jpnn.com - SALAH satu pengalaman tak terlupakan dalam semua liputan saya adalah pergi ke Zamboanga, Mindanao, Filipina Selatan, 2007.
Saat itu lebih dari sebulan saya menelusuri kamp-kamp pelatihan teroris di Fi- lipina Selatan Diterima baik oleh Moro Islamic Liberation Front (MILF), namun berbeda ketika masuk di Zamboanga. Kota yang dikuasai kelompok Abu Sayyaf.
BACA JUGA: Menhan: Kalau Bisa Lepas Tanpa Bayar, Buat Apa Bayar
Suasana aneh langsung terasa begitu kaki menginjak Port of Zamboanga, pelabuhan kecil di kota tersebut. Naik angkot, semua langsung turun sambil melihat saya dengan pandangan menyelidik.
Dua orang di antara mereka langsung menelepon sembari tetap memandangi saya. Risi juga. Untung, dua gerilyawan MILF yang selalu menemani saya ke mana pun bisa menetralisasi suasana.
BACA JUGA: Lima Kapal Perang Merapat, Pasukan Khusus Siap Menyergap
Tidak mendapat apa-apa (karena permintaan saya untuk mewawancarai pimpinan kelompok itu tidak ditanggapi), saya memutuskan pergi keesokan harinya.
Saya cukup beruntung karena dari rekam jejaknya, kelompok tersebut pada 2000–2007 telah menculik 20 jurnalis dengan motif tebusan.
BACA JUGA: Jika Negosiasi Gagal, Pemerintah Siap Operasi Militer
Terjebak di antara kesulitan dana operasi (sulitnya funding dari luar negeri) dan makin beratnya me- rampok, kelompok itu memilih penculikan sebagai sumber pendapatan baru. Sasaran mudah, kerja tak terlalu repot karena sasaran bisa random siapa saja, dan hasilnya besar.
***
Nama Abu Sayyaf memang lekat dengan kekerasan. Didirikan Abdurajik Abubakar Janjalani pada 1991, kelompok tersebut terkenal dengan serangkaian penculikan dan terornya.
Mindanao memang bagaikan rimba. Senjata dijual dengan bebas (saat ke sana, saya ditawari pistol Glock dengan dua magasin yang hanya dibanderol Rp 2 juta dan M-16 yang hanya Rp 8 juta), kawasan yang tak sepenuhnya dikontrol baik oleh polisi maupun tentara, iklim politik yang ruwet, serta menjamurnya kelompok militan bersenjata.
Sebagai ilustrasi, jika di Indonesia spanduk-spanduk kamtibmas berbunyi: ’’Awas curanmor, beri kunci ganda’,’ di Mindanao tidak demikian. Isinya lebih keras: ’’Stop Kidnapping’.’ Hentikan penculikan. Artinya, penculikan di Filipina Selatan mungkin setara dengan curas ranmor.
Orang sering meremehkan bahaya, kecuali jika bahaya itu sudah menimpa mereka. Persis seperti itu reaksi kita terkait dengan pembajakan dua kapal berbendara Indonesia dengan 10 krunya yang dibajak kelompok Abu Sayyaf.
Dari data yang dilansir Komite Counter-Terrorism DK PBB, total ada USD 120 juta (Rp 1,5 triliun) yang dikeluarkan untuk membayar tebusan penculikan kelompok teror. Itu terjadi dalam empat tahun terakhir dan komite tersebut menyebut angkanya sangat ’’moderat”.’Artinya, banyak kasus penculikan yang belum tercatat.
Pemerintah begitu reaksioner dengan mengabarkan sejumlah opsi operasi militer, lengkap dengan sejumlah pasukan khusus yang akan diterjunkan. Langkah tersebut memang baik.
Tapi, itu hanya seperti suntikan penenang demam. Juga, membahayakan sandera (jika Anda seorang penyandera dan tahu bahwa negara orang yang disandera sedang menyiapkan operasi militer besar, apa yang dilakukan? Apakah kemudian takut dan sukarela menyerahkan sanderanya?).
Sudah seharusnya pemerintah lebih menyadari bahaya fenomena penculikan kelompok teror itu dan kemudian mengajak Malaysia dan Filipina untuk bertemu. Berunding untuk melakukan operasi bersama guna mereduksi potensi tersebut hingga sekecil-kecilnya.
Tidak sekadar menggelar operasi militer besar-besaran yang belum tentu membuat semua sandera selamat. Penculikan disertai terorisme bukan hal yang bisa dihilangkan dalam semalam saja. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... SIP! Setkab Akhirnya Canangkan Zona Bebas Korupsi
Redaktur : Tim Redaksi