JAUH sebelum UNESCO mengakui batik sebagai World Cultural Heritage pada 2009, segelintir orang Jerman sudah menaruh perhatian besar terhadap warisan budaya Indonesia itu. Salah satunya Annegret Haake. Berikut catatan wartawan Jawa Pos SEKARING RATRI ADANINGGAR yang baru pulang dari Jerman.
------
Pada 1 Maret nanti Annegret Haake merayakan ulang tahun ke-80. Meski sudah terbilang sepuh, dia masih sangat aktif. Misalnya, dia masih mampu menyetir mobil sendiri di keramaian lalu lintas kotanya, Kronberg, Jerman. Dia pun dengan senang hati bersedia menjemput Jawa Pos yang baru tiba di Stasiun Kronberg Selasa malam lalu (20/2).
Dalam perjalanan menuju flat tempat tinggalnya, tidak segan Annegret tancap gas. Memang, lalu lintas kota kecil itu tak begitu ramai seperti Frankfurt, kota terdekat (sekitar 30 menit dari Kronberg). Dengan demikian, jalanan relatif lengang.
Jawa Pos mengenal Annegret berkat arahan pejabat KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di Frankfurt. Setelah janjian, Annegret bersedia menjemput wartawan koran ini di stasiun kotanya.
Flat Annegret berada di lantai 3. Bisa dibayangkan, setiap hari dia harus menaiki anak tangga tersebut. "Tidak apa-apa, tapi harus pelan-pelan," ujar Annegret dalam bahasa Indonesia yang fasih.
Begitu Jawa Pos memasuki rumah itu, tampaklah berbagai ornamen batik yang menghiasi ruang-ruang dalam flat tersebut. Tidak hanya memajang di dinding, Annegret juga menyimpan ratusan koleksi batik Indonesia berbagai corak di sebuah etalase kaca yang diletakkan di balik pintu masuk. Tampak pula peralatan membatik seperti canting, anglo, dan wajan untuk menggodok lilin. Ada juga seperangkat batik cap (stamp).
Di kantornya, berbagai ornamen dan buku-buku tentang batik mewarnai ruangan. Bahkan, di kamar tidurnya, mulai gorden jendela, seprai, hingga sarung bantal-guling, semua berbahan kain batik. Di dinding dipajang aneka wayang kulit.
Sementara itu, ruang dapurnya yang mungil dihiasi telur-telur Paskah yang dilukis cantik dengan motif batik. "Saya memang sangat cinta batik, wayang kulit, dan nasi goreng," ujarnya sambil tersenyum.
Karena kecintaannya pada budaya Indonesia itu, Annegret sampai fasih berbahasa Indonesia meski terkadang harus dicampur bahasa Inggris. "Bisa, tapi harus pelan-pelan," lanjutnya.
Annegret bukan kategori kolektor batik seperti pada umumnya. Dia tidak sekadar menyimpan batik sebagai koleksi, tapi juga getol mempromosikan batik di negaranya. Dia sudah berkeliling Jerman untuk memamerkan koleksi "langka"-nya itu. "Di Kronberg saya sudah pameran beberapa kali," ungkap Annegret.
Pengetahuan serta pemahaman Annegret tentang batik tidak perlu diragukan lagi. Dia sering menjadi pembicara di berbagai seminar batik, baik di negaranya maupun di Indonesia. Salah satunya, menjadi pembicara dalam World Batik Summit di Jakarta pada akhir September 2011. Bisa dibilang, pemahamannya tentang batik melebihi pemahaman orang Indonesia pada umumnya. Tak heran bila Annegret mendapat gelar sebagai pakar batik.
Perempuan asal Hamburg itu bisa menjabarkan dengan detail pengelompokan pola batik serta daerah asalnya. Dia hafal satu per satu koleksi batiknya. Dia juga mampu menjabarkan sejarah di balik keunikan setiap pola batik.
"Ini salah satu batik favorit saya. Desainnya geometris, banji. Saya juga suka pola batik kuno di Jawa seperti parang, di mana ada 13 pola berbeda dari bentuk-bentuk simetrisnya. Menurut saya, ini brilian sekali," urai perempuan murah senyum itu sembari menunjukkan beberapa koleksinya.
Annegret jatuh cinta setengah mati pada batik karena pola simetrisnya yang rumit namun indah. Menurut dia, batik adalah sebuah mahakarya yang harus dilestarikan.
Puluhan tahun bergelut dengan batik membuat Annegret mampu membedakan batik tulis dan batik cap. Dia mengaku prihatin dengan banyaknya batik printed yang murah dari Tiongkok dan Malaysia yang membanjiri pasar batik Indonesia.
"Sekarang makin sulit membedakan batik tulis dengan batik cap. Orang-orang di industri batik ini semakin pintar membikin batik cap yang hampir sama dengan batik tulis. Mulai detail desain sampai kualitas cetakannya," papar Annegret.
Dia memang cenderung mencintai batik tulis daripada batik cap. Karena itu, sekalipun harganya selangit, dia tetap memilih batik tulis. Meski begitu, dia pernah tertipu. Sekitar 15 tahun lalu dia membeli batik Sidomukti di Solo. Dia membeli batik tulis, tapi belakangan diketahui bahwa batik itu ternyata produk cap.
"Saya membelinya 15 tahun silam dan baru beberapa bulan lalu saya tahu itu batik cap. Saya merasa tertipu," sesalnya.
Annegret dibesarkan di Bremen. Tidak lama kemudian, dia pindah ke Hamburg pada 1945. Pada usia 15 tahun dia mulai menyukai teknik mewarnai kain ala Eropa.
Awalnya Annegret bersekolah seperti remaja putri pada umumnya meski saat itu perang dunia kedua tengah terjadi. Namun, dia kemudian harus meninggalkan sekolah untuk mengurus lahan pertanian milik keluarganya. Pada 1955 dia bersama dua saudaranya pindah ke tempat lain yang tidak jauh dari Hamburg. Tiga bersaudara itu harus bahu-membahu untuk mengurus lahan pertanian warisan orang tua mereka.
Ketika memasuki usia 28 tahun, Annegret menyampaikan keinginannya untuk bersekolah lagi. Dia memilih jurusan teknik kimia dan farmasi di sebuah sekolah tinggi kejuruan bernama Technicom. Dia lulus dua tahun kemudian. Dia langsung ditawari mengajar di almamaternya. "Karena saya paling tua di angkatan saya," ujarnya, lantas terbahak.
Pada 1966 Annegret memutuskan keluar dari sekolah itu. Dia lantas bekerja di Frankfurt University sebagai ahli teknik kristalografi yang merupakan sains eksperimental untuk menentukan susunan atom dan zat padat. Saat menekuni dunia kristalografi, Annegret mulai jatuh cinta dengan beragam pola. Pada 1968 dia mulai mengoleksi bermacam-macam pola kain. "Everywhere I go, I look for pattern," katanya.
Pertemuan Annegret dengan batik terjadi pada 1970. Kala itu dia berlibur bersama teman-temannya ke Indonesia. Perjalanan tersebut bertepatan dengan penerbangan perdana Garuda dari Frankfurt ke Jakarta. Dia mengunjungi sejumlah kota di Indonesia. Mulai Jakarta, Bogor, Makassar, Surabaya, Bali, hingga Jogja.
"Sebelum berkunjung ke Indonesia, yang sudah tahu batik, wayang kulit, dan nasi goreng," ujarnya.
Karena itu, begitu tiba di Jogja, Annegret bersama tiga temannya segera mencari pabrik batik. Dengan menumpang taksi, dia meminta sopir untuk mengantarkan mereka ke salah satu pabrik batik terkenal di kota itu. Yakni, batik Winotosastro di Jalan Tirtodipuran. Annegret sempat membeli sebuah kain batik berwarna petrol blue dengan motif terang bulan. "Tapi, ternyata itu bukan batik tulis," ujarnya.
Sehari kemudian, Annegret memesan T-shirt batik di tempat yang sama. T-shirt tersebut diantarkan Hani Winotosastro, putri Winotosastro. Perkenalan dengan Hani itulah yang berlanjut dalam berbagai event pameran batik yang diadakan Annegret. "Saat itu Hani tahu ketertarikan saya terhadap batik sangat besar," ungkapnya.
Setahun kemudian Annegret mengunjungi Indonesia lagi untuk tujuan mencari batik. Begitu pula setahun berikutnya. Pada kunjungan ketiganya, dia tinggal di rumah rekannya, Lucky Zulkarnaen, warga Indonesia yang tinggal di Jerman. "Saya tinggal di Tanah Abang, Jakarta," kata dia.
Pada kesempatan itu, Annegret kembali mengunjungi Jogja. Dia tinggal di Airlangga Hotel yang tak jauh dari pabrik batik Winotosastro. Karena itu, hampir setiap hari Annegret bisa mengunjungi Galeri Winotosastro.
"Karena melihat ketertarikan saya begitu besar terhadap batik, Ibu Winotosastro sampai membuka lemarinya, membiarkan saya melihat-lihat batik miliknya. Malamnya saya diundang Hani dan saudarinya untuk makan malam bersama," urainya.
Sejak itu mulailah Annegret getol mengoleksi batik-batik klasik. Pada 1976, setelah koleksinya terkumpul banyak, Annegret memberanikan diri untuk menggelar pameran batik di Frankfurt Sparkasse Von 1822.
Dia bekerja sama dengan Hani dan Dati Winotosastro. Pameran batik tersebut mendapat perhatian luas. Dubes Indonesia untuk Jerman kala itu, Ahmad Tirtosudiro, bahkan meminjam koleksi batik dari sebuah museum di Frankfurt untuk meramaikan pameran tersebut.
Sukses pameran itu membuat Annegret makin semangat mempromosikan batik di berbagai kesempatan dan negara.
Tidak jarang, Annegret memberikan workshop pembuatan batik kepada para pengunjung pameran. Bahkan, mengajarkan egg painting dengan motif batik di Indonesia. "Para pengunjung sangat suka dengan workshop-workshop itu," ujarnya.
Yang istimewa, pameran-pameran batik tersebut digelar nonkomersial. Annegret tidak pernah menjual koleksinya.
"Saya kolektor yang sangat mencintai batik. Bukan pedagang batik," ujar Annegret yang sudah menelurkan buku Javanische Batik: Methode, Symbolik, Geschichte itu. (*/c10/ari/bersambung)
------
Pada 1 Maret nanti Annegret Haake merayakan ulang tahun ke-80. Meski sudah terbilang sepuh, dia masih sangat aktif. Misalnya, dia masih mampu menyetir mobil sendiri di keramaian lalu lintas kotanya, Kronberg, Jerman. Dia pun dengan senang hati bersedia menjemput Jawa Pos yang baru tiba di Stasiun Kronberg Selasa malam lalu (20/2).
Dalam perjalanan menuju flat tempat tinggalnya, tidak segan Annegret tancap gas. Memang, lalu lintas kota kecil itu tak begitu ramai seperti Frankfurt, kota terdekat (sekitar 30 menit dari Kronberg). Dengan demikian, jalanan relatif lengang.
Jawa Pos mengenal Annegret berkat arahan pejabat KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di Frankfurt. Setelah janjian, Annegret bersedia menjemput wartawan koran ini di stasiun kotanya.
Flat Annegret berada di lantai 3. Bisa dibayangkan, setiap hari dia harus menaiki anak tangga tersebut. "Tidak apa-apa, tapi harus pelan-pelan," ujar Annegret dalam bahasa Indonesia yang fasih.
Begitu Jawa Pos memasuki rumah itu, tampaklah berbagai ornamen batik yang menghiasi ruang-ruang dalam flat tersebut. Tidak hanya memajang di dinding, Annegret juga menyimpan ratusan koleksi batik Indonesia berbagai corak di sebuah etalase kaca yang diletakkan di balik pintu masuk. Tampak pula peralatan membatik seperti canting, anglo, dan wajan untuk menggodok lilin. Ada juga seperangkat batik cap (stamp).
Di kantornya, berbagai ornamen dan buku-buku tentang batik mewarnai ruangan. Bahkan, di kamar tidurnya, mulai gorden jendela, seprai, hingga sarung bantal-guling, semua berbahan kain batik. Di dinding dipajang aneka wayang kulit.
Sementara itu, ruang dapurnya yang mungil dihiasi telur-telur Paskah yang dilukis cantik dengan motif batik. "Saya memang sangat cinta batik, wayang kulit, dan nasi goreng," ujarnya sambil tersenyum.
Karena kecintaannya pada budaya Indonesia itu, Annegret sampai fasih berbahasa Indonesia meski terkadang harus dicampur bahasa Inggris. "Bisa, tapi harus pelan-pelan," lanjutnya.
Annegret bukan kategori kolektor batik seperti pada umumnya. Dia tidak sekadar menyimpan batik sebagai koleksi, tapi juga getol mempromosikan batik di negaranya. Dia sudah berkeliling Jerman untuk memamerkan koleksi "langka"-nya itu. "Di Kronberg saya sudah pameran beberapa kali," ungkap Annegret.
Pengetahuan serta pemahaman Annegret tentang batik tidak perlu diragukan lagi. Dia sering menjadi pembicara di berbagai seminar batik, baik di negaranya maupun di Indonesia. Salah satunya, menjadi pembicara dalam World Batik Summit di Jakarta pada akhir September 2011. Bisa dibilang, pemahamannya tentang batik melebihi pemahaman orang Indonesia pada umumnya. Tak heran bila Annegret mendapat gelar sebagai pakar batik.
Perempuan asal Hamburg itu bisa menjabarkan dengan detail pengelompokan pola batik serta daerah asalnya. Dia hafal satu per satu koleksi batiknya. Dia juga mampu menjabarkan sejarah di balik keunikan setiap pola batik.
"Ini salah satu batik favorit saya. Desainnya geometris, banji. Saya juga suka pola batik kuno di Jawa seperti parang, di mana ada 13 pola berbeda dari bentuk-bentuk simetrisnya. Menurut saya, ini brilian sekali," urai perempuan murah senyum itu sembari menunjukkan beberapa koleksinya.
Annegret jatuh cinta setengah mati pada batik karena pola simetrisnya yang rumit namun indah. Menurut dia, batik adalah sebuah mahakarya yang harus dilestarikan.
Puluhan tahun bergelut dengan batik membuat Annegret mampu membedakan batik tulis dan batik cap. Dia mengaku prihatin dengan banyaknya batik printed yang murah dari Tiongkok dan Malaysia yang membanjiri pasar batik Indonesia.
"Sekarang makin sulit membedakan batik tulis dengan batik cap. Orang-orang di industri batik ini semakin pintar membikin batik cap yang hampir sama dengan batik tulis. Mulai detail desain sampai kualitas cetakannya," papar Annegret.
Dia memang cenderung mencintai batik tulis daripada batik cap. Karena itu, sekalipun harganya selangit, dia tetap memilih batik tulis. Meski begitu, dia pernah tertipu. Sekitar 15 tahun lalu dia membeli batik Sidomukti di Solo. Dia membeli batik tulis, tapi belakangan diketahui bahwa batik itu ternyata produk cap.
"Saya membelinya 15 tahun silam dan baru beberapa bulan lalu saya tahu itu batik cap. Saya merasa tertipu," sesalnya.
Annegret dibesarkan di Bremen. Tidak lama kemudian, dia pindah ke Hamburg pada 1945. Pada usia 15 tahun dia mulai menyukai teknik mewarnai kain ala Eropa.
Awalnya Annegret bersekolah seperti remaja putri pada umumnya meski saat itu perang dunia kedua tengah terjadi. Namun, dia kemudian harus meninggalkan sekolah untuk mengurus lahan pertanian milik keluarganya. Pada 1955 dia bersama dua saudaranya pindah ke tempat lain yang tidak jauh dari Hamburg. Tiga bersaudara itu harus bahu-membahu untuk mengurus lahan pertanian warisan orang tua mereka.
Ketika memasuki usia 28 tahun, Annegret menyampaikan keinginannya untuk bersekolah lagi. Dia memilih jurusan teknik kimia dan farmasi di sebuah sekolah tinggi kejuruan bernama Technicom. Dia lulus dua tahun kemudian. Dia langsung ditawari mengajar di almamaternya. "Karena saya paling tua di angkatan saya," ujarnya, lantas terbahak.
Pada 1966 Annegret memutuskan keluar dari sekolah itu. Dia lantas bekerja di Frankfurt University sebagai ahli teknik kristalografi yang merupakan sains eksperimental untuk menentukan susunan atom dan zat padat. Saat menekuni dunia kristalografi, Annegret mulai jatuh cinta dengan beragam pola. Pada 1968 dia mulai mengoleksi bermacam-macam pola kain. "Everywhere I go, I look for pattern," katanya.
Pertemuan Annegret dengan batik terjadi pada 1970. Kala itu dia berlibur bersama teman-temannya ke Indonesia. Perjalanan tersebut bertepatan dengan penerbangan perdana Garuda dari Frankfurt ke Jakarta. Dia mengunjungi sejumlah kota di Indonesia. Mulai Jakarta, Bogor, Makassar, Surabaya, Bali, hingga Jogja.
"Sebelum berkunjung ke Indonesia, yang sudah tahu batik, wayang kulit, dan nasi goreng," ujarnya.
Karena itu, begitu tiba di Jogja, Annegret bersama tiga temannya segera mencari pabrik batik. Dengan menumpang taksi, dia meminta sopir untuk mengantarkan mereka ke salah satu pabrik batik terkenal di kota itu. Yakni, batik Winotosastro di Jalan Tirtodipuran. Annegret sempat membeli sebuah kain batik berwarna petrol blue dengan motif terang bulan. "Tapi, ternyata itu bukan batik tulis," ujarnya.
Sehari kemudian, Annegret memesan T-shirt batik di tempat yang sama. T-shirt tersebut diantarkan Hani Winotosastro, putri Winotosastro. Perkenalan dengan Hani itulah yang berlanjut dalam berbagai event pameran batik yang diadakan Annegret. "Saat itu Hani tahu ketertarikan saya terhadap batik sangat besar," ungkapnya.
Setahun kemudian Annegret mengunjungi Indonesia lagi untuk tujuan mencari batik. Begitu pula setahun berikutnya. Pada kunjungan ketiganya, dia tinggal di rumah rekannya, Lucky Zulkarnaen, warga Indonesia yang tinggal di Jerman. "Saya tinggal di Tanah Abang, Jakarta," kata dia.
Pada kesempatan itu, Annegret kembali mengunjungi Jogja. Dia tinggal di Airlangga Hotel yang tak jauh dari pabrik batik Winotosastro. Karena itu, hampir setiap hari Annegret bisa mengunjungi Galeri Winotosastro.
"Karena melihat ketertarikan saya begitu besar terhadap batik, Ibu Winotosastro sampai membuka lemarinya, membiarkan saya melihat-lihat batik miliknya. Malamnya saya diundang Hani dan saudarinya untuk makan malam bersama," urainya.
Sejak itu mulailah Annegret getol mengoleksi batik-batik klasik. Pada 1976, setelah koleksinya terkumpul banyak, Annegret memberanikan diri untuk menggelar pameran batik di Frankfurt Sparkasse Von 1822.
Dia bekerja sama dengan Hani dan Dati Winotosastro. Pameran batik tersebut mendapat perhatian luas. Dubes Indonesia untuk Jerman kala itu, Ahmad Tirtosudiro, bahkan meminjam koleksi batik dari sebuah museum di Frankfurt untuk meramaikan pameran tersebut.
Sukses pameran itu membuat Annegret makin semangat mempromosikan batik di berbagai kesempatan dan negara.
Tidak jarang, Annegret memberikan workshop pembuatan batik kepada para pengunjung pameran. Bahkan, mengajarkan egg painting dengan motif batik di Indonesia. "Para pengunjung sangat suka dengan workshop-workshop itu," ujarnya.
Yang istimewa, pameran-pameran batik tersebut digelar nonkomersial. Annegret tidak pernah menjual koleksinya.
"Saya kolektor yang sangat mencintai batik. Bukan pedagang batik," ujar Annegret yang sudah menelurkan buku Javanische Batik: Methode, Symbolik, Geschichte itu. (*/c10/ari/bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenalkan Islam Moderat dengan Tampilan Gaul
Redaktur : Tim Redaksi