Saat jadi keynote speaker sebuah konferensi tahunan marketing di Porto, saya datang dua hari lebih awal. Itu memang kebiasaan saya bila diundang bicara di sebuah kota yang belum pernah saya kunjungi. Tujuannya, tidak lain ya mempelajari situasi setempat, termasuk local wisdom-nya.
Rui Ribeiro, sahabat saya di sana, ada miripnya dengan saya, memulai membangun perusahaan konsultan pemasaran QSP pada lima tahun yang lalu. Dia menemukan nama saya di internet dan tertarik pada konsep marketing yang saya kembangkan. Karena itu, dia lantas mengundang saya.
Walaupun hanya dibantu empat staf, dia mampu mengorganisasi sebuah The QSP Summit yang selalu dihadiri 500 orang tiap tahun. Saya bilang kepada dia, sampai lima tahun MarkPlus Inc didirikan dari Surabaya, yang juga kota terbesar kedua di Indonesia, saya juga hanya dibantu empat orang.
Sebagai keynote speaker, waktu itu saya di-brief bahwa kesebelasan Porto selalu menjadi musuh bebuyutan Benfica yang bermarkas di ibu kota Lisbon. Karena yang datang waktu itu separo dari Porto dan kira-kira separonya lagi dari Lisbon, saya harus fair.
Supaya lancar, saya menghafal skor terakhir hasil pertandingan antara dua kesebelasan itu. Benfica baru saja mengalahkan Porto 3-2. Walaupun, sebelumnya Porto mengalahkan Benfica dengan 2-0.
Dan, benar adanya. Begitu saya bicara soal bola, langsung saja pengunjung bertepuk tangan. Mereka memang men-support masing-masing kesebelasan. Mereka sangat menghargai orang asing seperti saya yang ter-update soal hasil bola mereka.
Selanjutnya, menyangkut marketing, saya langsung tekankan pentingnya sebuah negara yang sedang krisis untuk balik ke human spirit. Tapi, saya juga nurut pada pesan Rui sebelumnya. Walaupun mayoritas orang Portugal itu penganut Katolik, jangan bicara terlalu banyak tentang agama. "They will not buy your message if you talk too much about Christianity," katanya.
Keesokan harinya saya mampir ke Fatima, tempat penampakan Bunda Maria, di tengah perjalanan ke selatan dari Porto ke Lisbon. Sebagai orang Katolik, saya ingin sekali mengunjungi tempat itu guna melengkapi kunjungan rohani saya ke dua tempat penampakan lain. Yaitu, Lourdes di Prancis dan Guadalupe di Mexico City.
Ke Fatima, saya diantar seorang staf Rui bersama istrinya yang lagi hamil. Mereka memang ingin ke Fatima untuk mendoakan anak mereka yang akan lahir beberapa bulan kemudian. Ketika saya bertanya pada pemilik restoran dan toko di Fatima, selama krisis ternyata pengunjung turun drastis dan omzet mereka juga ikut turun tajam. Sampai di Lisbon, saya diantar untuk memasuki Stadion Benfica yang terkenal itu.
Ketika beli jersey resmi Benfica, saya juga bertanya tentang pengaruh krisis ke sepak bola. Eh ternyata, jumlah penonton malah naik, apalagi Benfica lagi menang terus. Rupanya nonton sepak bola bisa membuat mereka melupakan krisis Eropa sejenak.
Hal yang sama saya dapatkan ketika mampir di Nou Camp, stadionnya Barcelona. Makin banyak orang beli jersey Barca dan nonton pertandingan saat krisis. Padahal, di Asia, waktu krisis terjadi, kecenderungannya orang menjadi makin religius. Makin banyak yang ke masjid, gereja, dan kuil di seluruh Asia."
Karena Marketing 3.0 hanya berurusan dengan aspek antara marketer, brand, dan customer-nya, hubungan itu bersifat horizontal. Bukan vertikal. Ekstremnya, I don"t care wether you are a believer or non-believer. The point is please be honest to your customers. Don"t cheat them. Di "Marketing 3.0, saya memang hanya bicara aspek minannas atau horizontalnya. Konsep universal di era internet.
Bagaimana pendapat Anda?*
BACA ARTIKEL LAINNYA... Emas Bisa Tembus USD 1.800
Redaktur : Tim Redaksi