jpnn.com, JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar menyoroti masalah penegakan hukum yang hingga kini masih ada masalah utamanya urusan keadilan.
“Sebetulnya ada hal yang menarik yah. Untuk keadilan masih banyak orang teriak. Kenapa itu? Kenapa sih timbulnya kasus Minah, timbul Baiq Nuril, kan beberapa kali. Kenapa seperti itu?" kata Antasari di Kantor Staf Presiden, Jakarta pada Rabu (9/01/2019).
BACA JUGA: Pimpinan KPK Diteror, Antasari Azhar Beristigfar
Hal itu dikatakan Antazari menjawab jurnalis soal apa saja yang belum diselesaikan oleh pemerintahan Joko Widodo. Nah, menurut Antasari, persoalan ketidakadilan hukum masih terjadi salah satunya karena sistem penegakan hukum yang tidak jalan.
“Jadi begini. Ada integrated system yang tidak jalan di tengah. Rodanya tidak jalan. Nah itu fungsi di Kejaksaan. Saya jaksa, tapi tidak artinya menyudutkan kejaksaan, tidak," tegas mantan jaksa ini.
BACA JUGA: DPD RI: Penegakan Hukum Lemah, Mafia Tanah Makin Berani
Dalam pandangan dia, ada fungsi yang bisa dilakukan oleh seorang jaksa selaku penuntut umum untuk menentukan apakah sebuah kasus itu layak disidangkan di pengadilan atau tidak.
"Intinya begini lah, penyidik kepolisian bisa memberikan membuat berkas perkara seperti apa pun. Tapi ingat yang menentukan ke pengadilan, bisa atau tidak, itu jaksa," jelasnya.
BACA JUGA: MPR: Semua Sama di Depan Hukum
Argumentasi itu didasarkan Antasari pada dua pasal di KUHP yang menjadi milik jaksa, yakni Pasal 127 terkait eksekusi perkara yang sudah inkrah, dan Pasal 139 soal perkara yang sudah P21. Namun harus diingkat tidak semua kasus P21 tidak wajib masuk pengadilan.
Kalau jaksa bekerja dengan benar, lanjutnya, maka ada 3 hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum meneruskan satu kasus ke pengadilan. Ketiganya adalah KUHP, aspek sosiologis dan filosofinya.
"Jaksa P21 kan hanya melihat adminisrrasi yah. Kemudian Pada tahap kedua jaksa duduk lagi menilai layak gak disidangkan. Kalau jaksa bilang enggak layak, ya sudah gak disidangkan. Bisa dihentikan penuntutan," tutur pria kelahiran Pangkal Pinang, 18 Maret 1953 ini.
Dia lantas memvisualisasikan, jaksa ketika menerima berkas satu perkara, dia akan duduk dan membacanya lagi. Di sampingnya itu adalah KUHP, dan UU yang terkait. Kemudian dilihat lagi aspek sosiologisnya, filosifnya. Ketiga faktor itu dicermati.
Terpidana kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen ini lantas mencontohkan pada perkara Neneh Minah yang divonis mencuri 3 buah kakao. Secara yuridis, katanya, pasal pencurian yang dituduhkan jaksa sudah benar.
Namun aspek sosiologisnya harus dilihat. Kenapa Neneh Minah mencuri? Karena miskin dan buah kakao yang dicurinya punya nilai ekonomis, sehingga kalau dijual bisa dapat uang untuk biaya makannya. Inilah aspek sosiologisnya.
"Filosifinya, makna orang mau menghukum yang sudah 70 tahun untuk apa? Nah, dasar itu jaksa melakukan tindakan diskresinya, hentikan. Tidak adil kalau melakulan ini. Keadilan muncul kan penegakan hukum bermuara pada rasa keadilan. Nah itu ke depan kita harapkan," tandasnya Antasari.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Daftar Keberhasilan Lanal Dumai Dalam Penegakan Hukum
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam