Antara Yenny Wahid dan Bonus Demografi Indonesia

Kamis, 01 Februari 2018 – 16:53 WIB
Yenny Wahid (hijau). Foto: Jawa Pos.Com/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia menghadapi dua masalah besar dalam beberapa tahun ke depan. Yakni, terkait konflik agama dan bonus demografi.

Dua masalah itu bisa mengancam negara jika tidak ditangani dengan balik. Sebaliknya, jika ditangani dengan bagus, dua hal itu bisa membuat negara makin kuat.

BACA JUGA: Yenny Wahid Tetap Merasa Berutang ke Prabowo, Nih Alasannya

Keragaman agama yang ada di Indonesia ternyata menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa.

Namun, di sisi lain berpotensi menjadi sumber konflik. Konflik agama dalam sejarah Indonesia telah terjadi berulang kali.

BACA JUGA: Prabowo Sedih Pinangannya Ditolak Yenny Wahid

Demonstrasi yang sangat besar melibatkan jutaan orang di Jakarta untuk memprotes penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu menjadi gubernur.

Hal ini menunjukkan bagaimana cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik.

BACA JUGA: Duga Prabowo Siapkan Kejutan di Pilkada demi Pilpres 2019

Agama sendiri pada dasarnya dapat memiliki faktor integrasi dan faktor disintegrasi.

Faktor integrasi yaitu ajaran agama yang bersifat universal. Antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Agama juga mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk.

Selain itu, agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib, dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat.

Namun, ajaran agama juga bisa menimbulkan disintegrasi bila dipahami secara sempit dan kaku.

Di antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar. Hal itu dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain.

Lalu, mana faktor tersebut yang paling dominan? Menarik untuk menyimak ucapan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama Din Syamsuddin usai bertemu ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada 31 Oktber 2017.

Din mengatakan, konflik antaragama yang kerap terjadi belakangan ini bukan murni karena faktor ajaran agama.

Konflik yang lahir justru disebabkan karena sejumlah faktor nonagama seperti politik, ekonomi, dan hukum.

"Ada yang bisa tokoh agama lakukan, tapi juga ada peran dari para tokoh negara, dari partai politik untuk mengeliminasi dari daya rusak faktor nonagama ini terhadap kerukunan," kata Din.

Mengacu pada kasus pilkada Jakarta, apa yang dikatakan Din terbukti benar.

Faktor dominan dalam konflik agama sering dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali.

Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan politik, ekonomi, dan hukum yang selanjutnya di-blow up menjadi konflik agama.

Faktor politik untuk memperebutkan posisi gubernur Jakarta dan faktor ekonomi untuk memperebutkan APBD Jakarta yang hampir Rp 80 triliun per tahun serta faktor hukum yang menggusur rakyat kecil dialihkan kepada konflik agama.

Kemudian, konflik agama ini memainkan peranan besar dalam memenangkan salah satu calon.

Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Desember 2017 mencatat sentimen agama terus meningkat. Hal itu berimbas pada Pemilihan Presiden (pilpres) 2019.

Dua calon presiden terkuat, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, dinilai masyarakat sebagai sosok nasionalis.

Menguatnya sentimen agama menuntut kedua tokoh tersebut mencari pendamping dari kalangan Islam.

Menurut peneliti LSI Taufik Febri, pilkada di DKI Jakarta membangunkan lagi kesadaran masyarakat atas perlunya tokoh Islam.

Sejak Presiden Keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meninggal, penduduk muslim merasa tak ada tokoh sentral yang mewakili mereka untuk menyatukan umat Islam.

Padahal, dengan tokoh sentral itu diharapkan dapat mengarahkan umat Islam, setidaknya mengantisipasi menguatnya isu agama dalam pilpres 2019.

Salah satu cara adalah memilih calon wakil presiden dari tokoh muda Islam sebagai pendamping calon presiden nasionalis.

Momentum inilah yang dimiliki Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau lebih dikenal Yenny Wahid.

Putri kedua Gus Dur ini memiliki pendidikan yang mumpuni dan pengetahuan yang luas.

Yenny tampak selalu mendampingi Gus Dur baik dalam kegiatan kenegaraan luar negeri. Dia juga mendampingi Gus Dur di dalam negeri.

Yenny dikenal konsisten mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan Gus Dur dalam seluruh kegiatannya.

Dia mengimplementasikannya melalui Wahid Institute maupun Wahid Foundation.

Hal ini membuat Yenny diterima oleh semua pihak, baik golongan agama, dari yang mayoritas sampai minoritas.

Dia juga diterima oleh semua golongan ideologi politik, dari yang kiri hingga kanan.

Yenny pun diterima oleh seluruh strata sosial masyarakat, dari yang paling bawah hingga paling atas.

Karena itu, kerinduan pemilih muslim terhadap Gus Dur dapat tergantikan dengan hadirnya Yenny Wahid.

Selain itu, Indonesia saat ini sedang memasuki era bonus demografi. Puncaknya akan terjadi pada 2025-2030 ketika jumlah penduduk usia produktif berada pada angka 70 persen.

Era bonus demografi ditandai dengan dominasi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) atas jumlah penduduk tidak produktif.

Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 diperkirakan sebanyak 258 juta.

Menurut kelompok umur, jumlah penduduk usia produktif sekitar 174 juta atau 67 persen dari jumlah penduduk.

Berdasar jenis kelamin, terdiri atas laki-laki sebanyak 129,98 juta orang dan perempuan sebanyak 128,71 juta orang.

Yang paling menonjol dalam bonus demografi ini adalah jumlah penduduk wanita yang hampir menyamai jumlah penduduk pria.

Berdasar data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang diberikan Kementerian Dalam Negeri kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 196,5 juta orang yang dipastikan memiliki hak memilih dalam Pemilu 2019.

Data pemilih 2019 tersebut terdiri atas laki-laki sebanyak 98.657.761 orang dan perempuan (97.887.875).

Dari data tersebut, potensi pemilih perempuan sangat besar dan hampir menyamai jumlah pemilih laki-laki.

Dengan banyaknya jumlah pemilih perempuan terutama perempuan berusia muda atau usia produktif, maka peluang bagi kandidat perempuan muda untuk dipilih di dalam pemerintahan sangatlah besar.

Sebab, bagi pemilih perempuan, pemimpin dari kalangan wanita tentunya akan lebih memahami masalah yang dihadapi perempuan dibandingkan dengan pemimpin laki-laki.

Karena itu, pemimpin perempuan diharapkan mampu untuk mengubah tatanan kebijakan yang lebih mendekati kenyataan pada aspek psikologis perempuan.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin perempuan tersebut juga diharapkan dapat berdampak positif dan lebih komprehensif dalam mengawal dan menanggulangi isu-isu perempuan.

Misalnya, diskriminasi gender, kekerasan terhadap perempuan, akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan, partisipasi politik perempuan, dan sebagainya.

Di sinilah Yenny Wahid menjadi salah satu kandidat utama sebagai pemimpin muda perempuan yang akan mendapatkan mayoritas suara perempuan.

Sebab, selama ini Yenny selalu tampil paling depan dalam menyuarakan isu-isu tersebut. (jos/jpnn)

Penulis adalah peneliti pada Centre For Democracy & Peace Study

BACA ARTIKEL LAINNYA... Moreno Soeprapto, La Nyalla atau Mbak Yenny Wahid?


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler