengan tuduhan korupsi.

Belakangan terbukti bahwa tuduhan korupsi itu merupakan fabrikasi musuh politik Da Silva.

Mahkamah Agung Brasil membatalkan hukuman Silva pada 2021.

Silva kemudian mencalonkan diri sebagai presiden pada 2022 dan berhasil mengalahkan petahana Jair Bolsonaro.

Pelaksanaan Pemilu 2022 Brasil banyak mencederai demokrasi.

Ada upaya untuk menjegal pencalonan Silva dan banyak kampanye hitam untuk membunuh karakter Silva.

Akan tetapi, akhirnya Silva menang tipis atas Bolsonaro.

Ketika akhir tahun 2022 Silva dilantik sebagai presiden, Bolsonaro melarikan diri ke Amerika Serikat.

Anies mengingatkan kembali mengenai kematian demokrasi seperti yang ditulis oleh 2 profesor Universtas Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt ‘’How Democracies Die’’ (2018).

Anies mengutip 3 tindakan yang dilakukan oleh rezim untuk melemahkan demokrasi.

Pertama, ‘’kuasai wasitnya’’.

Ganti para pemegang kekuasaan du lembaga negara netral dengan pendukung status quo.

Kedua, ‘’singkirkan pemain lawan’’.

Singkirkan lawan politik dengan cara kriminalisasi, tuduhan suap, dan tuduhan skandal.

Ketiga, ‘’ganti aturan mainnya’’.

Ubah peraturan negara untuk melegalkan penambahan dan pelanggengan kekuasaan.

Pelemahan demokrasi ini akan mengakibatkan ‘’shifting baseline syndrome’’, yaitu perubahan secara bertahap dan perlahan sehingga publik menjadi terbiasa dengan kondisi baru yang sebenarnya ambruk.

Dari pengalaman Brasil itu dunia diingatkan bahwa demokrasi tidak boleh ‘’taken for granted’’, sesuatu yang ada dengan sendirinya.

Demokrasi harus terus-menerus dirawat dan tidak boleh dibiarkan digerogoti oleh berbagai upaya pelemahan.

Levinsky dan Ziblatt  menjelaskan proses kematian demokrasi di Amerika di bawah Presiden Donald Trump pada 2016-2020, dengan mengungkap sejumlah indikasi yang terjadi di era itu.

Semua indikator dan fenomena yang diungkap Ziblatt terjadi di Amerika.

Akan tetapi, penelitian ini bersifat induktif yang memungkinkan peristiwa yang bersifat partikular bisa mengarah ke sifat universal yang berlaku di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Pada 2020, Anies pernah membuat posting di media sosialnya dengan mengunggah foto sedang bersantai dengan membaca buku itu.

Unggahan Anies dengan buku itu di media sosial menjadi ‘’perfect timing’’ dengan kondisi Indonesia yang mengalami berbagai fenomena yang bisa mengarah kepada kematian demokrasi.

Levinsky-Ziblatt mengajukan beberapa hal yang menjadi indikasi kematian demokrasi.

Di masa lalu demokrasi mati karena munculnya diktator dari kalangan militer yang memberangus demokrasi dengan kekerasan dalam sebuah kudeta.

Saat ini, diktator model baru muncul dari kalangan sipil yang memenangkan kekuasaan melalui pemilu, tetapi kemudian menyelewengkan prinsip-prinsip demokrasi.

Diktator militer sudah menjadi bagian dari masa lalu.

Sekarang muncul varian baru diktator sipil alias diktator partikelir.

Dia tidak datang dari kalangan jenderal militer yang kuat, tetapi datang dari kalangan publik atau swasta, dan bahkan muncul dari kalangan rakyat, atau setidaknya mengaku sebagai bagian dari rakyat melalui politik populisme.

Fenomena diktator partikelir itu terjadi di Brazil dengan munculnya Jair Bolsonaro yang populis.

Di Filipina muncul Rodrigo Dutarte yang menapaki karir politik mulai dari walikota sampai menjadi presiden, dan kemudian memerintah dengan tangan besi.

Hal yang sama terjadi di Peru, Polandia, dan Rusia dengan munculnya Vladimir Putin.

Putin yang sekarang mengerahkan pasukan Rusia menggempur Ukraina adalah personifikasi ‘’diktator demokratis’’ yang memenangkan kepresidenan melalui pemilihan umum sejak awal 2000.

Putin kemudian mengamandemen konstitusi yang memungkinkannya untuk memerintah sampai 20 tahun mendatang.

Dengan usia Putin yang sekarang 69 tahun praktis Putin bisa menjadi presiden seumur hidup.

Diktator partikelir itu tetap memperbolehkan media beroperasi.

Akan tetapi, seperti kuda yang sudah dtunggangi dan dikendalikan, media hanya sekadar menjadi tunggangan yang bisa dikendalikan.

Media sudah terbeli dan selalu ditekan supaya melakukan sensor diri.

Publik yang menggunakan media alternatif untuk menyuarakan pendapat kritis akan dijerat oleh pasal-pasal kriminal.

Demokrasi menghadapi kematian ketika diktator partikelir itu melakukan aliansi dengan sejumlah politisi oligark mapan untuk membentuk persekutuan koalisi ‘’Aliansi Saling Percaya’’ atau ‘’Fateful Alliances’’.

Oligarki itu  merupakan gabungan dari oligarki politik dan oligarki ekonomi, atau gabungan antara keduanya.

Di negara yang demokrasinya mati muncul fenomena pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa, yang dikenal sebagai ‘’pengpeng’’.

Ada beberapa indikasi yang bisa menjadi tanda matinya demokrasi.

Yang pertama,  ‘’Rejection of  or the weak commitment to democratic rules of game’’, penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi.

Undang-undang yang sudah disepakati ternyata dipermainkan dengan berbagai macam cara, karena rezim sudah menguasai semua perangkat kelembagaan demokrasi dalam kendalinya.

Pemilihan umum sudah diputuskan, masa jabatan kepresidenan sudah ditetapkan dalam konstitusi.

Akan tetapi, diktator partikelir bisa memainkan kekuasaannya untuk mengubah aturan itu demi memperpanjang kekuasaannya.

Penolakan dan komitmen yang lemah terhadap aturan demokrasi ini menjadi indikator utama matinya demokrasi.

Beberapa pertanyaan bisa diajukan untuk melihat kecenderungan ini.

Apakah ada upaya menolak perundang-undangan atau menunjukkan keinginan untuk melanggarnya.

Apakah ada usulan atau gerakan antidemokrasi seperti membatalkan pemilu, melanggar atau membatalkan undang-undang, melarang organisasi tertentu, atau membatasi hak-hak sipil dan politik?

Di Indonesia, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah terlihat semakin nyata.

Pelanggaran terhadap undang-undang terjadi, upaya untuk menunda pemilu sudah mulai diorkestrasi, dan pelarangan terhadap organisasi tertentu dan pembatasan terhadap hak-hak sipil sudah terjadi.

Faktor lain yang menjadi indikasi adalah ‘’Readiness to curtail civil liberties of opponents, including media’’, melakukan pembatasan terhadap kebebasan sipil lawan-lawan politik, termasuk media.

Kasus-kasus pembebasan kebebasan sipil sudah banyak terjadi.

Penangkapan dan penahanan dengan dalih yang dibuat-buat sudah terjadi di beberapa kasus.

Pemakaian kekerasan terhadap lawan politik juga sudah terjadi.

Pembunuhan Kilometer 50 menjadi salah satu indikator adanya penggunaan kekerasan yang didukung oleh kekuatan kekuasaan.

Tradisi demokrasi Amerika melahirkan contoh-contoh yang agung yang layak dicontoh.

Salah satunya adalah ‘’the power of forebearnce’’ atau kekuatan untuk menahan diri.

Politik yang identik dengan perebutan kekuasaan akan membawa seseorang untuk bernafsu mengakumulasi kekuasaan selama mungkin.

Selalu saja ada godaan untuk berkuasa lebih lama ketika kesempatan itu ada atau memungkinkan.

Vladimir Putin di Rusia menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menahan diri.

Keinginan untuk berkuasa lebih lama, dengan berbagai alasan, membuat Putin berupaya memanipulasi undang-undang untuk mendukung ambisi politiknya.

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo mulai menjukkan gelagat ingin menambah masa jabatannya melebihi periode yang sudah diatur oleh konstitusi.

Pelanggaran terhadap konstitusi itu bisa ditutupi dengan melakukan amendemen terhadap konstitusi yang memungkinkannya berkuasa lebih lama.

Tindakan itu terlihat demokratis meskipun pada esensinya menghancurkan demokrasi.

Jokowi mengeluarkan Perppu Cipta Kerja untuk mem-by pass keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Alih-alih melakukan perbaikan, Jokowi membatalkan undang-undang itu dan menggantinya dengan perppu.

Tindakan ini dikritik oleh pada aktivis demokrasi dan dianggap sebagai pembajakan terhadap demokrasi.

Seorang Jair Bolsonaro yang memimpin dengan gaya megaloman ternyata bisa dikalahkan oleh Lula da Silva yang sederhana dan jujur.

Akankah fenomena ini terjadi di Indonesia? Tidak ada yang tahu.

Anies Baswedan menonton film itu untuk mengisi waktu sekaligus mengajari Mikail mengenai nilai-niai demokrasi.

Tentu tontonan ini lebih bermanfaat ketimbang membaca komik Sinchan.

Berikutnya, Anies berjanji kepada Mikail untuk nobar film ‘’Avatar, The Way of Water’’ yang sedang menjadi box office.

Kita tunggu pesan moral apa yang bakal disampaikan Anies setelah menonton Avatar. (**)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lula da Silva


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler