Anies di Australia

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 08 Maret 2023 – 19:03 WIB
Bakal Capres 2024 Anies Baswedan. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Anies Baswedan melakukan kunjungan resmi ke Australia pekan ini atas undangan pihak Australia.

Anies berbicara di depan beberapa pertemuan yang digagas oleh kalangan pemerintahan, bisnis, dan kampus.

BACA JUGA: Anies Sebut Kriteria Bacawapres, Sudah Ada Nama?

Anies berbicara mengenai berbagai topik besar, mulai dari pendidikan, politik, demokrasi, dan ekonomi.

Anies berbicara mengenai isu yang sensitif seperti demokrasi dan pembangunan. Dalam forum kuliah umum di Australian National University (ANU) Canberra Anies menegaskan pandangannya bahwa pembangunan ekonomi dan demokrasi bisa berjalan seiring, tanpa harus ada yang saling mengalahkan.

BACA JUGA: Heboh IMB di Tanah Merah Plumpang Diberikan Era Anies, Jubir Relawan Perubahan Bereaksi

Pernyataan Anies itu merespons pendapat banyak pengamat yang menyatakan bahwa sekarang ini demokrasi sedang berada pada proses kemunduran di berbagai belahan dunia.

Salah satu alasannya adalah munculnya fenomena baru, yaitu model pembangunan non-demokratis yang menunjukkan hasil yang bagus dan menarik makin banyak penganut.

BACA JUGA: Prabowo Beri Sinyal Siap Menghadapi Anies di Pilpres 2024

Fenomena pembangunan non-demokratis ini dipraktikkan di China dan terbukti sukses besar.

Dalam 10 tahun terakhir China di bawah kepemimpinan Xi Jinping berhasil menunjukkan kemajuan ekonomi yang mengagumkan.

China menjadi kekuatan ekonomi global yang tangguh dan bisa tumbuh secara konsisten setiap tahun.

China menjadi negara penantang dominasi Amerika Serikat sebagai super power global.

Kepemimpinan China dalam konstelasi global makin kuat dengan munculnya program Belt and Road Initiative yang bertujuan menyatukan wilayah-wilayah Asia, Afrika, dan Eropa dalam satu jaringan infrastruktur yang menyatu.

Program ini merupakan reinkarnasi dari proyek Jalan Sutera atau Silk Road abad ke-19.

Jalan sutera menjadi rute perdagangan internasional yang ditempuh oleh saudagar-saudagar China menembus jalan dari Asia, Afrika, sampai ke Eropa.

Program ini dihidupkan kembali oleh Xi Jinping dalam bentuk Belt and Road Initiative secara agresif.

Program ini berhasil membangun jaringan jalan tol dan infrastruktur bandara dan pelabuhan laut yang menembus Afrika dan Eropa.

Pertumbuhan ekonomi China yang mengagumkan di bawah Xi Jinping ini harus dibayar mahal dengan ongkos demokrasi.

Pembangunan ekonomi dijalankan secara liberal, tetapi kendali politik tetap dikekang dengan cara yang sangat represif.

Ketika terjadi benturan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi, Xi Jinping tidak pernah ragu memilih pembangunan ekonomi dan memberangus demokrasi.

Berbagai penangkapan dan pembungkaman dilakukan terhadap aktivis demokrasi di China.

Apa yang terjadi terehadap taipan China Ma Yun—lebih dikenal sebagai Jack Ma—bisa menjadi contoh bagaimana pemerintah China tidak pernah ragu menerapkan kontrol keras terhadap suara yang dianggap membangkang.

Manusia sekelas Jack Ma--yang berhasil membangun prusahaan Ali Baba menjadi perusahaan trans-nasional yang disegani di Eropa dan Amerika—dikerangkeng oleh pemerintah China ketika dianggap mengancam kepentingan negara.

Jack Ma dikabarkan menghilang dalam waktu cukup lama karena diculik agen pemerintah untuk diamankan.

Tidak ada keterangan resmi apapun mengenai kasus ini. Desas-desus yang berkembang menyatakan bahwa Jack Ma membuat Xi Jinping marah karena merasa kekuatan bisninya lebih besar dari negara.

Pembangunan ekonomi harus dibayar dengan kemunduran ekonomi. Itulah yang menjadi perdebatan selama ini.

Di Indonesia, hal itu terjadi selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Ketika itu, Soeharto fokus pada pembangunan ekonomi yang membutuhkan stabilitas politik sebagai prassyarat utama.

Soeharto kemudian memakai tangan besi untuk memberangus kebebasan politik demi pembangunan ekonomi.

Hasilnya, dari sisi ekonomi Indonesia moncer sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia.

Akan tetapi, kemunduran demokrasi menimbulkan kekecewaan yang meluas. Ibarat api dalam sekam yang menunggu terbakar, rezim Soeharto akhirnya tumbang diterjang oleh krisis moneter, yang menghancurkan seluruh hasil pembangunan ekonomi Orde Baru.

Pembangunanisme Orde baru yang didasarkan pada stabilitas politik yang semu, ternyata ambruk seperti kartu domino ketika diterjang oleh tsunami krisis moneter.

Model pembangunanisme ini sekarang diterapkan kembali oleh Presiden Joko Widodo.

Pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang menjadi target utama Jokowi harus dibayar dengan kemunduran kualitas demokrasi.

Indikasi paling jelas adalah turunnya indeks demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Perdebatan antara pembangunanisme vs demokrasi sudah berlangsung sangat lama.

Filsuf dan ekonom Harvard kelahiran India, Amartya Sen, membahas perdebatan itu dalam bukunya ‘’Development as Freedom’’ (1999).

Sen menyatakan bahwa pembangunan harus menghasilkan kebebasan untuk berbicara dan berekspresi.

Pembangunan yang memberangus kebebasan berekspresi melalui demokrasi bertentangan dengan harkat dasar manusia sebagai makhluk bebas.

Sen memberi sejumlah bukti bahwa bencana kelaparan besar di India yang menelan korban dalam jumlah besar terjadi karena tidak adanya pemberitaan pers yang bebas sebagai bagian dari demokrasi.

Ketika pers dibungkam maka kebebasan informasi dan kebebasan ekspresi terhambat.

Ketika itulah informasi awal mengenai kekurangan pangan tidak sampai kepada birokrasi puncak.

Ketika kondisi sudah sangat memburuk barulah pemerintah pusat turun tangan dan hal itu sudah sangat terlambat.

Filosofi Amartya Sen ini dianut oleh Anies Baswedan. Menurutnya, tugas seorang pemimpin adalah memastikan bahwa proses teknokrasi bisa dibuat sinkron dengan proses demokrasi.

Dua hal itu tidak harus menjadi faktor diametral yang tidak bisa dipertemukan. Anies yakin dua-duanya bisa dicapai tanpa harus saling melakukan negasi.

Dari perspektif para penganutnya, proses demokrasi yang kompleks menghambat implementasi kebijakan, dan pada akhirnya mengakibatkan kegagalan untuk memberikan manfaat bagi rakyat.

Sebaliknya, bentuk pemerintahan yang kurang demokratis, dengan kendala politik yang lebih sedikit, dapat memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang lebih cepat dan lebih efektif, sehingga lebih berhasil dalam membawa manfaat bagi rakyat.

Anies menantang anggapan semacam itu. Dia berpendapat bahwa pemerintahan yang demokratis pun bisa mencapai keberhasilan pembangunan.

Dia menjelaskan mengapa ia percaya bahwa demokrasi dapat mewujudkan itu. Manurutnya, berbekal pengalamannya dalam kebijakan publik selama menjabat sebagai gubernur Jakarta, dua hal itu bisa dicapai secara bersamaan.

Selama 5 tahun memimpin Jakarta, Anies menunjukkan bagaimana demokrasi dapat berfungsi secara efektif untuk memberikan kemajuan dan pembangunan bagi rakyat.

Safari di Australia ini menjadi ajang bagi Anies Baswedan untuk memperkenalkan visi dan misinya kepada masyarakat internasional.

Anies sudah tampil di berbagai forum internasional beberapa waktu belakangan ini.

Dia mendapatkan kehormatan chairmanship di Pusat Studi Asia Oxford University.

Anies juga tampil di depan para intelektual dan mahasiswa Singpura, dan sekarang Anies tampil menjelaskan visi misinya di Australia.

Rangkaian kunjungan Anies di Australia ini sekaligus menjadi semacam ajang fit and proper test bagi seorang calon presiden yang bakal diterima oleh komunitas internasional, khususnya poros Australia-Inggris-Amerika. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Anies   Anies Baswedan   Pilpres   Jokowi   Australia   China   Jack Ma  

Terpopuler