Antara Acara KAMI di Surabaya, Dangdutan di Tegal dan Pilkada di 270 Daerah

Selasa, 29 September 2020 – 16:30 WIB
Said Salahudin. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai pembubaran kegiatan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) di Surabaya merupakan tindakan yang tidak demokratis. 

Menurutnya, aksi pembubaran tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). 

BACA JUGA: Acara KAMI Dibubarkan, Fadli Zon Menyampaikan Kecaman

Untuk itu, kata Said, Komnas HAM diminta untuk tidak menutup mata terhadap kejadian tersebut.

"Aksi blokade, sweeping, dan pengusiran oleh kelompok massa yang diikuti tindakan pembubaran oleh aparat telah mengoyak tiga pondasi hak-hak sipil dan politik warga negara, yaitu hak berserikat, hak berkumpul, dan hak berpendapat," kata Said dalam keterangan tertulis, Selasa (29/9). 

BACA JUGA: Deklarasi KAMI Ditolak di Surabaya, Gatot Nurmantyo Malah Senang dan Bersyukur

Said beranggapan, dalam sebuah negara demokratis, hak-hak itu seharusnya diakui, dihormati, dilindungi, difasilitasi, serta dipenuhi oleh negara, bukan sebaliknya. 

"Apa artinya 75 tahun kita merdeka jika prinsip-prinsip kebebasan itu tidak dapat diaktualisasikan oleh warga negara?" tambahnya. 

BACA JUGA: Anggota DPRD Surabaya yang Ayu Ini Geregetan Sama Armuji Cup

"Kalaulah benar KAMI itu kelompok barisan sakit hati, mereka memiliki agenda politik untuk men-downgrade pemerintahan, dan sebagainya, apakah dengan sendirinya mereka kehilangan hak asasi untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapatnya di negeri ini? Kan semestinya tidak demikian," tegasnya.

Said mengatakan, konstitusi sendiri telah tegas bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Dalam konteks itu, lanjut Said, perbedaan pandangan politik tidak boleh dijadikan sebagai alasan oleh kelompok yang tidak setuju pada gerakan KAMI untuk melakukan aksi pengadangan, blokade, pembubaran, atau pengusiran. 

"Kalau tidak setuju dengan pemikiran KAMI, maka masyarakat boleh saja menyuarakan penolakan lewat berbagai cara. Melalui aksi demonstrasi pun boleh. Namun, tidak semestinya diikuti dengan aksi persekusi," ujar Said. 

Said menjelaskan, dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan meyakini pilihan politiknya. Setiap orang juga diberikan kebebasan untuk menyampaikan dan menyebarluaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya.

Sedangkan dalam UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik juga ditegaskan bahwa hak untuk berkumpul secara damai, kecuali untuk enam alasan.

Pertama, alasan keamanan nasional. Kedua, alasan keselamatan publik. Ketiga, alasan ketertiban umum. Keempat, alasan moral. Kelima, untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain. 

"Unsur-unsur tersebut jelas tidak terpenuhi sehingga tidak dapat dimajukan sebagai alasan untuk membubarkan kegiatan KAMI," katanya.

"Kalau alasan kesehatan dijadikan sebagai dasar pembubaran, bagaimana dengan kegiatan lain yang justru diperbolehkan? Konser Dangdut di Tegal beberapa waktu lalu kok boleh?" tutur Said.

Said mencontohkan, ada agenda lain yang lebih rentan seperti pilkada di 270 daerah di Indonesia.

Di sana, ada kegiatan kampanye yang tetap memperbolehkan adanya kegiatan pertemuan. 

Kemudian, belum lagi pada saat pemungutan suara masyarakat yang berkumpul jumlahnya akan lebih banyak lagi.

"Karena adanya perbedaan perlakuan itulah saya mendorong Komnas HAM untuk turun tangan atas kasus kegiatan KAMI di Surabaya," pungkas Said. (mcr4/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Dicky Prastya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler