jpnn.com - Lama tenggelam tidak terdengar kiprahnya, Erdian Aji Prihartanto alias Anji muncul lagi menjadi perbincangan publik, karena ditangkap polisi terkait kasus narkoba.
Penangkapan Anji menambah deret panjang selebritas yang terperangkap narkoba.
BACA JUGA: Polisi Periksa Urine Anji Eks Drive, Apa Hasilnya?
Tekanan persaingan di dunia entertainment yang sangat keras membuat banyak selebritas yang terpental dan kemudian mencari pelarian ke obat bius.
Di Indonesia ada beberapa selebritas yang mengalami kecanduan obat bius sampai meninggal.
BACA JUGA: LIhat Itu Anji Eks Drive di Kantor Polisi, Simak Kata-kata dari Mulutnya
Di dunia entertainment internasional tidak terhitung selebritas yang kecanduan obat bius dan mati, atau sengaja bunuh diri.
Anji, membuat ribut jagat media ketika muncul di kanal YouTube bersama "Profesor" Hadi Pranoto, seorang praktisi pengobatan herbal yang mengeklaim telah menemukan ramuan herbal yang bisa menyembuhkan Covid-19.
BACA JUGA: 5 Kontroversi Anji Sebelum Tersandung Narkoba, Nomor 1 Mengejutkan
Klaim ini menjadi heboh karena Hadi Pranoto membual obat ramuannya sudah diekspor ke mancanegara dan dikonsumsi oleh tokoh-tokoh dunia, termasuk Pangeran Charles dan Ratu Elizabeth.
Gelar profesor yang menempel di belakang nama Hadi Pranoto membuatnya terkesan lebih mentereng.
Belakangan terungkap bahwa gelar itu palsu, dan konten yang diunggah Anji tidak terbukti kebenarannya.
Anji dan Hadi Pranoto dilaporkan ke polisi karena dianggap menyebar kabar bohong.
Kasusnya tidak berlanjut, tetapi sejak itu nama Anji di jagat media dan entertainment menghilang.
Kasus Anji dan Hadi Pranoto menjadi bukti bahwa media sosial telah membunuh para ahli.
Kepakaran telah mati, seperti yang diklaim Tom Nichols dalam "The Death of Expertise" (2017).
Revolusi digital memakan banyak korban dan melahirkan pahlawan-pahlawan instan.
Revolusi digital, internet, dan medsos telah memenuhi hasrat heroik manusia dan memuaskan dahaga orang akan narsisme.
Siapa pun bisa bicara apa saja, kapan saja, di mana saja. Orang boleh dan bisa bicara apa saja, mulai dari resep ayam geprek sampai cara praktis tinggal di Planet Mars, atau soal filsafat ketuhanan yang paling rumit.
Tidak perlu William Wongso untuk berbicara soal resep ayam geprek. Tidak perlu menunggu Elon Musk untuk menjelaskan kemungkinan kehidupan di Planet Mars.
Tak perlu mendengar Imam Alghazali atau Slavoj Zizek untuk menjelaskan eksistensi Tuhan. Siapa saja boleh berbicara apa saja. Soal benar atau tidak, itu lain soal.
Google sebagai mesin pencari telah menggantikan peran para pakar.
Para influencer dengan pengikut puluhan juta orang menjadikan para pakar terpaku dalam peti mati.
Deretan selebritas, dengan pengikut jutaan orang di dunia maya, telah menjadi orang-orang yang sangat berpengaruh yang twitannya lebih didengar ketimbang para pakar-pakar universitas terkemuka.
Kematian pakar menjadi gejala yang umum. Ketika pandemi sekarang tidak menunjukkan tanda berhenti dan malah menunjukkan tren yang menakutkan berbagai gejala matinya kepakaran muncul ke permukaan.
Di Madura orang-orang tidak percaya bahwa Covid-19 benar-benar ada. Sekarang, ketika terjadi ledakan korban barulah orang-orang kelabakan.
Sebelum Anji dan Hadi Pranoto mengumumkan punya jamu ajaib, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengumumkan penemuan kalung ajaib yang bisa mengusir virus Corona. Alih-alih mengurusi pertanian yang menjadi keahlian dan tupoksinya, Departemen Pertanian malah sibuk mengurusi kalung ajaib.
Temuan ini bikin heboh karena memang dipublikasikan besar-besaran di media konvensional dan media sosial. Penyanyi dangdut Iis Dahlia, yang punya pengikut 12 juta orang di dunia maya, direkrut untuk memromosikan kalung itu.
Di awal munculnya pandemi, menteri kesehatan saat itu Terawan Agus Putranto malah berada garis paling depan sebagai penyangkal. Ia juga memperkenalkan ramuan jamu yang diklaim bisa menyembuhkan Covid-19.
Sekarang, Terawan yang sudah direshuffle memperkenalkan Vaksin Nusantara dan tidak dipercaya oleh pemerintah. Terawan menjadi korban matinya kepakaran.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan virus Corona tidak mempan bagi orang Indonesia karena sudah biasa makan nasi kucing. Pak Menteri kemudian terjangkiti Covid-19, dan beruntung bisa sembuh.
Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa virus Corona akan mati dalam cuaca panas. Sekarang ini ketika cuaca sedang panas-panasnya penyebaran malah naik.
Mantan Presiden Amerika, Donald Trump yakin hidroklorokuin bisa menangkal Corona dan ia mendapatkan suntikan itu secara berkala.
Trump juga mengatakan suntik detergen bisa menjadi penangkal Corona. WHO membantahnya habis-habisan, tetapi kepakaran WHO pun telah mati.
WHO dituding sebagai bagian dari konspirasi yang mengarang cerita pandemi. Mereka yang menjadi penganjur pemakaian masker disebut sebagai kacung WHO.
Di era post truth seperti sekarang, orang tidak tertarik mendengarkan kebenaran. Orang lebih suka mendengarkan apa yang ingin mereka dengar. Orang tidak mencari informasi, mereka mencari konfirmasi.
Psikologi ini yang dieksploitasi dengan munculnya para influencer yang menjadi terkenal dan kaya raya secara instan.
Semua orang berlomba-lomba menjadi influencer, selebgram, dan youtuber. Para selebritas yang sebelumnya menjadi pemain sinetron, penyanyi, presenter, atau pelawak berlomba-lomba hijrah menjadi artis digital.
Berbagai cara untuk mencati konten supaya viral dilakukan. Tekanan persaingan yang keras membuat sebagian dari mereka mencari pelarian ke obat bius dan narkoba. Anji hanyalah salah satu saja di antara mereka. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi