jpnn.com, SEOUL - Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema memimpin delegasi parlemen Republik Indonesia menghadiri 19th Asia Pacific Parliamentarians’ Conference on Environment and Development (APPCEP) di Seoul, Korea Selatan, Selasa (10/12/2019). APPCEP adalah forum untuk anggota parlemen di kawasan Asia Pasifik atas dasar kepedulian bersama terhadap masalah lingkungan dan pembangunan.
Kehadiran Ansy Lema ke APPCEP yang beranggotakan 46 negara di Asia Pasifik untuk menjalankan kepercayaan sebagai anggota Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), suatu Alat Kelengkapan Dewan yang dibentuk untuk menjadi ujung tombak diplomasi parlemen RI di fora internasional.
BACA JUGA: Ansy Lema: Ini Bukti Kebijakan Bulog Tidak Berdasarkan Data
Ansy Lema juga menyampaikan pidato tentang tantangan perubahan iklim dan pembangunan. Dalam pidato berjudul “Climate Change and International Collective Action” (Perubahan Iklim dan Aksi Internasional Kolektif), anggota DPR RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu menyampaikan komitmen dan upaya strategis yang dilakukan Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim.
Komitmen Indonesia Atasi Perubahan Iklim
BACA JUGA: Terkait Izin FPI, Ansy Lema: Pancasila Harus Menjadi Landasan Seluruh Ormas di Indonesia
Menurut Ansy, sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Berdasarkan skenario prediksi perubahan iklim, Indonesia akan mengalami peningkatan suhu sekitar 0,8 derajat Celcius pada 2030.
“Karena itu, Indonesia menegaskan kembali komitmennya untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris (Paris Agreement) sebagai upaya global untuk mengurangi emisi, melestarikan laut dan hutan, meningkatkan peran masyarakat untuk mengendalikan perubahan iklim,” ungkap Ansy.
BACA JUGA: Aksi Perubahan Iklim Selaras dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan
Anggota Komisi IV DPR RI itu menjelaskan sejumlah peraturan strategis, kebijakan dan langkah-langkah serius untuk mengatasi tantangan perubahan iklim yang dilakukan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris menjadi Undang-Undang Nomor 16/2016 sebagai tindak lanjut dari komitmen Indonesia selama COP 21.
“Dengan meratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% tanpa syarat dan 41% bersyarat. Juga sebagai upaya mitigasi dan adaptasi, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan energi baru- terbarukan dari 17% menjadi 23% dari total konsumsi energi pada tahun 2025 dan 29% pada tahun 2030,” beber Ansy.
Indonesia juga meratifikasi konvensi internasional terkait lingkungan seperti Konvensi Minamata tentang Merkuri menjadi UU No. 11 tahun 2017. Ini bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari emisi yang dihasilkan oleh senyawa merkuri dan merkuri yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Mantan dosen di sejumlah universitas di Jakarta ini menjelaskan alasan Indonesia mulai memberi perhatian serius pada sektor energi baru-terbarukan. Indonesia berkomitmen menaikkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi negara menjadi 23 persen pada 2025.
Hal ini didasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang bertujuan mengurangi ketergantungan ekonomi pada minyak sulingan impor dan meningkatkan penggunaan sumber energi lainnya. Indonesia memiliki sumber daya energi baru-terbarukan yang sangat besar, seperti: panas bumi, tenaga air, energi surya, biomassa, dan energi angin.
Sementara itu, pemerintah berupaya mengurangi emisi dari penggunaan lahan, khususnya hutan dengan menerapkan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan untuk menyelamatkan hutan dari kerusakan massal akibat konversi hutan dan lahan gambut kaya karbon.
Sebagai negara yang sangat rentan terhadap bencana seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan letusan gunung berapi, Indonesia juga berkomitmen memastikan keselamatan rakyatnya dengan mengarusutamakan prinsip-prinsip Pengurangan Risiko Bencana (PRB) ke dalam proses pembangunan.
“Tsunami 2004 adalah titik balik utama bagi Pemerintah Indonesia dalam menangani manajemen risiko bencana (DRM). Setelahnya, negara memberlakukan UU tentang manajemen bencana tahun 2007, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) didirikan tahun 2008,” kisah Ansy.
Peran Penting Parlemen
Dalam pidatonya Ansy sangat menekankan peran penting parlemen mengatasi berbagai masalah perubahan iklim. DPR RI menilai parlemen memiliki peran kunci untuk mengesahkan UU yang relevan dan secara efektif tentang perubahan iklim. DPR RI, kata Ansy, mendukung penuh pelaksanaan ratifikasi perjanjian internasional terkait lingkungan dengan memberikan beberapa dukungan yang selaras dengan fungsi DPR.
Dalam hal penganggaran, DPR memperjuangkan penganggaran hijau untuk program adaptasi dan mitigasi dan fungsi lingkungan lainnya. Parlemen juga memasukkan indikator infrastruktur hijau ke dalam kerangka makroekonomi dalam penyusunan anggaran negara.
Dalam fungsi pengawasan, DPR mendorong perlunya kerja sama untuk meningkatkan kesadaran sosial tentang dampak lingkungan, dan untuk mendorong terciptanya perdagangan karbon dan pajak hijau Indonesia. Pemerintah dianjurkan melibatkan masyarakat dan memberikan insentif kepada orang-orang yang berkomitmen dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Ansy mencontohkan keterlibatan masyarakat melalui Program Desa Iklim (PROKLIM / Program Kampung Iklim) di 2.760 desa.
Menutup pidatonya, Ansy mengajak parlemen se-Asia Pasifik untuk membangun kemitraan sebagai kunci, sehingga dapat tercipta platform regional yang efektif untuk memerangi perubahan iklim.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich