jpnn.com - Politik selalu penuh kejutan, dan kadang juga keajaiban. Tidak ada yang mustahil dalam politik. Apa saja bisa terjadi. Berbagai peristiwa yang mendekati mukjizat sering terjadi dalam politik.
Terpilihnya Rishi Sunak sebagai Perdana Menteri Inggris keturunan Asia pertama adalah keajaiban. Sekarang, keajaiban yang kurang lebih sama terjadi di Brasil.
BACA JUGA: Presiden 3 Periode, Lula Berjanji Menyatukan Brasil dan Selamatkan Amazon
Politikus gaek Luiz Inacio Lula da Silva, 77 tahun, mengalahkan petahana Jair Bolsonaro, 67 tahun, dalam pilpres dua putaran dengan selisih suara supertipis.
Kemenangan Lula da Silva ini disebut sebagai kebangkitan kedua, karena dia sudah pernah menjadi presiden dua periode pada 2003 sampai 2007.
BACA JUGA: Lula Presiden 3 Periode, Brasil Kembali Dikuasai Kaum Kiri
Dia kemudian dituduh terlibat korupsi dan dipenjara selama 18 bulan pada 2019. Akan tetapi, Silva berhasil bangkit dan memimpin perjuangan mengalahkan petahana yang kuat.
Hasil pemilu Brasil diumumkan akhir pekan lalu (31/10) dan diketahui bahwa Lula da Silva mengumpulkan suara 50,9 persen, sementara Bolsonaro meraup 49,1 persen.
BACA JUGA: Dejavu Piala Dunia 2002, Timnas Brasil Siap Juara Lagi di Asia
Selisih supertipis ini rawan gugatan dan sangat rentan terhadap penolakan. Apalagi, selama ini Bolsonaro dikenal sebagai politikus garis kanan pro-pemodal yang rada slebor.
Akan tetapi, itulah keajaiban politik. Petahana yang bergaya politik megalomania ternyata bisa dikalahkan oleh politikus yang lebih mendengarkan suara rakyat kecil.
Dan, yang ajaib lagi, Bolsonaro tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan.
Setelah dua hari menghilang dari publik dan tidak membuat pernyataan apa pun, Bolsonaro akhirnya membuat pernyataan resmi (2/11) dan secara tidak langsung mengakui kekalahannya.
Yang ajaib lagi, Bolsonaro sama sekali tidak menyebut nama Lula dan Silva dan tentu saja tidak memberikan ucapan selamat kepadanya.
Beberapa pendukungnya membuat ulah dengan memblokade jalan raya dengan traktor. Akan tetapi, Bolsonaro menyerukan kepada pendukungnya supaya menghentikan blokade.
Sebelumnya banyak pihak yang memprediksi pemilu Brasil akan berakhir ricuh. Penyebabnya, Bolsonaro sejak awal sudah gembar-gembor bahwa hasil pemilu sangat mudah dimanipulasi dan direkayasa.
Dia mengintimidasi lawan-lawan politiknya dengan mengatakan tidak akan mengakui hasil pemilu kalau sampai dia kalah.
Gaya politik semacam ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh Donald Trump dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat 2020.
Trump tidak mengakui kekalahannya dari Joe Biden, tidak mau mengucapkan selamat, dan tidak bersedia menghadiri sertijab.
Malah Trump menggerakkan ribuan pendukungnya untuk menyerbu gedung DPR Capitoll Hill dengan membawa berebagai jenis senjata api.
Capitol Hill diduduki pemrotes selama beberapa jam. Para anggota dewan dilarikan ke bunker bawah tanah untuk menghindari massa yang beringas. Terjadi bentrokan dengan petugas keamanan yang menyebabkan seorang petugas meninggal dunia.
Trump dianggap bertanggung jawab terhadap insiden ini, dan DPR melakukan impeachment terhadap Trump meskipun sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden.
Trump lolos dari hukuman dengan selisih suara tipis. Trump terus berkampanye merongrong pemerintahan Biden sampai sekarang. Dan sangat mungkin Trump akan maju lagi dalam Pilpres 2024 mendatang.
Kalau Trump bisa mendapatkan tiket capres dari Partai Republik sangat mungkin Trump akan bisa come back dan mengalahkan Biden.
Selama memerintah beberapa tahun ini Biden dianggap lemah dan sering melakukan kesalahan-kesalahan di depan publik karena diduga mengalami kepikunan.
Jika Partai Demokrat masih tetap mencalonkan Biden dan Partai Republik mencalonkan Trump, kesempatan untuk political come back bagi Trump terbuka lebar.
Kalau Partai Republik tidak memberikan tiket kepada Trump masih ada kesempatan bagi Trump untuk maju sebagai calon independen.
Hal itu sudah ada presedennya dalam Pilpres Amerika 1992. Ketika itu Ross Perot, pengusaha minyak kaya raya dari Texas maju sebagai calon presiden independen.
Karena tidak mendapatkan tiket dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, Perot mendirikan partai sendiri ‘’United We Stand’’ dan dipakainya untuk menjadi kendaraan politik.
Perot kalah dari George Bush, tetapi sejarah Amerika mencatat rekor baru dengan munculnya capres independen yang tangguh.
Sama dengan Perot, Donald Trump juga saudagar yang tajir melintir. Kekayaannya diperkirakan cukup untuk membiayai kampanye politiknya sendiri.
Akan tetapi, Trump diperkirakan akan memakai kekayaannya untuk membentuk partai sendiri. Alih-alih, dia akan merebut tiket dari Partai Republik dengan segala cara dan kemampuannya.
Gaya politik slebor ala Trump ini ditiru oleh Jair Bolsonaro. Karena itu, dia mendapatkan nickname, julukan, ‘’The Tropical Trump’’ alias Donald Trump tropis, merujuk pada cuaca tropis di Brasil.
Kerena itu, ketika Bolsonaro mengatakan bahwa dia akan menolak hasil pemilu, publik mengira akan terjadi show down, adu kuat, yang berkepanjangan yang menyebabkan krisis politik baru.
Ternyata di luar dugaan banyak orang Bolsonaro tidak melawan dan memilih menyerah. Dia kalah dalam dua putaran.
Pada putaran pertama 2 Oktober yang lalu tidak ada kandidat yang mendapatkan 50 persen plus. Pada putaran kedua 31 Oktober kejutan terjadi karena Lula da Silva bisa mendapatkan 50,9 persen. Selisih 0,9 persen sudah cukup untuk mengantar kemenangan dramatis Lula da Silva.
Banyak yang menduga Bolsonaro tidak melawan karena dia takut akan masuk penjara. Selama menjadi presiden dia banyak melakukan pelanggaran hukum sehingga sangat rawan masuk penjara setelah pensiun.
Kabarnya, Bolsonaro sudah melakukan deal dengan para penegak hukum yang menyarankannya supaya tidak melawan untuk menghindari persekusi.
Kemengan Silva ini menandai kebangkitan ‘’Pink Tide’’ atau Gelombang Merah Muda, yang menjadi identitas gerakan sosialis yang digagas Silva.
Kemenangan ini membuat wilayah Amerika Latin sekarang dikuasi oleh rezim sosialis. Negara-negara terkemuka di Amerika Latin dikuasi kelompok sosialis kiri pro rakyat dalam 20 tahun terakhir.
Di Venezuela, gelombang gerakan sosialis dipelopori oleh mendiang Hugo Chavez yang memimpin revolusi menumbangkan kelompok kanan yang pro-oligarki.
Gerakan Chavez kemudian diikuti oleh Evo Morales di Bolivia yang berhasil membawa revolusi sosialis merebut kekuasaan sampai sekarang.
Pusat dari semua gerakan sosialis di Amerika Latin itu adalah Kuba yang tetap menjadi pusat kekuatan sosialis sepeninggalan Videl Castro dan adiknya Raul Castro yang memilih pensiun.
Kuba menjadi mentor dan motor bagi rezim-rezim sosialis yang menjadi fenomena umum di Amerika Latin. Negara-negara lain, seperti Cile pun tidak luput dari terpaan gelombang merah muda.
Terpilihnya Lula da Silva menjadi peristiwa fenomenal, karena Brasil adalah negara paling besar dengan jumlah penduduk terbesar di Amerika Latin.
Di bawah Silva, Brasil bisa menjadi lokomotif baru pembangunan ekonomi yang lebih pro kepada rakyat dan lebih ramah terhadap lingkungan.
Selama menjadi penguasa Brasil Bolsonaro banyak melakukan penebangan hutan Amazon dan dianggap sangat ceroboh terhadap lingkungan.
Dia benar-benar menjadi fotokopi Donald Trump dalam hal isu lingkungan. Trump dikenal sebagai politikus yang tidak mendukung upaya pelestarian lingkungan melalui gerakan internasional seperti Protokol Kyoto.
Dalam hal penanganan Covid-19, Bolsonaro juga bergaya seperti Trump. Dia percaya bahwa pandemi adalah penyakit buatan dan dia tidak percaya terhadap protokol kesehatan dan tidak mau divaksin.
Akibat kecerobohannya ini korban Covid-19 di Brasil mencapai 700 ribu kematian dan merupakan salah satu yang tertinggi di Amerika Latin.
Gaya poltik pro oligarki dan pemodal besar ala Bolsonaro akhirnya membawa akibat fatal. Bolsonaro yang populis harus menerima kekalahan, dan harus minggir oleh gelombang merah muda yang didukung rakyat secara masif. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror