jpnn.com - Setelah ‘’Ikatan Cinta’’ sekarang muncul ‘’Layangan Putus’’.
Dua-duanya merupakan kisah drama rumah tangga yang menjadi serial sinetron yang bikin heboh. Setelah Ikatan Cinta mulai meredup, sekarang giliran Layangan Putus yang viral di mana-mana.
BACA JUGA: Dibintangi Reza Rahadian dan Putri Marino, Layangan Putus Tayang di WeTV
Ceritanya mengenai rumah tangga suami-istri yang semula bahagia tiba-tiba bergolak karena orang ketiga. Sang suami tergoda oleh perempuan lain, dan meninggalkan sang istri yang limbung seperti layangan putus.
Cerita perselingkuhan yang sebenarnya standar menjadi viral karena ‘’based on true story’’ didasarkan pada kisah nyata.
BACA JUGA: Hasto Menggambarkan tentang Pengganti Anies Baswedan, Sebut Nama Ahok, Keputusannya
Konon cerita ini semula ditulis di akun media sosial, kemudian mendapat respons luas sehingga viral, lalu diangkat menjadi skenario sinetron.
Layangan putus secara harfiah berarti layang-layang yang putus benang, lalu terombang-ambing ditiup angin.
BACA JUGA: Mesranya Ganjar Pranowo dan Siti Atikoh di Bawah Air Terjun
Orang yang putus cinta bisa menjadi layangan putus. Mereka yang kena pemutusan kerja bisa menjadi layangan putus. Bahkan, para politisi pun bisa menjadi korban layangan putus.
Fenomena layangan putus bisa menjadi fenomena politik pada 2022 ini.
Sebanyak 101 kepala daerah akan habis masa jabatannya secara serentak tahun ini. Seharusnya ada perhelatan pemilihan kepala daerah serentak untuk mengisi jabatan yang lowong.
Namun, pemerintah sudah memutuskan menunda pilkada sampai 2024, sehingga menimbulkan fenomena layangan putus, karena banyak kepala daerah yang nasibnya tidak jelas.
Di antara para kepala daerah itu terdapat tujuh gubernur, termasuk di dalamnya Anies Baswedan dari DKI, Ganjar Pranowo dari Jawa Tengah, dan Wahidin Halim dari Banten.
Anies dan Ganjar disebut-sebut sebagai calon presiden potensial pada 2024. Dengan pensiun pada 2022 banyak yang memperkirakan Anies dan Ganjar bakal kehilangan panggung.
Ada yang menyebut Anies dan Ganjar bakal meredup karena kehabisan baterai setelah pensiun. Namun, karena popularitas yang sangat konsisten dalam berbagai survei, Anies dan Ganjar bisa saja mendapatkan panggung baru dan baterai yang lebih besar untuk tetap berkiprah dan bersinar.
Kalau diibaratkan sebagai layangan putus maka Anies dan Ganjar adalah layangan indah nan memukau.
Akan banyak orang yang mengejar dan berebut mendapatkan layangan putus itu. Akan banyak orang yang menyelematkan layangan itu untuk diterbangkan lebih tinggi.
Menganggur dua tahun setelah menjadi pejabat publik tertinggi di satu daerah pasti membawa implikasi sosial, politik, ekonomi, dan psikologi yang rumit. Di antara sekian banyak kepala daerah itu banyak yang masih menjabat satu periode, sehingga masih punya kesempatan satu periode lagi untuk menjabat.
Para kepala daerah sebagai petahana tentu punya peluang sangat besar untuk memenangi kontestasi periode kedua. Mereka punya panggung besar dan modal politik yang sangat besar untuk memenangkan kontestasi.
Namun, masa tunggu dua tahun di luar panggung bisa membuat para mantan kepala daerah itu mati gaya dan mati angin. Mereka bisa menjadi layangan putus yang ‘’kabut kanginan’’ terbang hilang terbawa angin.
Ada juga para kepala daerah yang putus jabatan di tengah jalan. Mereka yang memenangi kontenstasi pilkada serentak pada 2019 dipaksa turun di tengah jalan pada 2024, berarti masa jabatan mereka tidak penuh lima tahun dan hanya menikmatinya selama tiga tahun.
Tentu ada problem penuntasan program pembangunan daerah yang harus diselesaikan. Program yang seharusnya disusun untuk masa lima tahun itu akan terputus dan mangkrak di tengah jalan.
Kalau si petahana beruntung dan bisa menang, program akan berlanjut, tetapi kalau kalah dia akan menjadi layangan putus dan program pun mangkrak.
Layangan putus akan menjadi fenomena nasional. Banyak yang limbung dan terombang-ambing selama masa tunggu dua tahun. Dalam kondisi limbung karena fenomena layangan putus ini yang paling diuntungkan adalah pemerintah, karena mereka punya kewenangan penuh untuk menempatkan orang-orang sebagai kepala daerah sementara.
Dua tahun menduduki jabatan politik puncak di sebuah daerah adalah impian tertinggi bagi para politisi dan birokrat mana pun. Apalagi posisi puncak itu didapat secara gratis, tanpa ongkos politik yang terkenal sangat mahal.
Tentu saja para kepala daerah kiriman pusat itu akan loyal sepenuhnya kepada sang tuan. Hal itu akan melempengkan jalan untuk memobilisasi suara rakyat pada perhelatan politik 2024 yang sangat krusial.
Tidak ada makan siang yang gratis. Para kepala daerah hasil PL alias penunjukan langsung itu pasti harus membayar makan siang itu. Mereka adalah orang-orang pilihan yang sudah diseleksi dengan rapi dan dipastikan loyalitasnya.
Ketika sampai saatnya rekening tagihan politik dikirim maka para kepala daerah PL itu akan cepat-cepat melunasinya secara GPL, gak pakai lama.
Partai penguasa, the ruling party, juga diuntungkan oleh fenomena ini. Vacum of power, kondisi kekosongan kekuasaan, akan diisi oleh pelaksana tugas yang loyal kepada partai.
Mereka akan menjadi petugas partai yang tegak lurus terhadap kehendak partai.
Mobilisasi dan politisasi aparatur sipil negara di daerah pada perhelatan 2024 akan menjadi persoalan serius. Dalam berbagai kasus pilkada, politisasi dan mobilisasi ASN sulit dihindarkan. Para kepala daerah memegang kontrol sepenuhnya atas nasib ASN.
Mekanisme carrot and stick, wortel dan tongkat, akan dimainkan. Siapa yang loyal akan diberi wortel, dan siapa yang menentang akan digebuk dengan tongkat.
Beda dengan kepala daerah hasil pilihan langsung yang mendapatkan mandat langsung dari rakyat, para kepala daerah hasil tunjuk langsung itu tidak mempunyai legitimasi politik dari rakyat, baik langsung maupun melalui perwakilan di DPRD.
Hal ini mencederai semangat demokratisasi hasil reformasi 1998 yang berhasil mengembalikan mandat kekuasan kepada rakyat. Di masa Orde Baru yang otoriter, kepala daerah dari level provinsi sampai kabupaten kota adalah hasil dari mekanisme tunjuk langsung tanpa tender.
Para kepala daerah itu merupakan tokoh drop-dropan yang harus direstui pemerintah pusat. Meskipun tokoh itu berasal dari daerah, tetapi dalam praktiknya ia tetap dianggap drop-dropan, karena harus direstui oleh pusat.
Memang ada mekanisme pemilihan oleh DPRD, tetapi hanya bersifat proforma saja. Komposisi keanggotaan dewan yang didominasi oleh partai penguasa akan menjamin calon drop-dropan itu untuk menang.
Ketika kekuasaan Orde Baru berakhir karena gerakan reformasi, maka mandat demokrasi dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pemilihan langsung. Banyak kelemahan dan keluhan terhadap pelaksanaan pemilihan langsung.
Selain menimbulkan politik biaya tinggi, high cost politics, pemilihan langsung berpotensi memunculkan berbagai praktik ireguler dan ilegal, seperti money politics dan vote buying, politik uang dan jual beli suara.
Pemilihan langsung juga sering menguntungkan calon yang berduit, dan mengorbankan calon yang berkualitas, tetapi cekak modal. Pemilihan langsung juga memunculkan bandar-bandar politik yang berani berjudi mengeluarkan biaya besar dengan imbalan proyek.
Politik biaya tinggi dan munculnya para bandar politik ini menjadi salah satu sumber korupsi paling besar di daerah. Jual beli jabatan dan penarikan upeti menjadi praktik umum yang dilakukan oleh kepala daerah, untuk mengembalikan modal dan kejar setoran membayar utang kepada para bandar.
Demokrasi memang mahal dan tidak sempurna. Namun, itu tidak menjadi alasan untuk kembali kepada sistem totaliter ala Orde Baru, dengan mencabut daulat rakyat untuk menentukan pemimpinnya sendiri.
Kalau rakyat tidak bisa memilih pemimpinnya secara langsung pada 2022, setidaknya para wakil rakyat di parlemen diberi hak untuk mewakili rakyat dalam memilih dan menentukan pemimpinnya.
Fenomena layangan putus akan menjadi ujian dan tantangan serius bagi demokrasi. Komitmen Jokowi terhadap demokrasi akan diuji pada momen ini. Hal yang juga harus diingat adalah bahwa Jokowi sendiri akan menjadi layangan putus pada 2024.
Nasib Jokowi akan ditentukan sekarang, apakah dia akan menjadi layangan putus yang indah, atau menjadi layangan putus yang robek-robek tersangkut pohon dan tiang listrik. (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror