Ansy Lema DPR RI: Mafia dan Pemburu Rente Impor Buah Harus Diberantas

Rabu, 11 November 2020 – 22:45 WIB
Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema mengkritik keras kebijakan impor buah yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

Kebijakan impor berpotensi melemahkan produksi buah lokal, terutama bertentangan dengan cita-cita kedaulatan pangan. Praktik kolusif kebijakan impor harus ditindak tegas karena merugikan petani buah lokal.

BACA JUGA: Ansy Lema: RUU Provinsi NTT Harus Berorientasi pada Pengentasan Kemiskinan

Hal ini disampaikan politikus muda PDI Perjuangan tersebut ketika menanggapi laporan investigatif sebuah majalah nasional yang menguak praktik Pengaturan Kuota Impor buah di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

“Kekhawatiran saya, temuan ini hanyalah ujung dari puncak gunung es praktik Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dalam skema impor buah. Kebijakan impor memang selalu menjadi lahan subur bagi para politisi dan birokrat yang gemar berburu rente untuk kepentingan pribadi. Hal ini sangat berbahaya karena merugikan petani buah lokal. Saya mendesak aparat hukum mengusut tuntas mafia dan pemburu rente impor buah,” ujar Ansy Lema di Jakarta, Senin (9/11/2020).

BACA JUGA: Ansy Lema Sukses Perjuangkan Excavator untuk Pertanian Lahan Kering di Sumba Timur

Catatan terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwasanya Indonesia masih melakukan impor buah senilai Rp 22.5 triliun.

Indonesia mengimpor jeruk dari Tiongkok, jeruk Pakistan, Apel dan lain-lain pada 2019 sebesar 724 ribu ton. Kebijakan impor buah sangat ironis dengan fakta historis Indonesia sebagai negara agraris. Jelas, apabila kebutuhan domestik disandarkan pada impor, maka akan terjadi pelemahan produksi buah lokal, serta mengakibatkan ketergantungan negara pada skema impor.

BACA JUGA: Ada yang Ungkit Kasus Habib Rizieq, Adi Prayitno: Polri Harus Tegas

"Dalam berbagai kunjungan reses, saya menemukan bahwasanya permasalahan yang dihadapi petani-petani kita saat ini adalah over produksi karena tidak ada akses terhadap pasar dan harga buah lokal kalah bersaing dengan buah impor. Saya temukan pula carut-marut permasalahan impor buah, tidak hanya berada pada masalah harga dan kuota impor, melainkan juga pada masalah birokrasi dan potensi praktik KKN,” tegas Ansy Lema.

Ansy mendesak aparat hukum untuk menindak tegas birokrat, politisi partai dan anggota DPR yang mendagangkan pengaruhnya untuk melakukan lobi dan praktik kolusi untuk mendapatkan penerbitan Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) dari Kementrian Pertanian dan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan. Ini jelas wujud diskriminasi dalam perizinan yang bermuara pada terjadinya monopoli impor buah.

“Apabila dibiarkan terus menerus, gagasan untuk mewujudkan kedaulatan pangan akan menjadi semakin utopis karena skema dan birokrasi yang korup serta ketiadaan keberpihakan kepada petani serta tidak ada kesungguhan untuk meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri. Praktik kolusif sangat merugikan iklim perdagangan dan investasi. KKN jelas melanggar prinsip non-diskriminasi dan aksesibilitas dalam persaingan usaha,” lanjutnya.

Politikus asal NTT ini menyampaikan bahwa justru dalam situasi pandemi, Indonesia mestinya fokus membangun sektor pertanian. Telah terbukti sektor pertanian-lah yang bisa bertahan, bahkan semakin produktif selama masa pandemi. Itu berarti, dibutuhkan transformasi paradigma pembangunan pertanian dari yang sekadar berorientasi pada ketahanan pangan menuju pada kemandian dan bahkan kedaulatan pangan.

“Terus-menerus impor pangan adalah tindakan sistematis yang melemahkan pertanian domestik dan mematikan petani Indonesia,” katanya.

“Jangan sampai impor pangan dilakukan terus menerus sebagai bentuk tindakan sistematis untuk melemahkan pertanian domestik dan mematikan petani Indonesia. Lebih memprihatinkan bila kebijakan itu dibuat sebagai akal-akalan birokrat-politisi pemburu rente untuk mengeruk keuntungan fantastis, sementara para petani menderita,” katanya.

Oleh karena itu, Ansy mendorong Kementerian Pertanian agar fokus pada peningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, bukan justru melemahkan petani buah dengan menciptakan ketergantungan pada produk impor.

Kementan harus segera memprioritaskan kebijakan subsitusi impor, pewilayahan komoditas, dan diversifikasi pangan. Tujuannya adalah memangkas ketergantungan pada produk pertanian impor.

“Sampai kapan kita terus mengimpor pangan dan produk hortikultura? Momentum Pandemi Covid-19 harus menjadi titik picu (trigger) untuk meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri. Sebagai contoh konkret perwujudan kedaulatan pangan, saya sering mendesak Kementerian Pertanian menggalakkan subsitusi impor, pewilayahan komoditas dan diversifikasi pangan. Contohnya, di Soe-NTT saya temukan potensi Jeruk Keprok Soe yang telah dinyatakan Kementan sebagai varietas berkarakter impor. Hal-hal seperti ini perlu dikembangkan. Butuh komitmen serius Kementan untuk ini,” ujar Ansy.

Untuk menyelesaikan masalah mafia pangan, Ansy meminta seluruh kementerian dan lembaga Negara yang terkait pangan untuk segera mereformasi sistem perizinan agar terhindar dari praktik KKN. KKN sangat merugikan masyarakat kecil, terutama petani, peternak dan nelayan kecil.

“Kita betul-betul harus memanfaatkan dan meningkatkan seluruh sendi-sendi ekonomi masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat di tengah masa pandemi. Jangan malah merugikan masyarakat di tengah kesulitan yang dihadapi pada masa pandemi. Mafia pangan dan politisi-birokrat pemburu rente harus segera diberantas,” tutupnya.(fri/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler