-----------------
Tinggal di negeri orang, membuat Suratno harus pandai menyesuaikan diri. Dari cara berpakaian, pria berkaca mata itu cukup up to date. Hampir semua yang dipakai ’’bermerek’’.
Jaket yang dia kenakan merupakan produk khas Jerman, Jack Wolfskin. Backpack yang dia kenakan pun produknya belum dipasarkan di Indonesia. Suratno nyaman memakai backpack warna hitam The North Face, produk Inggris. Di balik jaketnya, dia mengenakan kaus polo shirt lengan pendek.
Suratno juga gampang membaur dengan masyarakat Frankfurt, kota tempat tinggalnya selama merantau. Pria 36 tahun itu sudah terbiasa dengan suhu udara Frankfurt yang terkadang mencapai minus.
’’Sudah terbiasa mungkin ya,’’ ujar Suratno ketika ditemui Jawa Pos di Johann Wolfgang Goethe-Universitat, Frankfurt, Senin (18/2).
Suratno memang tidak terlihat seperti seorang alim ulama pada umumnya. Tapi, tidak sedikit orang Indonesia di Frankfurt yang memanggilnya ustad. Itu karena dia aktif menggelar pengajian, khususnya di kalangan warga Indonesia di Jerman. Ilmu agamanya cukup bisa menyiram rohani umat muslim yang jauh dari tanah air.
Selain itu, Suratno juga dikenal sebagai tokoh NU di Jerman. Bahkan, dialah perintis berdirinya ormas keagamaan itu di Frankfurt, salah satu kota terbesar di Jerman.
Berdasar kajiannya, saat ini di Jerman terdapat sekitar enam persen umat Islam. Sebagian besar warga keturunan Turki. Ajarannya cenderung konservatif.
’’Setidaknya ada 2.000 ustad dari Turki di sini dan kebanyakan cukup konservatif. Makanya pemerintah Jerman merespons kondisi ini dengan mencari pakar kajian Islam yang paham kondisi sosial, budaya, dan ekonomi di Jerman,’’ jelasnya.
Karena itu, tidak lama setelah menginjakkan kaki di Jerman, Suratno tergerak untuk melakukan sosialisasi tentang Islam ala Indonesia, khususnya NU yang cenderung moderat.
Suratno tiba di Frankfurt pada 2009 untuk meneruskan studi S-3 Jurusan Political, Anthropology and Religion di Johann Wolfgang Goethe-Universitat. Suratno mengamati minimnya pengetahuan warga Jerman tentang Islam Indonesia. Mereka lebih familiar dengan Islam Turki yang konservatif.
Suratno mencontohkan, adanya gerakan Islam radikal bernama Millatu Ibrahim di Jerman. Organisasi salafi tersebut telah dilarang oleh pemerintah setempat sejak 2012. Organisasi tersebut diduga berkaitan dengan organisasi serupa di Uzbekistan. Mereka ditengarai berupaya mendirikan negara Islam di Jerman.
’’Karena itu, saya ingin masyarakat Jerman tahu bahwa ada Islam Indonesia yang lebih moderat. Islam yang berbasis intellectualism dan keterbukaan,’’ tutur dia.
Pada 2010, Suratno bersama beberapa kolega mendirikan NU Cabang Jerman. Ada beberapa alasan yang mendasari pendirian NU di Jerman. Salah satunya, NU di Eropa baru ada di Inggris. ’’Selain itu, ya karena alasan ke-NU-an dan forum silaturahmi mahasiswa NU di Jerman yang jumlahnya cukup banyak, sekitar 100 orang,’’ urainya sambil tersenyum.
Di samping itu, NU memiliki banyak hubungan kerja sama dengan Jerman. Di antaranya di bidang pertanian dan teknologi. Tahun lalu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menghadiri International Meeting For Peace in Munchen, Jerman.
’’Otomatis kalau ada NU Cabang Jerman, kita jadi bisa lebih ’menguasai’ di sini. Istilahnya NU Jerman yang menjembatani untuk memperlancar hubungan kerja sama itu,’’ ujar dosen Universitas Paramadina Jakarta itu.
Begitu NU berdiri, Suratno dkk langsung bergerak cepat. Pada 16-17 April 2010, sejumlah mahasiswa Nahdliyin menggelar pertemuan untuk mendeklarasikan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Jerman di Berlin. Dalam pertemuan tersebut Suratno ditetapkan sebagai ketua Tanfidziyah, sedangkan Ketua Rois Syuriah Syafiq Hasyim. Mereka lantas membuat website khusus NU Jerman dengan alamat nujerman.de.
Alumnus Filsafat Universitas. Gadjah Mada (UGM) itu menuturkan, website NU Jerman terhubung dengan 18 cabang NU di seluruh dunia. Lewat website tersebut mereka juga mengadakan pengkajian online dengan video streaming.
’’Karena ini di Jerman, jadi bukan pengajian. Kami memilih kata pengkajian sehingga temanya nggak melulu tentang Islam, tapi juga tentang Indonesia. Kami lebih ke arah sharing karena mencerminkan keterbukaan kepada siapa pun netizen di dunia,’’ urai suami Hani Tresnandrarti itu.
Suratno menyebut kegiatan pengkajian online adalah kegiatan inclusive all in one, di mana kegiatan tersebut terbuka bagi semua orang tanpa memandang latar belakang, suku, ras, agama maupun golongan.
Pengkajian streaming tersebut berlangsung secara online yang diikuti netizen dari berbagai negara. Selain Jerman, juga dari Mesir, Yaman, Sudan, Maroko, Libanon, Belanda, Prancis, Australia, Amerika Serikat, dan Indonesia.
’’Pernah pula live stream dengan sebuah pesantren di Kudus, Jawa Tengah,’’ ujar ayah Nihayya Mumtaz Suratno itu.
Banyak topik yang dibahas dalam pengkajian video streaming. Pada umumnya, mengenai bingkai agama dalam konteks kebangsaan. Namun, juga pernah menyajikan topik terkait sains dan teknologi.
’’Kami mendapat kehormatan karena Dr Sidrotun Naim, pakar biologi molekuler yang merupakan pemenang 2012 UNESCO L'Oreal Fellow, bersedia mengisi forum mengenai riset-riset aplikatif dan kesejahteraan umat,’’ urainya.
Di samping website, Suratno juga memanfaatkan sejumlah situs jejaring sosial yang tengah naik daun seperti Facebook, Twitter dan G+. Dia meyakini, kemajuan information technology (IT) dan sosial media bisa mengakomodasi berbagai pendapat, ekspresi, dan keyakinan dari setiap komponen bangsa.
’’Kami percaya teknologi hendaknya dimanfaatkan untuk kepentingan kemanusiaan. Bukan untuk mengumbar kebencian dan brutalisme,’’ tegas dia.
Tidak hanya itu, Suratno kerap menggelar forum diskusi dan seminar, baik di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Frankfurt, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin maupun di sejumlah kampus.
’’Biasanya saya diminta memberi kuliah umum, public lecture pada publik Jerman. Seperti pernah di Universitat zu Koln dan Universitat Heidelberg. Dalam kuliah itu muncul pertanyaan mengenai jihad, kenapa Islam identik dengan teroris, dan sebagainya. Di sinilah kami mempunyai kesempatan untuk menjelaskan yang sebenarnya,’’ jelasnya.
Suratno menuturkan, respons dari masyarakat Jerman terhadap ajaran Islam ala Indonesia, cukup besar. Karena itu, pemerintah Jerman lantas mengadakan Islamic Studies di tujuh universitas di Jerman mulai 2011. Bahkan, Suratno sempat ditawari untuk mengajar di salah satu universitas di sana. Tapi dia menolak.
’’Saya belum pede, saya belum menguasai bahasa Jerman dengan baik secara akademik. Tapi keberadaan tujuh universitas tersebut cukup penting mengajak kaum muda, untuk mencetak pakar kajian Islam yang menguasai kondisi sosio kultural Jerman. Mahasiswanya tidak hanya muslim, ada juga non-muslim,’’ paparnya.
Suratno juga mengenalkan Islam Indonesia lewat diplomasi budaya. Dia memperkenalkan seni hadrah. Suratno beserta beberapa temannya memberanikan diri tampil di panggung, di hadapan publik Jerman.
’’Waktu itu di Heidelberg ada pameran dan kami diberi panggung. Di panggung itu, setidaknya kami bisa menunjukkan seni Islam,’’ ujarnya.
Dalam mengenalkan Islam, NU Jerman kerap bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) setempat. Salah satunya ketika mereka bersama-sama melakukan penolakan terhadap kunjungan anggota Komisi I DPR RI ke Jerman, April tahun lalu.
Bahkan, aksi penolakan tersebut menggegerkan setelah diunggah ke situs Youtube. Mereka mempertanyakan urgensitas kunker (kunjungan kerja) anggota dewan. Sebab, tidak ada transparansi terkait publikasi agenda serta rincinan anggaran kunker tersebut di situs DPR RI, sebulan sebelum keberangkatan.
Beberapa warga NU dan PPI Jerman pun berinisiatif menguntit rombongan anggota dewan mulai dari bandara hingga ke tempat-tempat yang disinggahi. Faktanya, para wakil rakyat itu lebih banyak melakukan perjalanan wisata ketimbang kunjungan kerja.
’’Buktinya, mereka membawa serta keluarganya. Mereka lebih banyak jalan-jalan, seperti ke Lafayette di Berlin,’’ kata dia.
Aksi NU dan PPI Jerman tersebut membuat pihak DPR meradang. Ketua DPR Marzuki Alie bahkan menyebut mereka sebagai maling karena menguntit serta memfoto kegiatan anggota dewan saat asyik berbelanja.
’’Kami sampai dibilang maling, padahal kami cuma pingin tahu agendanya apa aja di sini,’’ ujarnya.
Meski beberapa kali melakukan aksi protes, NU Jerman tetap memprioritaskan pengenalan Islam Indonesia kepada dunia barat. Suratno berharap NU Jerman terus mempertahankan eksistensinya. Sebab, tidak lama lagi dirinya harus kembali ke tanah air karena studinya hampir kelar.
’’Saya yakin NU Jerman bisa terus bertahan,’’ ujar dosen tamu di sejumlah universitas internasional tersebut. (*/ari)
Tinggal di negeri orang, membuat Suratno harus pandai menyesuaikan diri. Dari cara berpakaian, pria berkaca mata itu cukup up to date. Hampir semua yang dipakai ’’bermerek’’.
Jaket yang dia kenakan merupakan produk khas Jerman, Jack Wolfskin. Backpack yang dia kenakan pun produknya belum dipasarkan di Indonesia. Suratno nyaman memakai backpack warna hitam The North Face, produk Inggris. Di balik jaketnya, dia mengenakan kaus polo shirt lengan pendek.
Suratno juga gampang membaur dengan masyarakat Frankfurt, kota tempat tinggalnya selama merantau. Pria 36 tahun itu sudah terbiasa dengan suhu udara Frankfurt yang terkadang mencapai minus.
’’Sudah terbiasa mungkin ya,’’ ujar Suratno ketika ditemui Jawa Pos di Johann Wolfgang Goethe-Universitat, Frankfurt, Senin (18/2).
Suratno memang tidak terlihat seperti seorang alim ulama pada umumnya. Tapi, tidak sedikit orang Indonesia di Frankfurt yang memanggilnya ustad. Itu karena dia aktif menggelar pengajian, khususnya di kalangan warga Indonesia di Jerman. Ilmu agamanya cukup bisa menyiram rohani umat muslim yang jauh dari tanah air.
Selain itu, Suratno juga dikenal sebagai tokoh NU di Jerman. Bahkan, dialah perintis berdirinya ormas keagamaan itu di Frankfurt, salah satu kota terbesar di Jerman.
Berdasar kajiannya, saat ini di Jerman terdapat sekitar enam persen umat Islam. Sebagian besar warga keturunan Turki. Ajarannya cenderung konservatif.
’’Setidaknya ada 2.000 ustad dari Turki di sini dan kebanyakan cukup konservatif. Makanya pemerintah Jerman merespons kondisi ini dengan mencari pakar kajian Islam yang paham kondisi sosial, budaya, dan ekonomi di Jerman,’’ jelasnya.
Karena itu, tidak lama setelah menginjakkan kaki di Jerman, Suratno tergerak untuk melakukan sosialisasi tentang Islam ala Indonesia, khususnya NU yang cenderung moderat.
Suratno tiba di Frankfurt pada 2009 untuk meneruskan studi S-3 Jurusan Political, Anthropology and Religion di Johann Wolfgang Goethe-Universitat. Suratno mengamati minimnya pengetahuan warga Jerman tentang Islam Indonesia. Mereka lebih familiar dengan Islam Turki yang konservatif.
Suratno mencontohkan, adanya gerakan Islam radikal bernama Millatu Ibrahim di Jerman. Organisasi salafi tersebut telah dilarang oleh pemerintah setempat sejak 2012. Organisasi tersebut diduga berkaitan dengan organisasi serupa di Uzbekistan. Mereka ditengarai berupaya mendirikan negara Islam di Jerman.
’’Karena itu, saya ingin masyarakat Jerman tahu bahwa ada Islam Indonesia yang lebih moderat. Islam yang berbasis intellectualism dan keterbukaan,’’ tutur dia.
Pada 2010, Suratno bersama beberapa kolega mendirikan NU Cabang Jerman. Ada beberapa alasan yang mendasari pendirian NU di Jerman. Salah satunya, NU di Eropa baru ada di Inggris. ’’Selain itu, ya karena alasan ke-NU-an dan forum silaturahmi mahasiswa NU di Jerman yang jumlahnya cukup banyak, sekitar 100 orang,’’ urainya sambil tersenyum.
Di samping itu, NU memiliki banyak hubungan kerja sama dengan Jerman. Di antaranya di bidang pertanian dan teknologi. Tahun lalu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menghadiri International Meeting For Peace in Munchen, Jerman.
’’Otomatis kalau ada NU Cabang Jerman, kita jadi bisa lebih ’menguasai’ di sini. Istilahnya NU Jerman yang menjembatani untuk memperlancar hubungan kerja sama itu,’’ ujar dosen Universitas Paramadina Jakarta itu.
Begitu NU berdiri, Suratno dkk langsung bergerak cepat. Pada 16-17 April 2010, sejumlah mahasiswa Nahdliyin menggelar pertemuan untuk mendeklarasikan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Jerman di Berlin. Dalam pertemuan tersebut Suratno ditetapkan sebagai ketua Tanfidziyah, sedangkan Ketua Rois Syuriah Syafiq Hasyim. Mereka lantas membuat website khusus NU Jerman dengan alamat nujerman.de.
Alumnus Filsafat Universitas. Gadjah Mada (UGM) itu menuturkan, website NU Jerman terhubung dengan 18 cabang NU di seluruh dunia. Lewat website tersebut mereka juga mengadakan pengkajian online dengan video streaming.
’’Karena ini di Jerman, jadi bukan pengajian. Kami memilih kata pengkajian sehingga temanya nggak melulu tentang Islam, tapi juga tentang Indonesia. Kami lebih ke arah sharing karena mencerminkan keterbukaan kepada siapa pun netizen di dunia,’’ urai suami Hani Tresnandrarti itu.
Suratno menyebut kegiatan pengkajian online adalah kegiatan inclusive all in one, di mana kegiatan tersebut terbuka bagi semua orang tanpa memandang latar belakang, suku, ras, agama maupun golongan.
Pengkajian streaming tersebut berlangsung secara online yang diikuti netizen dari berbagai negara. Selain Jerman, juga dari Mesir, Yaman, Sudan, Maroko, Libanon, Belanda, Prancis, Australia, Amerika Serikat, dan Indonesia.
’’Pernah pula live stream dengan sebuah pesantren di Kudus, Jawa Tengah,’’ ujar ayah Nihayya Mumtaz Suratno itu.
Banyak topik yang dibahas dalam pengkajian video streaming. Pada umumnya, mengenai bingkai agama dalam konteks kebangsaan. Namun, juga pernah menyajikan topik terkait sains dan teknologi.
’’Kami mendapat kehormatan karena Dr Sidrotun Naim, pakar biologi molekuler yang merupakan pemenang 2012 UNESCO L'Oreal Fellow, bersedia mengisi forum mengenai riset-riset aplikatif dan kesejahteraan umat,’’ urainya.
Di samping website, Suratno juga memanfaatkan sejumlah situs jejaring sosial yang tengah naik daun seperti Facebook, Twitter dan G+. Dia meyakini, kemajuan information technology (IT) dan sosial media bisa mengakomodasi berbagai pendapat, ekspresi, dan keyakinan dari setiap komponen bangsa.
’’Kami percaya teknologi hendaknya dimanfaatkan untuk kepentingan kemanusiaan. Bukan untuk mengumbar kebencian dan brutalisme,’’ tegas dia.
Tidak hanya itu, Suratno kerap menggelar forum diskusi dan seminar, baik di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Frankfurt, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin maupun di sejumlah kampus.
’’Biasanya saya diminta memberi kuliah umum, public lecture pada publik Jerman. Seperti pernah di Universitat zu Koln dan Universitat Heidelberg. Dalam kuliah itu muncul pertanyaan mengenai jihad, kenapa Islam identik dengan teroris, dan sebagainya. Di sinilah kami mempunyai kesempatan untuk menjelaskan yang sebenarnya,’’ jelasnya.
Suratno menuturkan, respons dari masyarakat Jerman terhadap ajaran Islam ala Indonesia, cukup besar. Karena itu, pemerintah Jerman lantas mengadakan Islamic Studies di tujuh universitas di Jerman mulai 2011. Bahkan, Suratno sempat ditawari untuk mengajar di salah satu universitas di sana. Tapi dia menolak.
’’Saya belum pede, saya belum menguasai bahasa Jerman dengan baik secara akademik. Tapi keberadaan tujuh universitas tersebut cukup penting mengajak kaum muda, untuk mencetak pakar kajian Islam yang menguasai kondisi sosio kultural Jerman. Mahasiswanya tidak hanya muslim, ada juga non-muslim,’’ paparnya.
Suratno juga mengenalkan Islam Indonesia lewat diplomasi budaya. Dia memperkenalkan seni hadrah. Suratno beserta beberapa temannya memberanikan diri tampil di panggung, di hadapan publik Jerman.
’’Waktu itu di Heidelberg ada pameran dan kami diberi panggung. Di panggung itu, setidaknya kami bisa menunjukkan seni Islam,’’ ujarnya.
Dalam mengenalkan Islam, NU Jerman kerap bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) setempat. Salah satunya ketika mereka bersama-sama melakukan penolakan terhadap kunjungan anggota Komisi I DPR RI ke Jerman, April tahun lalu.
Bahkan, aksi penolakan tersebut menggegerkan setelah diunggah ke situs Youtube. Mereka mempertanyakan urgensitas kunker (kunjungan kerja) anggota dewan. Sebab, tidak ada transparansi terkait publikasi agenda serta rincinan anggaran kunker tersebut di situs DPR RI, sebulan sebelum keberangkatan.
Beberapa warga NU dan PPI Jerman pun berinisiatif menguntit rombongan anggota dewan mulai dari bandara hingga ke tempat-tempat yang disinggahi. Faktanya, para wakil rakyat itu lebih banyak melakukan perjalanan wisata ketimbang kunjungan kerja.
’’Buktinya, mereka membawa serta keluarganya. Mereka lebih banyak jalan-jalan, seperti ke Lafayette di Berlin,’’ kata dia.
Aksi NU dan PPI Jerman tersebut membuat pihak DPR meradang. Ketua DPR Marzuki Alie bahkan menyebut mereka sebagai maling karena menguntit serta memfoto kegiatan anggota dewan saat asyik berbelanja.
’’Kami sampai dibilang maling, padahal kami cuma pingin tahu agendanya apa aja di sini,’’ ujarnya.
Meski beberapa kali melakukan aksi protes, NU Jerman tetap memprioritaskan pengenalan Islam Indonesia kepada dunia barat. Suratno berharap NU Jerman terus mempertahankan eksistensinya. Sebab, tidak lama lagi dirinya harus kembali ke tanah air karena studinya hampir kelar.
’’Saya yakin NU Jerman bisa terus bertahan,’’ ujar dosen tamu di sejumlah universitas internasional tersebut. (*/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mudah Kenyang, Pertumbuhan Kurang Seimbang
Redaktur : Tim Redaksi